KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun telah
panjatkan atas kehadirat Alloh Ta’ala, sang Pencipta alam semesta dan kehidupan
beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan rahmat, taufik, serta
inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah “al-Kindi sebagai
peletak dasar filsafat Islam” yang sederhana ini.
Maksud dan tujuan dari penulisan
makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salasatu dari sekian kewajiban mata
kuliah Filsafat Islam serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penyusun
pada tugas yang diberikan. Pada kesempatan ini, penyusun juga ingin menyampaikan
ucapan terima kasih kepada dosen Filsafat
Islam.
Demikian pengantar yang dapat
penyusun sampaikan, dimana penyusun pun sadar bahwasanya penyusun hanyalah
seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan
kesempurnaan hanya milik Alloh Ta’ala hingga dalam penulisan dan penyusunan
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
konstruktif akan senantiasa penyusun terima sebagai upaya evaluasi diri.
Akhirnya penyusun hanya bisa
berharap, bahwa dibalik tidak kesempurnaan penyusunan dan penyusunan makalah
ini adalah ditemukan suatu yang dapat memberikan manfaat atau bahkan hikmah
bagi penyusun, pembaca, dan bagi seluruh mahasiswa STAI Al-Hidayah.
Penyusun
Bogor, 19 September 2014
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................. 1
DAFTAR ISI................................................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah........................................................................ 3
B.
Rumusan Masalah.................................................................................. 3
C.
Tujuan Penulisan.................................................................................... 3
BAB II Pembahasan
A.
Biografi al-Kindi................................................................................... 4
B.
Teori
Pengetahuan dan Pemikirannya................................................... 5
C.
Studi Kritis tehadap Pemikiran
Filsafat Al-kindi............................... 13
BAB III PENUTUP
Simpulan........................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filsafat
merupakan bagian dari hasil kerja berpikir dalam mencari hakikat segala sesuatu
secara sistematis, radikal dan universal. Sedangkan filsafat Islam itu sendiri
adalah hasil pemikiran filosof tentang ketuhanan, kenabian, manusia dan alam
yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan
sistematis serta dasar-dasar atau pokok-pokok pemikirannya dikemukakan oleh
para filosof Islam.
Ketika
filsafat Islam dibicarakan, maka yang terbayang dalam pemahaman kita adalah
beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina,
Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini
memang tidak bisa dihindarkan, tidak saja karena dari merekalah kita dapat
mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih
filsafat Islam dikembangkan.
Adapun yang
akan dibahas di dalam makalah ini adalah tokoh filsafat muslim yang bernama,
Al-kindi. Alasannya adalah karena tokoh
tersebut merupakan peletak dasar dalam filsafat islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Siapa al-Kindi?
2.
Bagaimanakah teori
serta pemikiran al-Kindi?
3.
Bagaimana studi kritis
terhadap pemikiran al-Kindi?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Biografi al-Kindi.
2.
Mengetahui Teori Pengetahuan dan Pemikiran al-Kindi.
3.
Mengetahui Studi Kritis tehadap Pemikiran Filsafat
Al-kindi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi al-Kindi[1]
Al- Kindi bin
Ishaq atau nama legkapnyaAl-Kindi bin Abu Yusuf
Ya’qub bin Ishaq Al-Kindi ialah ilmuan dan filosof besar Islam yang
hidup pada masa kekhalifahaan Bani Abbasiyah. Ia lahir pada 809 M dan wafat
pada 873M. Ia masih keturunan suku Kindah, sebuah suku besar di Arab Selatan
pada masa sebelum Islam. Keluarga Al-Kindi adalah keluarga terhormat dengan status
sosial tinggi. Ayahnya pernah menduduki jabatan sebagai gubernur Kufah pada
masa Khalifah Al-Mahdi(775-778M) dan Khalifah Ar-Rasyid(786-809M).
Dunia mengenal
Al-Kindi sebagai penggerak dan pengembang ilmu pengetahuan. Hal ini karena
karya dan pemikiran Al-Kindi meliputi bidang yang sangat luas dan beragam.
Hampir setiap bidang keilmuan, pasti ada karya Al-Kindi yang membahas Atau
mengulasnya. Pada awalnya, Al-Kindi belajar di Bashrah, sebuah kota di Iraq
yang menjadi pusat pengetahuan dan pergunulan intelektual dunia, namun demikian
ia kemudian menamatkan pendidikannya di Bagdad.
Di kota yang
kini menjadi Ibu kota Iraq modern tersebut, Al-Kindi berkenalan dengan para
pangeran Abbasyiah, seperti Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim. Lalu Al-Kindi diangkat
menjadi guru pribadi Ahmad, putra Al-Makmun yang darinya ia memperoleh dukungan
kuat untuk melahirkan karya-karya besar dibidang ilmu pengetahuan.
Al-Kindi hidup
selama pemerintahan Bani Abbasyiah, yaitu Al-Amin (809-813M), Al-Ma’mun (813-833M), Al-Mu’tasim (833-842M), Al-Watsiq (842-847M), dan Al-Mutawakil (847-851M). Selama kurun waktu itu, Al-Kindi
banyak melahirkan karya dibidang filsafat, matematika (geometri), agama,
asrtonomi, logika dan kedokteran. Diantara karya al-Kindi yang turut meramaikan
dunia pengetahuan adalah Risalah fi masail suila anha min ahwal al-kawakib (jawaban
dari pertanyaan-pertanayaan planet), risalah fi mathrah asy-syu’a (tentang
projeksi sinar), dan risalah fi idhah ‘illat ruju’ al-kawakib (tentang
penjelasan sebab gerak ke belakang planet-planet). Dari sekian banyak ilmu ia
sangat menghargai matematika, hal ini disebabkan matematika bagi Al-Kindi,
adalah mukadimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukadimah ini
sangat penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian
dalam filsafat tanpa terlebih dahulu menguasai matematika. Matematika disini
meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geomeri, dan astronomi. Tetapi yang
paling utama dari seluruh cakupan matematika disini adalah ilmu bilangan atau
aritmatika karena jika bilangn tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun[2].
Ia adalah
filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf muslim pertama. Diantara
Kelebihan Al-Kindi adalah Menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum muslimin
setelah terlebih dahulu meng islamkan pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang
ada.
B.
Teori
Pengetahuan dan Pemikirannya
1. Konsep Etika[3]
Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat
dengan definisi mengenai filsafat atau cita filsafat. Filsafat adalah upaya
meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan
manusia. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan
yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang
dimaksud ialah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu
untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja
untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan yang dapat diajukan ialah bagaimana
cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana
cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban
pertanyaan ini ialah : keahuilah keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai
tuntutan keutamaan itu.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia
tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini
kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa,
tetapai bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan
amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga :
a) Kebijaksanaan
(hikmah) yaitu keutamaan daya pikir; bersifat
teoritik yaitu mengetahu segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki;
bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
b) Keberanian (nadjah)
ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat
yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai
sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
c) Kesucian (iffah)
adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara
badan serta menahan diri yang tidak diperlukan untuk itu.
Kedua
keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam
keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu
tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakn padanannya adalah
penganiayaan.
2. Talfiq (Integrasi Agama dengan Filsafat)
Al-Kindi
berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutya
filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Qur’an
yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin
bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Karena itu
mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang bahkan teologi bagian dari
filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi. Bertemunya agama
dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu
mempergunakan akal, dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama
bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas tentang Tuhan dan
agama ini pulalah dasarnya. Filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang
Tuhan.
Dengan
demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah
mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping
itu, karena pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan,
tentang ke-Esaan-Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat
untuk berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya. Kita
harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab, “tidak
ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu
sendiri”. Karena itu tidak tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang
mengatakan dan mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab
kebenaran, sebaliknya semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran. Jika
diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan
orang yang memperdagangkan agama, dan pada akikatnya orang itu tidak lagi
beragama.
Pengingkaran
terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan
apa yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini
menurut Al-Kindi, tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat, karena
hal itu dapat dilakukan ta’wil. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri
perbedaaan antara keduanya, yaitu:
· Filsafat
termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan
agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh
tanpa melalui proses belajar, dan hanya diterima secara langsung oleh para
Rasul dalam bentuk wahyu.
· Jawaban
filsafat menunjukan ketidak-pastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau
perenungan. Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi
jawaban secara pasti dan menyakinkan dengan mutlak.
· Filsafat
mempergunakan metode logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
Walaupun
Al-Kindi termasuk pengikut rasionalisme dalam arti umum, tetapi ia tidak
mendewa-dewakan akal.
3.
Jiwa[4]
Untuk mengenal, mengetahui serta memahami
teori pengetahuan Al-Kindi, maka kita harus melihat bagaimana pandangannya
mengenai jiwa dan ruh. Menurut Al-Kindi, substansi ruh adalah sederhana (tidak
tersusun) dan kekal. Ia memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Ia sempurna dan mulia karena subtansinya berasal dari subtansi Tuhan.
Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.
Jiwa menurut al-Kindi, adalah prinsip
kehidupan yang mempengaruhi tubuh organik untuk beberapa saat lamanya kemudian
melepaskanya. Jiwa merupakan entitas tunggal yang substansinya sama dengan
substansi pencipta sendiri karena ia sesungguhnya adalah limpahan dari
substansi Tuhan sebagaimana sinar matahari dengan matahari. Sekalipun ia
bergabung dengan tubuh, sesunguhnya ia terpisah dan independen dari tubuh.
Tubuh adalah rintangan bagi jiwa sehingga ketika jiwa meninggalkan tempat
tinggal sementaranya (tubuh) ia akan bersatu kembali dengan dunia intelek dan
bersatu dengannya.
Meskipun begitu, nasib mulia ini bisa saja
diingkari oleh mereka yang tertarik pada kesenangan-kesenangan jasmaniah.
karena itu, tidak semua jiwa akan bergabung kembali dengan dunia akal yang ada
di seberang langit. Bagi orang yang hidupnya tenggelam dalam kontemplasi dan
tidak mengumbar kesenangan-kesenangan hidup, ia adalah orang bajik yang
mengharapkan kehidupanya sesuai dengan Tuhan. Jiwa inilah yang langsung
bergabung dengan dunia intelek begitu ia terlepas dari penjara tubuh. Tetapi
bagi mereka yang terbelenggu oleh kesenangan- kesenangan jasmani maka jiwanya
akan mengalami penyucian terlebih dahulu secara bertahap dengan singgah lebih
dulu di bulan, Merkuri, dan planet-planet lain sehingga jiwa tersebut bersih
dan pantas dibawa ke dunia akali.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya
bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya
berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia
membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir
sebagi sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua
ekor kuda yangmenarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan
baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang
yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah
diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang
menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Sekalipun ketiga daya tersebut merupakan
daya-daya yang dimiliki oleh jiwa, namun al-Kindi sering kali hanya merujuk
daya berpikir sebagai daya yang dikaitkan dengan kemampuan jiwa, sedang daya
appetitive dan irascible ada semata-mata untuk pertumbuhan dan pelestarian
(jiwa) hewani yang berkaitan dengan badan (wadag), sementara yang
pertama demi membantu penyempurnaannya. Sehingga, tidak mengherankan ketika ia
menjelaskan bahwa arti penting jiwa dalam kehidupan manusia adalah sebagai
pengatur keinginan hawa nafsu, ia gunakan untuk membedakan jiwa dari badan.
Bagi al-Kindi, badan memiliki hawa nafsu dan sifat pemarah sedang jiwa menentangnya. Jelas, antara yang
menentang dan yang ditentang tidak sama. Dengan perantara ruhlah manusia
mempunyai pengetahuan yang sebenarnya. Di sini jelas bahwa yang dimaksud dengan
jiwa di sini adalah merujuk pada daya berpikir atau rational faculty.
Ketidaksistematisan pembahasan al-Kindi
tentang jiwa sering kali menjebak bagi orang yang mempelajarinya karena
disamping ketiga daya jiwa di atas, al-Kindi juga masih menyebut
kemampuan-kemampuan lain dari jiwa ketika ia bicara tentang pengetahuan manusia
dilihat dari cara mendapatkannya. menurut al- Kindi, di alam terdapat
benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indera. Benda-benda ini merupakan
partikular. Sementara, yang penting bagi filsafat ialah hakikat yang terdapat
dalam partikular tersebut, yaitu universal. Tiap-tiap benda memiliki dua
hakikat, partikular/ juz’iyyah/ aniyah dan
universal/ kulliyah/ mahiyah. Karena
itu, al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua: pengetahuan panca indera dan
pengetahuan akal. Pengetahuan panca indera hanya mengenai yang lahir-lahir
saja. Pengetahuan akal merupakan hakikat-hakikat dan hanya diperoleh kalau
manusia mampu melepaskan sifat kebinatangan dalam dirinya. Dengan kata lain, ia
harus meninggalkan dunia dan berfikir serta konsentrasi tentang wujud. Ketika jiwa
sudah terbebas dari belenggu materi dan senantiasa berpikir dan konsentrasi
tentang hakikat wujud, maka ia menjadi suci dalam keadaan ini, ia akan mampu
menangkap ilmu-ilmu yang memancar dari Tuhan karena ia sendiri adalah pancaran
dari substansi Tuhan. Ia ibarat cermin yang mampu menangkap gambar-gambar yang
ada di depannya.
Pengetahuan indrawi berkaitan dengan objek-objek lahir. Sebagaimana objek
lahir, hasil dari tangkapan indrawi selalu berubah-ubah. Tindakan pengindraan
ini menghasilkan formasi bayang-bayang tertentu dalam kecakapan membayangkan (representative faculty), dan
bayang-bayang ini kemudian dimasukkan ke dalam kecakapan menyimpan (retentive faculty) sebagai tindak
pemeliharaan, dan dengan begitu diperoleh tingkat keabadiaan tertentu. Sementara,
objek pengetahuan rasional bersifat universal dan imateriil yang kebenarannya
diambil dengan cara menyimpulkan secara logis dan niscaya dari prinsip
pengenalan pertama yang diketahui secara intuitif, seperti “keseluruhan adalah
lebih besar dari sebagian”. Di samping itu, objek pemikiran rasional juga
berkaitan dengan bentuk-bentuk yang dicapai abstaksi objek-objek indrawi.
Akal memiliki analogi tertentu dengan
penginderaan dalam dua hal. Satu,
melepaskan bentuk-bentuk objek akali. Dua, menjadi identik dengan objek dalam
tindkan berpikir. Al Kindi membedakan empat pengertian akal:
1.
Akal yang berada dalam
potensialitas atau akal potensial atau materiil
2.
Akal yang telah berubah dari
potensialitas ke aktualitas atau akal habitual atau habitual without practicing,
3.
Akal manifes atau habitual with practicing,
4.
Akal yang selalu aktual atau Akal
Aktif atau agent.
Ketika jiwa memahami bentuk-bentuk akali yang tidak berhubungan
dengan materi dan bayang-bayang imajinasi, ia akan menjadi sama dengan bentuk-bentuk
itu dan akal kemudian beralih dari potensialitas ke aktualitas. Dalam proses
peralihan ini, bentuk-bentuk akali berperan sebagai sebab efisien karena kalau
tidak, peralihan ini tidak akan terjadi. Dipandang dari aktualitas bentukbentuk
akali, bentuk-bentuk ini identik dengan akal aktif karena dalam tindakan
pengenalan, perbedaan antara akal dengan objeknya sama sekali tidak ada.
Dilihat dari sudut pandang jiwa yang berusaha untuk memahami, bentuk-bentuk ini
dapat disebut dengan akal perolehan (akal mustafad),
selama jiwa memperoleh bentuk-bentuk ini dari akal aktif. Bila jiwa telah
memahami bentuk-bentuk ini, maka ia dapat dipandang mempunyai kemampuan untuk melepaskan bentuk-bentuk itu
semuanya dan dalam kasus ini pengenalan bersifat habitual atau dari
potensialitas ke aktualitas ketika jiwa terlibat benar-banar dalam merenungkan
bentuk-bentuk akali dan mempraktikkannya kepada yang lain maka pengenalannya
bersifat manifes. Dengan kata lain, akal manifes mengacu pada tingkat kedua
aktualitas yang membedakan antara aktualitas pertama yang hanya memiliki
pengetahuan dan aktualitas kedua yang mempraktikkannya. Tidak mengherankan jiwa
penyebutan akal manifes ini beragam. M.M. Syarif, misalnya menyebutnya dengan
“akal yang kedua”, sedangkan George N. Atiyeh menyebutnya dengan “ akal budi
sekunder”, dan C.A. Qadir menyebutnya dengan “ akal habitual yang dipraktikkan.
Pembagian objek ke dalam materiil dan imateriil ini sesuai dengan
pembagian filsafat ke dalam fisika dan metafisika. Entitas yang jatuh ke dalam
separo jarak antara materiil dan materiil di satu sisi ia imeteriil, tetapi di
sisi lain ia dapat dengan mudah berhubungan dengan materi yaitu jiwa.
Tiap-tiap ilmu berkaitan jenis pembuktian khusus. Dalam metafisika
dan matematika kita mencari demonstrasi (Burhan), sementara dalam
ilmu-ilmu yang lebih rendah seperti fisika, retorika dan sejarah kita mencari
pengakuan, representasi, konsensus atau persepsi indriawi. Kerancuan akan
ditemui pada penerapan metode yang salah terhadap persoalan pokok.
Bagi al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat
kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut
persamaan dengan wahyu. Filsafat harus sama sekali tidak mengajukan tuntunan
sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai
penunjang bagi wahyu. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang
segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi
dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak
dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka dan kehidupan akhirat.
Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio,kebangkitan jasmani, mukjizat
keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia.
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi; tidak tersusun, mempunyai arti
penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh berasal dari substansi Tuhan.
Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain
itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh.
Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah. Antara jiwa dan jisim,
kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling memberi bimbingan.
Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari badan ialah ruh menentang
keinginan hawa nafsu dan pemarah. Sudah jelas bahwa yang melarang tidak sama
dengan yang dilarang.[5]
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran
Plato ketimbang pendapat Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah
baharu, karena jiwa adalah bentuk bagi badan. Bentuk tidak bisa tinggal tanpa
materi, keduanya membentuk kesatuan isensial, dan kemusnahan badan membawa
kepada kemusnahan jiwa. Sedangkan Plato berpendapat bahwa kesatuan antara jiwa
dan badan adalah kesatuan accidental dan temporer. Binasanya badan tidak mengakibatkan
lenyapnya jiwa. Namun Al-Kindi tidak menyetujui Plato yang mengatakan bahwa
jiwa berasal dari alam ide. Al-Kindi berpendapat bahwa jiwa mempunyai tiga
daya, yakni: daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Kendatipun bagi
Al-Kindi jiwa adalah qadim, namun keqadimannya berbeda dengan qadimnya Tuhan.
Qadimnya jiwa karena diqadimkan oleh Tuhan.[6]
4.
Moral[7]
Menurut
Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa
sorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk
diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam
para ulama yang memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof
yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam negara.
Ia merasa diri korban kelaliman negara seperti Socrates.
Dalam
kesesakkan jiwa filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih
kekangan, keberanian dan hikmak dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi,
tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata negara. Sebagai filsuf, Al-Kindi
prihatin kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara
wajar. Karena itu dalam akhlak atau moral dia mengutamakan kaedah Socrates.
C.
Studi Kritis tehadap Pemikiran
Filsafat Al-kindi[8]
Sejarah filsafat yang berkembang di dunia
Islam tidak bisa dilepaskan dari perkembangan aliran kalam di tengah-tengah
kaum muslimin, terutama pada masa ke khilafahan Abbasiyah. Al-Kindi merupakan
filosof muslim yang hidup pada zaman khalifah Al-Ma’mun dan Al-Mu’tasim, dimana
pemikiran Mu’tazilah berkembang secara pesat waktu itu. Sehingga amat wajar
jika pemikiran Al-Kindi merupakan kelanjutan dari cara berfikir dari rumusan
logika yang merupakan pengaruh filsafat yunani dalam metode berfikir. Namun
al-Kindi telah memfokuskan kajiannya lebih mengarah pada filsafat daripada
sekedar masalah teologis sebagaimana gagasan para ulama mutakallimin. Oleh
karena itu ia disebut sebagai filosof pertama di dunia Islam yang membuka jalan
atas derasnya pengaruh-pengaruh filsafat Yunani memasuki pemikiran para pemikir
muslim kala itu. Namun pada bagian ini penulis hanya membatasi kajian mengenai
pemikiran Al-Kindi seputar masalah ketuhanan, disebabkan topik yang menjadi
titik tekan adalah menyangkut masalah pemikiran Islam.
Jika kita mencermati pemikiran Al-Kindi
mengenai keberadaan Tuhan maka kesimpulannya tidak jauh beda dari apa yang
digagas oleh ulama mutakallimin. Ia masih membuktikan keberadaan Tuhan melalui
metode pengamatan yang bersifat inderawi yaitu dengan baharunya alam dan
keteraturannya. Namun pada argumentasi mengenai ke anekaragaman alam untuk
membuktikan keberadaan Tuhan sangat nampak pemanfaatan logika mantiknya.
Misalnya dengan proposisi bahwa : Sang khalik adalah zat yang tidak sama dengan
makhluknya, sedangkan alam semesta yang sifatnya beraneka ragam adalah makhluk.
Dengan demikian Tuhan tidak mungkin beraneka ragam sebagaimana makhluknya.
Berdasarkan logika mantik tersebut Al-Kindi menyusun argumentasinya bahwa
keanekaragaman mesti selalu ada bersama keseragaman, dan itu tidak mungkin
terjadi karena kebetulan namun karena sebab lain. Sebab lain itulah yang ia
maksud adalah Tuhan.
Sesungguhnya akal pikiran manusia hanya bisa
berfungsi melaui metode pengamatan terhadap fakta-fakta yang terindera ataupun
melalui informasi akurat yang menjamin kepastiannya. Pada hal-hal yang tidak
dapat di amati secara inderawi maupun tidak ada informasi pasti yang
membicakannya maka hal yang demikian merupakan diluar jangkauan akal. Apa yang
di gagas tentang keberadaan Tuhan oleh al-Kindi dengan bukti baharunya alam
memang merupakan hal yang dapat dijangkau oleh setiap manusia. Sebagaimana
argumentasi orang-orang arab bahwa tidak akan ada kotoran unta jika tidak ada
untanya. Namun ketika ia melampaui batas jangkauan akal dengan mencoba
membahas subtansi z}at Tuhan bahwa Tuhan tidak berubah ataupun tidak bergerak
dengan alasan bahwa gerak hanya dimiliki oleh makhluknya, sementara Tuhan tidak
sama dengan makhluknya, maka menurut hemat penulis ia hanya menyimpulkan
demikian berdasarkan rumusan logika mantik, bukan berdasarkan pengamatan
inderawi dan juga tidak ada keterangan sedikitpun mengenai dzat Tuhan tersebut.
Oleh karena itu sesungguhnya hal yang demikian bukan hasil dari pemikiran
berdasarkan akal dengan keterbatasannya, namun tidak lebih hanya sekedar
spekulasi atau imajinasi yang didasarkan pada rumusan logika sebagai
justifikasinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah
intelektual di dunia Islam yang mana sumbangannya tidak bisa dipungkiri, tetapi
disisi lain, filsafat juga dianggap unsur luar yang mengacak-acak ajaran Islam.
Bisa jadi, ini karena watak filsafat itu sendiri. Filsafat, apapun nama dan
bentuknya, adalah keberanian untuk mempertanyakan kebenaran-kebenaran yang
dalam pandangan umum telah diyakini kebenarannya. Watak “subversif” filsafat
ini juga bisa juga ditemukan dalam filsafat islam.
Kita ketahui bersama bahwasanya filsafat di bagi atas
beberapa periode, periode pertama yang merupakan awal munculnya filsafat yaitu
berasal dari Yunani, karena di sana terdapat beberapa orang yang cenderung
menggunakan otak sebagai landasan berpikir. Tokoh – tokoh seperti Socrates,
Plato dan Aristotales. Periode kedua yang merupakan masa pertengahan adalah
filsafat Islam. Filsafat Islam klasik mulai berkembang pada masa al-Kindi,
yang mana menurut Sulaiman Hasan bahwasanya tidak ada seorangpun filosof Islam
kecuali al-Kindi, karena baginya ia merupakan seorang filosof pertama dalam
Islam begitu juga merupakan filosof Arab pertama. Dalam pengembangan
filsafatnya al-Kindi mengikuti falsafah Arestoteles. Hal itu bisa dibuktikan
dari buku-buku filsafat yang dikarang oleh al-Kindi lebih banyak mengarah pada
buku-buku karangan Aristotales.
Yang mana pemikiran al-Kindi dalam
filsafat sendiri meliputi:
1.
Talfiq, Al-Kindi berusaha memadukan
(talfiq) antara agama dan filsafat.
2.
Filsafat termasuk humaniora yang
dicapai filosof dengan berpikir, belajar, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan
yang menempati tingkat tertinggi karena diperoleh tanpa melalui proses belajar,
dan hanya diterima secara langsung oleh para Rasul dalam bentuk wahyu.
3.
Jawaban filsafat menunjukan
ketidak-pastian ( semu ) dan memerlukan berpikir atau perenungan. Sedangkan
agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa Al-Qur’an memberi jawaban secara pasti
dan menyakinkan dengan mutlak.
4.
Filsafat mempergunakan metode
logika, sedangkan agama mendekatinya dengan keimanan.
5.
Tentang jiwa, menurut Al-Kindi;
tidak tersusun, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi ruh
berasal dari substansi Tuhan. Hubungan ruh dengan Tuhan sama dengan hubungan
cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, ilahiah, terpisah
dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai sifat hawa nafsu dan pemarah.
Antara jiwa dan jisim, kendatipun berbeda tetapi saling berhubungan dan saling
memberi bimbingan. Argumen yang diajukan Al-Kindi tentang perlainan ruh dari
badan ialah ruh menentang keinginan hawa nafsu dan pemarah.
6.
Moral, Menurut Al-Kindi, filsafat
harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa sorang filosof
wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri
(Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Kajian
Keislaman Nurul Ilmi, Buku Induk Terlengkap Agama Islam, Jakarta: Citra Risalah, 2012
Hamdi, Ahmad Zainul. TUJUH FILSUF MUSLIM PEMBUKA PINTU GERBANG
FILSAFAT BARAT MODERN, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004
Tu'nas
Fuaidah, Makalah “KONSEP ETIKA (MORAL) MENURUT PARA FILOSOF MUSLIM”
https://www.academia.edu/5178956/Filsafat_Islam
diakses pada tanggal 17 September 2014, pukul 14.37 WIB.
http://rifqimustanir.blogspot.com/2013/06/sejarah-pemikiran-filsafat-al-kindi-al.html
diakses pada tanggal
17 S
[1]Tim Kajian
Keislaman Nurul Ilmi, Buku Induk Terlengkap Agama Islam, Jakarta: Citra Risalah,
2012.
[2] Ahmad Zainul Hamdi, TUJUH FILSUF MUSLIM PEMBUKA PINTU GERBANG FILSAFAT BARAT MODERN, Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2004, cet. 1, hlm. 47.
[3] Tu'nas Fuaidah, Makalah “KONSEP ETIKA (MORAL) MENURUT PARA FILOSOF MUSLIM”
[4]Ahmad Zainul Hamdi, TUJUH FILSUF MUSLIM PEMBUKA PINTU GERBANG FILSAFAT BARAT MODERN.
[5] https://www.academia.edu/5178956/Filsafat_Islam diakses pada tanggal 17 September 2014, pukul 14.37 WIB
[8]http://rifqimustanir.blogspot.com/2013/06/sejarah-pemikiran-filsafat-al-kindi-al.html diakses pada tanggal 17
September 2014, pukul 14.30 WIB.
www.wka-cool32.blogspot.com
BalasHapusThanks gan..ansarbinbarani.blogspot.com
BalasHapusThanks gan..ansarbinbarani.blogspot.com
BalasHapushalo, terima kasih
BalasHapusThank you
BalasHapus