MAKALAH ISLAM NIH
HADITS MAUDHU
1)
Latar
Belakang
Umat Islam sepakat bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua
setelah al-Qur’an. Ilmu hadits merupakan salah
satu pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki
oleh setiap kaum muslimin. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang
yang mengatakan bahwa ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para salaafussholih
yang memang benar-benar memiliki kemampuan khusus dalam ilmu agama, sehingga opini
ini membuat sebagian kaum muslimin merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadits.
Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat kaum muslimin menjadi kurang tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam. Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat banyak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin menjadi para pelaku bid’ah. Jika kaum muslimin masih memandang remeh tentang ilmu hadits ini, maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi ‘aqidah kaum muslimin dalam menjalankan sunnah Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam.
Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat kaum muslimin menjadi kurang tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam. Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat banyak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum muslimin dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin menjadi para pelaku bid’ah. Jika kaum muslimin masih memandang remeh tentang ilmu hadits ini, maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi ‘aqidah kaum muslimin dalam menjalankan sunnah Rosulullah shollallahu’alaihi wasallam.
Maka dari itu, sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk mempelajarinya
supaya tidak timbul kesalah pahaman, apalagi yang berkaitan dengan permasalahan
Hadits Maudhu’ yang dapat menyebabkan tidak diterimanya amal
ibadah seorang muslim karena mengamalkan Hadits Maudhu’.
2)
Rumusan
Masalah
1.
Apa itu Hadits Maudhu’?
2.
Apa saja macam-macam Hadits Maudhu’?
3.
Apa saja faktor penyebab munculnya Hadits
Maudhu’?
4. Apa saja ciri-ciri Hadits Maudhu’?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Maudhu’
Hadits palsu dalam bahasa ‘Arab dikenal dengan istilah Hadits Maudhu’. Secara etimologi al-Maudhu’ (الموضوع) merupakan bentuk isim maf’ul dari kataيضع - وضع. Kata tersebut memiliki makna menggugurkan, meletakkan, meninggalkan,
dan mengada-ada. Jadi secara bahasa Hadits Maudhu’ dapat disimpulkan
yaitu hadits yang diada-adakan atau
dibuat-buat.[1]
Menurut terminologi Hadits Maudhu’ terdapat
beberapa pengertian, diantaranya menurut Imam
Nawawi definisi Hadits Maudhu’ adalah:
هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ وَشَرُّ
الضَّعِيْفِ، وَيَحْرُمُ رِوَايَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِهِ فِيْ أَيِّ مَعْنًى
كَانَ إِلاَّ مُبَيَّناً.
“Dia (Hadits Maudhu’) adalah hadits yang yang direkayasa, dibuat-buat, dan hadits dhoi’f
yang paling buruk. Meriwayatkannya adalah haram ketika mengetahui kepalsuannya
untuk keperluan apapun kecuali disertai dengan penjelasan.”[2]
Ada juga yang berpendapat bahwa Hadits Maudhu’
adalah :
مانُسب الى الرّسول صلى الله
عليه وسلّم اختلا قًا وكذبًا ممّا لم يقلْه أو يفعله أو يقرّه
“Sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam secara
mengada-ada dan
dusta yang tidak beliau sabdakan, beliau kerjakan ataupun
taqrirkan.”[3]
Sedangkan menurut sebagian ‘Ulama hadits, pengertian Hadits Maudhu’
adalah:
هو المختلع المصنوع المنصوب الى رسول الله صلى الله عليه وسلّم زورًا وبهتا
نًا سواءٌ كان ذالك عمدًا أم خطأً
”Hadits yang dicipta serta dibuat
oleh seseorang (pendusta), yang ciptaan itu dinishbatkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam secara palsu dan dusta, baik hal itu sengaja maupun tidak.”[4]
Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’
menurut para ’ulama yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hadits
Maudhu’ adalah Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak sengaja,
padahal beliau tidak mengatakan, tidak memperbuatnya dan tidak mentaqrirkannya.
B. Macam-macam Hadits Maudhu’
1.
Perkataan
itu berasal dari pemalsu yang disandarkan pada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam.
2.
Perkataan
itu berasal dari ahli hikmah, orang zuhud atau Isra’iliyyat dan pemalsu
yang menjadikannya hadits.
3.
Perkataan
yang tidak diinginkan rawinya , melainkan dia hanya keliru.[5]
C. Sebab Kemunculan Hadits Maudhu’
Munculnya pemalsuan hadits berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam. Dimulai dengan
terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin
‘Affan, dilanjutkan dengan pertentangan yang semakin memuncak antara kelompok ta’ashub ‘Ali bin
Abi Thalib di Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi
perselisihan yang tidak bisa terelakan lagi. Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang berselisih
ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan
al-Qur’an dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas
yang mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan
al- Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits
yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk
mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejara timbulnya hadits palsu
dikalangan umat islam.[6]
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadits tidak
hanya lakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang
non-Islam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadits palsu yaitu
sebagai berikut:
1. Pertentangan politik
Pertentangan
politik ini terjadi karena adanya perpecahan antara golongan yang satu dengan
golongan yang lainnya, dan mereka saling membela golongan yang mereka ikuti
serta mencela golongan yang lainnya. Seperti yang terjadi pada polemik
pertentangan kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah
sehingga terbentuk golongan syi’ah, khawariz, dll. yang
berujung pada pembuatan hadits palsu sebagai upaya untuk memperkuat golongannya masing-masing.
2.
Usaha kaum Zindiq
Kaum Zindiq
adalah golongan yang membenci Islam, baik sebagai agama ataupun sebagai dasar
pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui
konfrontasi dan pemalsuan Al-Qur’an, sehingga menggunakan cara yang paling
tepat dan memungkinkan, yaitu melakukan pemalsuan hadits,
dengan tujuan menghancurkan agama islam dari dalam. Salah satu diantara mereka adalah Muhammad bin
Sa’id al-Syami, yang dihukum mati dan disalib karena kezindiqannya. Ia
meriwayatkan hadits dari Humaid dari Anas secara marfu’ :
أناخاتمُ النبيّين لا نبيّ بعديْ إلاّ أن يشاءالله
"Aku adalah
nabi terakhir, tidak ada lagi nabi sesudahku, kecuali yang Allah kehendaki.”[7]
3. Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan pimpinan
Salah satu
tujuan pembuatan hadits palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta serta ingin
menonjolkan seseorang, bangsa, kelompok, dan sebagainya. Itu disebabkan karena kebencian,
bahkan balas dendam semata. Sebagai contoh, menurut keterangan al-Khalily,
salah seorang penghafal hadits, bahwa kaum Rafidhah telah membuat hadits palsu
mengenai keutamaan ‘Ali bin Abi Thalib dan ahlu al-Bait sejumlah 300.000
hadits.[8]
4. Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat
Kelompok
yang melakukan pemalsuan hadits ini bertujuan untuk memperoleh simpati dari
pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. Jadi pada intinya
mereka membuat hadits yang disampaikan kepada yang lainnya terlalu
berlebih-lebihan dengan tujuan ingin mendapat sanjungan.
5.
Perbedaan pendapat dalam masalah ‘Aqidah dan ilmu Fiqih
Munculnya hadits-hadits palsu
dalam masalah ini berasal dari perselisihan pendapat dalam hal ‘aqidah dan ilmu fiqih para pengikut madzhab. Mereka
melakukan pemalsuan hadits karena didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya
masing-masing. Misalnya hadits palsu yang isinya tentang keutamaan Khalifah
‘Ali bin Abi Thaalib:
عليّ
خيرالبشرمَن شكّ فيه كفر
"’Ali
merupakan sebaik-baik manusia, barangsiapa yang meragukannya maka ia telah
kafir.”[9]
6. Membangkitkan gairah beribadah, tanpa mengerti apa yang dilakukan
Sebagian
orang sholih, ahli zuhud dan para ulama akan
tetapi kurang didukung dengan ilmu yang mapan, ketika melihat banyak orang yang
malas dalam beribadah, mereka pun membuat hadits palsu dengan asumsi bahwa
usahanya itu merupakan upaya mendekatkan diri kepada Allah subhaanahuwata’ala
dan menjunjung tinggi agama-Nya melalui amalan yang mereka ciptakan, padahal
hal ini jelas menunjukan akan kebodohan mereka. Karena Allah subhaanahuwata’ala dan Rasul-Nya tidak butuh kepada orang lain untuk menyempurnakan dan
memperbagus syari’at-Nya.
7. Pendapat yang
membolehkan seseorang untuk membuat hadits demi kebaikan
Sebagian kaum muslimin
ada yang membolehkan berdusta atas nama Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk memberikan semangat kepada umat dalam
beribadah, padahal para ’ulama telah sepakat atas haramnya berdusta atas nama
Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, apapun sebab dan alasannya.
D. Ciri-ciri Hadits Maudhu’
Para ulama ahli hadits telah menetapkan beberapa kriteria
untuk bisa membedakan antara hadits shohih, hasan dan dho’if.
Mereka pun menetapkan beberapa kaidah dan ciri-ciri agar bisa mengetahui
kepalsuan sebuah hadits. Berikut adalah beberapa
ciri-ciri Hadits Maudhu’ yang diambil dari berbagai sumber. Secara garis
besar ciri-ciri Hadits Maudhu’ dibagi menjadi dua, yaitu:
1)
Dari segi Sanad (Para Perawi Hadits)
Sanad adalah rangkaian perawi hadits yang menghubungkan antara pencatat hadits sampai kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Terdapat
banyak hal untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits dari sisi sanadnya ini, diantaranya adalah:
a.
Salah satu perawinya adalah seorang pendusta dan hadits itu hanya diriwayatkan oleh dia, serta tidak ada satu pun perawi
yang tsiqoh (terpercaya) yang juga meriwayatkannya, sehingga riwayatnya
dihukumi palsu.
b.
Pengakuan
dari pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam, bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang
keutamaan al-Qur`an juga pengakuan Abdul Karim bin Abi Auja’ yang
mengaku telah memalsukan empat ribu hadits.
c.
Fakta-fakta
yang disamakan dengan pengakuan pemalsuan hadits, misalnya seorang perawi
meriwayatkan dari seorang syekh, padahal ia tidak pernah bertemu
dengannya atau ia lahir setelah syekh tersebut meninggal, atau ia tidak
pernah masuk ke tempat tinggal syekh. Hal ini dapat diketahui dari
sejarah-sejarah hidup mereka dalam kitab-kitab yang khusus membahasnya.
d.
Dorongan
emosi pribadi perawi yang mencurigakan serta ta’ashub
terhadap suatu golongan. Contohnya seorang syi’ah yang fanatik, kemudian ia
meriwayatkan sebuah hadits yang mencela para
sahabat atau mengagungkan ahlul bait.
2)
Dari
segi Matan (Isi Hadits)
Matan adalah isi sebuah hadits.
Diantara hal yang paling penting untuk bisa mengetahui kepalsuan sebuah hadits
dari sisi ini adalah:
a.
Tata bahasa dan struktur kalimatnya jelek, sedangkan Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam adalah seorang yang sangat fasih dalam mengungkapkan kata-kata,
karena beliau adalah seseorang yang dianugerahi oleh Allah subhaanahuwata’ala
Jawami’ul Kalim (kata pendek yang mengandung arti luas).[10]
b.
Isinya
rusak karena bertentangan dengan hukum-hukum akal yang pasti, kaidah-kaidah
akhlak yang umum, atau bertentangan dengan fakta yang
dapat diindera manusia. Contohnya adalah sebuah hadits :
إنّ سفينة نوحٍ طافتْ بالبيتِ
سبعًا وصلّتْ خلف المقامِ ركعتينِ
“Bahwasannya kapal nabi Nuh thawaf keliling Ka’bah tujuh kali
lalu shalat dua raka’at di belakang maqam Ibrahim.”[11]
c.
Bertentangan
dengan nash al-Qur`an, as-Sunnah,
atau Ijma’ yang pasti dan hadits tersebut tidak mungkin
dibawa pada makna yang benar.
Contoh Hadits Maudhu’’ yang maknanya bertentangan
dengan al-Qur’an,
ialah hadits:
وَلَدُ
الزِّنَا لايَدْخُلُ اْلجَنِّةَ اِلَى سَبْعَةِ اَبْنَاءٍ
Makna hadits
ini bertentangan dengan kandungan ayat al-Qur’an :
وَلا تَزِرُ
وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain.”[13]
Kandungan
ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seseorang tidak dapat dibebankan kepada
orang lain, sampai seorang anak sekalian tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.
d.
Bertentangan
dengan fakta sejarah pada jaman Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Seperti hadis yang mengatakan bahwa Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam menggugurkan kewajiban membayar jizyah atas orang yahudi
Khoibar yang ditulis oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan disaksikan oleh Sa’ad
bin Mu’adz. Padahal telah ma’ruf dalam sejarah bahwa jizyah itu belum
disyaria’tkan saat peristiwa perang Khoibar yang terjadi pada tahun ke-7
hijriyah, karena jizyah baru disyari’atkan saat perang Tabuk pada tahun
ke-9 hijriyah. Juga Sa’ad bin Mu’adz meninggal dunia ketika perang Khondaq, dua
tahun sebelum peristiwa Khoibar. Sedangkan Mu’awiyah baru masuk Islam pada
waktu Fathu Makkah pada tahun ke-8 hijriyah.[14]
e.
Menyebutkan
pahala yang terlalu besar untuk ‘amal yang terlalu ringan atau ancaman yang
terlalu besar untuk sebuah dosa yang kecil. Hadits-hadits semacam ini banyak
ditemukan dalam kitab-kitab mau’izhah. Contoh :
مَنْ قَالَ لا اِلَهَ اِلا اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَةِ
طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لِسَانٍ لِكُلِّ لِسَانٍ سَبْعُوْنَ اَلْفِ
لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ
“Barang siapa mengucapkan
tahlil (laa ilaaha illallah) maka Allah subhaanahuwata’ala. menciptakan
dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan
mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya.”
Bahkan perasaan halus yang
diperoleh dari menyelami hadits secara mendalam, dapat juga dijadikan pertimbangan
dalam menentukan Hadits Maudhu’. Al-Rabi’ Ibn Khaitsam berkata:
“Bahwasannya diantara hadits, ada yang bersinar, kita dapat
mengetahuinya dengan sinar itu, dan bahwa diantara hadits ada hadits yang gelap
sebagaimana kegelapan malam, kita mengetahuinya dengan itu.”
Seseorang yang dapat mengetahui identitas kepalsuan
sebuah hadits, tentu saja berasal dari kalangan para ‘ulama yang telah
menguasai betul mengenai seluk-beluk hadits dan ilmu-ilmu lain yang dapat
mendukung seseorang mengetahui bahwa sebuah hadits adalah palsu.
Inilah kaidah yang telah ditetapkan para ulama
hadits sebagai dasar memeriksa benar tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui
mana yang shahih dan mana yang maudhu’. Dengan memperhatikan apa yang telah dijelaskan ini,
nyatalah bahwa para ulama hadits tidak mencukupkan dengan memperhatikan sanad
hadits saja, bahkan juga mereka memperhatikan matannya.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan dari beberapa pengertian Hadits Maudhu’
menurut para ’ulama, dapat disimpulkan bahwa Hadits Maudhu’
adalah hadits yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak
sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak melakukan dan
tidak mentaqrirkannya.
Hadits Maudhu’ bisa berupa perkataan dari seorang pemalsu, baik itu dari
golongan orang biasa yang sengaja membuatnya demi kepentingan tetentu, atau
para ahli hikmah, orang zuhud, bahkan Isra’iliyyat. Selain itu bisa juga merupakan
kesalahan rawi dalam periwayatan dengan syarat dia mengetahui kesalahan itu
namun dia membiarkannya.
Kemunculan hadits-hadits palsu berawal dari terjadinya fitnah di
dalam tubuh Islam. Dimulai dengan terbunuhnya para khalifah sebelum ‘Ali bin
Abi Thaalib rodliyallahu’anhum, dilanjutkan dengan perseteruan yang semakin memuncak antara kelompok ta’ashub ‘Ali bin
Abi Thalib dan Mu’awiyah. Sehingga
terpecahlah islam menjadi beberapa golongan, yang mana sebagian kaum muslimin
yang berselisih ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing
dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang
tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan
al-Hadits pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat hadits-hadits
yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk
mendukung golongan masing-masing.
Kaidah-kaidah yang telah ditetapkan para ‘ulama
hadits sebagai dasar memeriksa benar tidaknya suatu hadits dan untuk mengetahui
mana yang shahih dan mana yang maudhu’ secara garis besar terbagi menjadi dua,
yaitu dilihat dari sudut pandang matan dan sanad. Oleh karena itu
para ulama hadits tidak
mencukupkan dengan memperhatikan sanad hadits saja, bahkan juga mereka
memperhatikan matannya.
[1] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang
Populer di Indonesia. Gresik :
Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 27.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqi. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI
PUTRA. 2009. hlm. 191.
[10] Maka
setiap kalimat yang jelek tata bahasa dan strukturnya tidak mungkin merupakan
sabda Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam. Hanya saja al-Hafidz Ibnu Hajar
rahimahullah berkata :”jeleknya tata bahasa tidak selamanya menunjukan bahwa
hadits itu palsu, karena diperbolehkan untuk meriwayatkan hadits dengan
maknanya saja. Namun jika si perawi itu menjelaskan bahwa hal ini adalah teks
ucapan Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam, maka jeleknya tata bahasa
menunjukan kepalsuannya. Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif
Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia. Gresik
: Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 38.
[14] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif
Abu Yusuf. Hadits Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia. Gresik
: Pustaka AL FURQAN. 2009. hlm. 39.
Jazakumullahu khairan Admin
BalasHapusSangat bermanfaat blognya
mantapss makalahmya guyss,, bantu channel ni,, smoga bermanfaat...Aaamiin...
BalasHapus