TAFSIR NIH
MAKALAH SYARAT ROWI DAN TRANSFORMASI HADITS
Rowi ialah
orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang didengar
dan diterimanya dari seseorang syaikh (gurunya). Bentuk jama’nya ruwah dan
perbuatannya menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rowi (riwayat)-kan
hadits.[1]
B.
Syarat-syarat
seorang Rowi
Jumhur
ulama hadits dan fiqih mereka sepakat
bahwa rowi yang riwayatnya bisa diterimabaik bagi
laki-laki maupun wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Keadilan
Keadilan rowi merupakan
faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat. Yang dimaksud
dengan adil di sini yaitu seorang rowi yang muslim, baligh, berakal, selamat
dari sebab-sebab kefasikan dan juga selamat dari perkara-perkara yang
dapat mengurangi muru-ah (harga diri).[2]
Ketika orang muslim meriwayatkan suatu hadits bisa jadi
riwayatnya itu diterima apabila memenuhi syarat-syarat yang lain. Orang kafir
riwayatnya tidak bisa diterima, berdasarkan ijma (konsesus) ulama’[3]. Di
samping itu Allah Swt juga memerintahkan kita untuk memeriksa ulang dan
meneliti berita yang dibawa oleh orang fasik.Allah Swt menjelaskan hal tersebut
dalam al Qur-an:
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uäbÎ)óOä.uä!%y`7,Å$sù:*t6t^Î/(#þqãY¨t6tGsùbr&(#qç7ÅÁè?$JBöqs%7's#»ygpg¿2(#qßsÎ6óÁçGsù4n?tã$tBóOçFù=yèsùtûüÏBÏ»tRÇÏÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.(QS. al-Hujurat [49]:6)
Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperi itu, maka
terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.
Dan juga seorang perowi itu harus sudah usia
baligh, ini merupakan pusat taklif. Karena riwayat anak yang di bawahusia
taklif tidak bisa diterima, sebagaimana sabda Rasulullah Saw : “Terangkatnya
pena dari tiga orang ; dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang tidur
sampai bangun, dan dari anak kecil sampai ihtilam (mimpi)”
Usia baligh merupakan usia dugaan adanya
kemampuan menangkap pembicaaraan dan memahami hukum-hukum syari’at. Yang
dimaksud baligh di sini adalah adanya akal sehat disertai dengan usia yang
memungkinkannya ihtilam (mimpi basah).
Menurut sebagian ulama
hadits, sifat adil adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk bertaqwa,
menjauhi dosa besar, menjauhi dosa kecil dan meninggalkan perbuatan mubah yang
menodai muru-ah (harga diri), seperti makan sambil berdiri, buang air
kecil bukan pada tempatnya, dan bergurau yang berlebihan, sehingga jiwa kita akan percaya akan kejujuran
rowi tersebut.
2.
Dlabith
Dlabith adalah bahwa rowi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits yang
diterimanya dengan sempurna,
baik dengan hafalannya yang kuat ataupun dengan kitabnya, kemudian ia mampu
mengungkapkannya kembali dengan sempurna ketika meriwayatkannya. Persyaratan ini
menghendaki agar seorang perawi tidak melalaikan dan tidak semaunya ketika
menerima dan menyampaikannya.
Kalau seseorang mempunyai ingatan yang
kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu
sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendakinya, maka orang itu
disebut dlabtu shadrin. Sedangkan,
kalau apa yang disampaikan itu berada pada buku catatannya, maka ia disebut dlabtu kitab. Dan rawi yang
adil sekaligus dlabith, maka ia disebut tsiqat.
C.
Metode Tahmmul
Hadits ( Transformasi Hadits)
1. السماع(Mendengar)
Mendengar perkataan guru dari belakang hijab, tetap dianggap sah menurut
jumhur, selagi berkeyakinan bahwa suara yang didengar itu benar-benar suara
gurunya. Oleh karena mengingat bahwa konon para sahabat mendengarkan
hadits-hadits dari ‘Aisyah r.a. dan istri-istri Rasulullah Saw dari belakang
tabir, dan kemudian mereka meriwayatkannya berpedoman kepada suara yang tealah
mereka dengar.[5]Menurut jumhur ulama as-sima’ merupakan cara yang paling tinggi derajatnya dalam
pembagian jalan-jalan penerimaan hadits.
Ketika rowi tersebut menyampaikan
hadits yang ia terima dengan cara as-sima’ itu, maka rowi tersebut
menggunakan shighat-shighat :
(سمعت / سمعنا) : “ saya telah mendengar”
(حدثنى / حدثنا) : “ telah berkata kepada saya”
(اخبرنى / اخبرنا) : “telah menghkabarkan kepada saya”
2. القراءة
على الشيخ (membaca dihadapan guru)
Sebagian besar ulama hadits ada yang menyebutnya dengan “العرض” (penyodoran). Maksudnya seorang
rowi membaca hadits dihadapan guru, baik dari hafalan atau kitabnya, sedang
gurunya memperhatikan. Ketika rowi
menyampaikan hadits tersebut maka ia pakai shighat : قرأت
على فلان“ saya membaca
dihadapan fulan”.
3. الأجازة(Rekomendasi)
Yaitu suatu pemberian kewenangan seorang guru kepada rowi untuk
meriwayatkan riwayatnya yang telah ditentukan kepada seseorang atau beberapa
orang yang telah ditetukan pula, tanpa membacakan hadits yang diijazahkan.
Ijazah itu mempunyai tiga tipe, yakni:
a)
Ijazah fi
mu’ayyanin limu’ayyanin (izin unutk
meriwayatkan sesuatu yang tertentu kepada orang yang tertentu), misalnya:
أجزت لك رواية الكتاب الفلا ني عني
“Aku mengijazahkan kepadamu untuk
meriwayatkan kitab si fulan dari saya.”
b)
Ijazah fi ghairi ma’ayyanin li mu’ayyanin (izin unutk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu kepada orang yang tidak tertentu), misalnya:
أجزت لك جميع مسموعاتي أومروياتى
“Kuijazahkan kepadamu
seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan.”
c)
Ijazah ghairi mu’ayyanin bi ghairi mu’ayyanin (izin untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak
tertentu kepada orang yang tidak tertentu), misalnya:
أجزت للمسلمين جميع مسموعاتي
“Kuijazahkan kepada seluruh
kaum muslimin apa-apa yang saya dengar semuanya.”
Sebagian ulama, termasuk al Khatib dan abut-thayyib membolehkan ijazah tipe
ini.[6]Dalam menyampaikan hadits yang didapat dengan
cara ini, rowi memakai shighat اخبرنا فلان اجازة “telah menghabarkan kepada
kami si fulan dengan cara ijazah”.
4.
المناولة(memberikan, menyerahkan)
Maksudnya, seorang guru memberikan hadits atau sebuah kitab kepada
rowi. Atau seorang rowi serahkan satu kitab kepada gurunya, sesudah gurunya
memeriksa, memperhatikannya benar-benar, lalu ia kembalikan kepada rowi tadi.
Almunawalah, ada yang disertakan dengan izin, dan juga tanpa izin. Yang tidak
disertakan dengan izin yakni, ketika kitab tadi diberikan kepada muridnya
dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengar si fulan,tanpa diikuti dengan
suatu perintah untuk meriwayatkannya.[7]
Tetapi biasanya disertakan dengan izin. Yaitu, ketika guru
mengembalikan kitab kepada rowi, ia berkata : “aku izinkan kamu meriwayatkan
dari aku”. Maka ketika rowi menyampaikan hadits dengan cara munawalah ini
menggunakan shighat اخبرنا مناولة “telah menghabarkan kepada kami dengan cara
munawalah”.
5. المكاتبة(tulisan)
Maksudnya seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau
meminta orang lain untuk menuliskan sebagian haditsnya untuk seorang rowi yang
ada dihadapannya atau rowi yang berada di tempat lain. Mukatabah ini ada dua jenis; pertama,
disertai dengan ijazah. Kedua, tanpa disertai ijazah. Ketika rowi menyampaikan
hadits yang didapat dengan metode ini ia memakai shighat كتبا الي فلان “telah memberikan hadits kepadaku dengan cara
mukatabah”.
6. الأعلام(memberitahu)
Maksudnya seorang guru memberitahu kepada rowi, bahwa hadits ini
atau kitab ini merupakan bagian-bagian riwayat miliknya. Ketika menyampaikan
hadits dari jalan I’lam, rowi memakai shighat أعلمني
فلان “si fulan telah memberitahu kepadaku”.
7. الوصية(mewasiati)
Maksudnya seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau
sebelum meninggal, agar kitabnya diberikan kepada seseorang untuk meriwayatkan
darinya. Metode tahammul ini sangat langka. Ketika menyampaikan riwayat dengan
wasiat ini, rowi memakai shighat: اوصي الي فلان بكتاب “fulan mewasiatkan kepadaku sebuah kitab”
8. الوجادة(mendapat)
Maksud mendapat di sini, seorang rowi mendapat kitab dengan tulisan
orang yang meriwayatkannya, sedangkan rowi tidak pernah mendengar atau menerima
hadits dari yang menulisnya. Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati
dengan metode ini rowi memakai shighat:وجد ت بخط فلان “saya telah mendapatkan
dalam kitab fulan”.
D. Cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadits
Cara sahabat-sahabat Nabi Saw. dalam
meriwayatkan hadits ada dua macam:
1. Adakalanya dengan lafal asli, yakni menurut
lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal.
2. Adakalanya dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan
maknanya bukan lafal yang asli dari Nabi.[8]
Memang mereka meriwayatkan hadits adakalanya dengan maknanya saja. Yang
penting dari hadits ialah isi. Bahasa dan lafal, boleh disusun dengan
kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama.
Berbeda dengan meriwayatkan al Qur-an, yakni harus dengan lafal dan
maknanya yang asli dan sedikitpun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat
itu. Susunan lafal al Qur-an merupakan mu’jizat dari Allah tidak boleh diganti
lafal-lafalnya walaupun dengan sinonimnya. Walaupun sama isinya, tetapi lain
susunannya, tidak dibolehkan.[9]
Karena itu, terdapat hadits-hadits yang diriwayatkan dengan beberapa lafal
(matan). Lantaran hadits-hadits itu diriwayatkan oleh sahabat secara
makna.
[2] Mahmud thahan, Taisir Mushthalahu al Hadits, diterjemahkanolehAbu fuaddengan judul Ilmu
Hadits Praktis, Cet. V, (Bogor:Pustaka thariqul izzah, 2012),hlm.
186.
[4] Manna’ al-Qaththan, Mabahits fii ‘Ulum al-Hadits, diterjemahkan
oleh Mifdhol Abdurahman dengan judul Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet.
V, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010),
hlm. 182
[8]Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits,(Cet.II;Semarang:
PT. Pustaka
Rizki Putra, 2009), hlm. 39
Tidak ada komentar
Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.
Salam : Admin K.A.