TAFSIR NIH
PENTINGNYA MENGAMALKAN ILMU
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam Islam,
ilmu memiliki aksiologis yang sangat agung. Karena dengan ilmu-lah semuanya
berawal dalam meniti jalan suci ini. Selain itu, ilmu juga dapat mengangkat
derajat bagi siapa saja yang memilikinya.
Begitulah nikmatnya
islam sehingga segala tingkah laku kita
diatur oleh Islam. Sampai
pada ilmu pun Islam
mengaturnya, mulai dari kewajiban menuntut ilmu, mengamalkan ilmu dan ancaman
bagi orang yang tidak mengamlakan ilmu. hal tersebut harus kita pelajari secara
mendetail sehingga kita tidak termasuk orang yang salah dalam memahami ilmu.
Ilmu yang
telah kita peroleh membutuhkan lahan agar ilmu tersebut dapat menjadi penolong
bagi kita yaitu dengan cara mengamalkannya, baik dengan mengajarkannya maupun
yang lainnya. Ilmu tersebut berpotensi menjadi boomerang bagi kita jika kita
tidak mengamalkan ilmu tersebut,
diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ary
bahwa Rasulullah bersabda:
والقرآن حجة لك أو عليك
“Al-Qur’an
adalah hujjah untukmu dan juga dapat menghujatmu” [HR.
Muslim 3/101, ini adalah bagian dari hadits yang panjang.]
Mungkin kita bisa mengatakan dengan kalimat
ini:
“
jangan biarkan satu orang pun tersesat karena ilmu yang kita peroleh tidak
diamalkan”
Begitulah
pentingnya mengamlakan ilmu sehingga ada pahala yang menanti kita jika kita
mengamlakan ilmu tersebut, namun disana juga telah menanti kehancuran yang
sedang mengendap-mengendap di balik layar untuk menjerumuskan kita jikalah kita
tidak mengamlakan apa yang telah kita pelajari
B. Rumusan masalah
1. Bagaimanakah
urgensi mengamalkan ilmu?
3. Bagaimanakah hukum dan
ancaman-ancaman bagi seorang muslim yang tidak mengamalkan ilmunya?
C. Tujuan
1. Mengetahui
urgensi mengamalkan ilmu.
2. Menyebutkan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang berkaitan dengan pentingnya mengamalkan ilmu.
3. Mengetahui hukum-hukum dan
ancaman-ancaman bagi seorang muslim yang tidak mengamalkan ilmunya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Urgensi Mengamalkan Ilmu
Ilmu yang
telah kita peroleh membutuhkan lahan agar ilmu tersebut dapat menjadi penolong
bagi kita, yaitu dengan cara mengamalkannya, baik dengan mengajarkannya maupun
yang lainnya. Hal ini merupakan fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Mengingat
adanya ancaman-ancaman di dalam al-Qur’an bagi orang-orang yang tidak
mengamalkan ilmunya padahal ia mengetahui ilmu tersebut.
B. Ayat-Ayat yang Menyatakan
Pentingnya Mengamalkan Ilmu
Berikut
ini adalah diantara ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan tentang pentingnya mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh:
1.
Surat al-fatihah
ayat 7
صِرَٰطَ
ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
٧
“(yaitu)
Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
Penggalan “…..jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan
nikmat kepada mereka,” menafsirkan “
jalan yang lurus”. Orang-orang yang telah dianugerahi nikamat oleh Alloh,
mereka yang dituturkan dalam surat An-Nisa’,
“ Dan barangsiapa mentaatai Alloh dan Rosul-(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Alloh, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang yang soleh. Dan mereka itulah teman
yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Alloh, dan Alloh cukup
mengetahui,” (an-Nisa: 89-70)
Adh-Dahhak
namenceritakan dari Ibnu Abbas,” jalan orang-orang yang telah Engkau beri
nikmat kepadanya karena menaati dan menyembah-Mu, yaitu dari kalangan para
malaikat-Mu, shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang soleh.”
Hal ini sama dengan firman Robb kita,’
“Dan
barangsiapa yang menaati Alloh dan Rosul-(Nya), mereka itu akan bersama-sam
dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat o;eh Alloh.” (an-Nisa:69).
“ Bukan
(jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”,
yaitu bukan jalan orang-orang yang dimurkai. Mereka adalah orang-orang yang
rusak kehendaknya; mereka mengetahui kehendaknya, namun berpindah dari
kebenaran tersebut.
Dan, “ bukan
( pula) jalan mereka yang sesat”, yaitu mereka tidak memiliki pengetahuan
dan menggandrungi kesesatan. Mereka tidak mendapat petunjuk ke arah kebenaran.
Hal itu dikuatkan dengan Laa untuk menunjukkan bahwa disana ada dua jalan
yang rusak, yaitu jalan kaum Yahudi dan jalan kaum Nashroni.
Sesungguhnya
jalan orang-orang yang beriman itu mencakup pengetahuan akan kebenaran dan
pengamalannya, sedangkan kaum Yahudi tidak memiliki amal dan kaum Nashroni
tidak memiliki pengetahuan. Oleh karena itu, kemurkaan bagi kaum Yahudi dan
kesesatan bagi kaum Nashroni, karena orang yang mengetahui, tetapi tidak
beramal, berarti ia berhak mendapatkan kemurkaan, dan ini berbeda dengan
orang-orang yang tidak tahu. Kaum Nashroni menuju kepada suatu perkara, yaitu
mengikuti kebenaran, namun mereka tidak benar dalam melakukannya karena tidak
sesuai dengan ketentuannya sehingga mereka pun sesat.
Baik Yahudi
maupun Nashroni adalah sesat dan dimurkai. Sifat Yahudi paling spesifik adalah
kesesatan, sebagaimana Alloh berfirman ihwal mereka,
“ yaitu
orang-orang yang dikutukki dan dimurkai Alloh”, (Al-Maidah: 60)
Sifat Nashroni
yang sangat spesifik adalah kesesatan, sebagaimana Alloh berfirman:
“dan janganlah
kamu mengikutihawa nafsu orang-orang yang sesat dahulunya (sebelum kedatangan
Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka
tersesat dari jalan yang lurus”. (al-maidah:77)
Hamid bin
Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, ia berkata,” Saya bertanya kepada
Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam. Tentang “ Bukan (jalan)
mereka yang dimurkai...., beliau bersabda, yaitu kaum Yahudi.’ Dan
bertanya tentang “...bukan (pula jalan) mereka yang sesat.’ Beliau
bersabda,” kaum Nashroni adalah orang-orang yang sesat.’ Begitu pula
hadits yang diriwayatkan’.” Beliau bersabda,’ kaum kaum nashroni adalah
orang-orang yang sesat.’ Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Sufyan
bin Uyainah dengan sanadnya dari Adi bin Hatim. Ibnu Mardawih meriwayatkan dari
Abu Dzar, ia berkata,” saya bertanya kepada Rasululloh sholallohu ‘alaihi
wasallam. Tentang orang-orang yang dimurkai, beliau bersabda,’ kaum
Yahudi.’ Saya bertanya tentang orang-orang sesat, beliau bersabda,’ kaum
Nashroni.[1]
Surat
al-fatihah ayat ke-7 ini memberitahukan kepada kita bahwa ada 3 golongan yang
berbeda nasib:
1. Orang
yang telah dianugerahkan
nikmat kepada mereka. Merekalah orang yang beruntung karena mereka mempunyai
ilmu akan kebenaran dan pengamalannya dari ilmu tersebut.
2. Orang
Yahudi, mereka adalah orang yang mempunyai ilmu tetapi tidak beramal dengannya
sehingga mereka berhak mendapat murka Alloh.
3. Orang
Nashroni, mereka adalah orang yang tidak mempunyai ilmu tetapi mereka beramal
tanpa ilmu, sehingga mereka diklaim sebagi orang yang sesat bahkan bias
menyesatkan orang lain.
Bertumpu
pada hal tersebut maka seyogianya
kita sebagai seorang Muslim
untuk mengikuti langkah orang yang telah dianugerahkan nikmat kepada mereka,
karena mereka mempunyai ilmu dan beramal dengan ilmu tersebut. Bukan orang
Yahudi karena mereka punya ilmu tetapi tidak diamalkan. Ungkapan inilah yang
memberitahukan kita akan pentingnya mengamalkan ilmu, agar kita tidak seperti
orang Yahudi yang mendapat murka Alloh.
2. Qur’an Surat At-Taubah ayat 122
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ
فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ
وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.”
Ayat ini
merupakan penjelasan dari Alloh Ta’ala bagi berbagai golongan penduduk Arab
yang hendak berangkat bersama Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam ke
perang Tabuk. Sesungguhnya , ada segolongan ulama salaf yang berpendapat
bahwa setiap muslim wajib berangkat untuk berperang, apabila Rasululloh pun
berangkat. Oleh karena itu, Alloh Ta’ala berfiraman,” Maka, pergilah kamu semua dengan ringan maupun berat.”
(At-Taubah:41).
Surat
at-taubah di atas dinasakh oleh firman Alloh “ tidak sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang arab Badui yang
berdiam di sekitar mereka tidak turut menyertai Rasululloh.”
(at-taubah;120). Pendapat lain mengatakan: semua golongan dari penduduk Arab
yang muslim wajib berangkat perang. Kemudian, dari sekian golongan itu harus
ada yang menyertai Rasululloh sholallohu ‘alaihi wasallam guna memahami
agama lewat wahyu yang diturunkan kepadanya, kemudian mereka dapat
memperingatkan kaumnya apabila mereka telah kembali, yaitu ihwal persoalan
musuh. Jadi, dalam pasukan itu ada dua kelompok: kelompok yang berjihad dan
kelompok yang memperdalam agama melalui Rosululloh sholallohu ‘alaihi
wasallam.
Sehubungan
dengan ayat ini, Al-Aufi meriwayatkan dari dari Ibnu Abbas, dia berkata: Dari
setiap penduduk Arab, ada sekelompok orang yang menemui Rasululloh sholallohu
‘alaihi wasallam. Mereka menanyakan kepada beliau berbagai persoalan agama
yang mereka kehendaki dan mendalaminya. Mereka berkata,” Wahai Rasululloh ,
apa yang engkau perintahkan kepada kami yang harus kami lakukan dan bertahukan
kepada keluarga kami yang bila kami kembali?” Ibnu Abbas berkata: maka
Nabi, menyuruh mereka menaati Rasululloh, menyampaikan berita kepada kaumnya
ihwal kewajiban mendirikan sholat dan zakat. Jika golongan ini telah sampai
kepada kaumnya, mereka berkata: “ Barangsiapa masuk Islam, maka dia termasuk
kelompok kami.” Mereka memberi peringatan sehingga ada seseorang yang
berpisah dengan ayah dan ibunya. Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasallam
memberitahukan kaumnya jika mereka telah kembali ke kampung halamannya:
memperingtkan dengan neraka dan menggembirakan dengan surga.[2]
Ayat
ini menerangkan tentang kewajiban seluruh kaum muslimin arab untuk mengikuti
perang bersama Rasululloh. Kemudia dari sekian golongan itu harus ada yang
berdiam diri untuk menimba ilmu dari Rasullulloh, kemudian memperingatkan
kaumnya perihal musuh. Hal ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Hatim, bersumber dari Ikrimah, bahwa ketika turun ayat “illa tanfiru yuadzibkum adzaban alima” (Q.S.
at-Taubah:39),” ada beberapa orang yang jauh dari kota dan tidak ikut perang
karena mereka mengajar kaumnya. Berkatalah kaum munafik ,” celakallah
orang-orang di kampong itu karena ada orang-orang yang meninggalkan diri yang
tidak turut berjihad bersama Rasululloh. Maka, turunlah ayat ini yang
membenarkan orang-orang yang meninggalkan diri untuk memperdalam ilmu dan
menyebarkannya pada kaumnya.
Wajhu
dilalah dalam ayat ini adalah kalimat (untuk
member peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali). Maka
jelaslah pentingnya orang yang menuntut ilmu kemudian mengamlakan ilmunya
tersebut dengan cara mengajarkannya (memberi peringatan) kepada kaumnya.
Sehingga ilmu tersebut bisa berguna bagi dirinya dan orang lain.
3.
Al-Qur’an
Surat Al-‘Ashr ayat 3
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ
Artinya: “Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Ayat ini
menyebutkan tentang kriteria orang-orang yang terbebas dari justifikasi “rugi”.
Diantaranya ada dua syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh seorang
hamba yakni sebagai berikut:
1.
Iman
Syarat pertama, yaitu beriman kepada Allah swt. Dan keimanan ini tidak akan
terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan
tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah
ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain)
untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam
berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at
Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang
diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya.
2. Amal
Syarat yang kedua adalah amal. Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu
kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut.
Maksudnya, seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya
tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan
amalnya.
Mengenai
ayat ini, Ibnu Katsir mengungkapkan di
dalam tafsirnya:
Dengan demikian Alloh memberikan pengecualian dari kerugian itu kepada
orang-orang yang beriman dengan hati mereka, dan mengerjakan amal shaleh dengan
anggota tubuh mereka, mewujudkan semua bentuk ketaatan dan meninggalkan semua
yang diharamkan, dan bersabar atas segala macam cobaan, takdir, serta
gangguan-gangguan yang dilancarkan kepada orang-orang yang mengamalkan amal
ma’ruf dan nahi munkar.[3]
C.
Hadits
yang Berkaitan
dengan Pentingnya
Mengamalkan
Ilmu
من
يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang
siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan membuat dia faqih
(paham) tentang ilmu agama.”
Abdullah bin
Mas’ud rodhiyallohu
anhu berkata “Bagaimana jadinya jika para
pembaca sangat banyak, tetapi yang memahaminya sedikit?” Jika
seorang mengetahui syariat Alloh, akan tetapi ia tidak mengamalkannya, maka
orang seperti itu bukanlah seorang yang fakih (memahami isi agamanya),
sekalipun ia hafal dan memahami isi kitab fikih paling besar diluar kepala. Ia hanya dinamakan seorang qori
saja. Orang fakih adalah orang yang
mengamalkan ilmunya.[4]
Dalam hadits tersebut
memberitahukan kepada kita bahwa orang yang Alloh kehendaki suatu kebaikan maka
dia akan difaqihkan dalam agamanya. Wajhu dilalah dalam hadits ini adalah يُفَقِّهْهُ
فِي الدِّيْنِ. Berkenaan dengan hal
tersebut ada sebuah perkataan dari Ibnu Mas’ud tentang orang faqih. Ia
mengatakan bahwa orang faqih itu adalah orang yang mengamalkan ilmunya. Dia
tidak dikatakan faqih sebelum ia mengamalkan ilmunya, meskipun dia hafal kitab
fiqih yang sangat banyak. Dari sinilah kejelasan informasi yang disampaikan
oleh Ibnu Mas’ud yang hendak memberitahukan kepada kita tentang pentingnya
mengamalkan ilmu yang telah kita perolah. Sehingga kita menjadi orang yang
dikatakan faqih dalam hadits tersebut, bukan seorang Qori yang hanya membaca
saja tanpa ada amal yang ia lakukan dari ilmu tersebut.
Dari Abu Musa Rodiyallohu
‘anhu ia berkata: Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda.,”
Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa seperti hujan deras yang diurunkan
ke bumi. Di antaranya ada tanah yang bagus (subur) yang menyerap air lalu
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan banyak rerumputan. Dan sebagian tanah ada yang
keras yang mampu menampung air sehingga bermanfaat untuk semua orang. Sehingga
semua orang bisa meminumnya, menyirami tanaman dan bercocok tanam. Ada pula
hujan yang ditumpahkan ke bagian tanah yang keras dan kering. Tidak menahan air
dan tidak juga menumbuhkan rerumputan. Demikianlah perumpamaan seseorang yang
memahami agama Alloh dan memberikan manfaat kepada dirinya sehingga ia mengerti
dan mengjarkannya. Dan perumpamaan orang yang tidak mendapatkan semua itu
adalah seseorang yang tidak menerima petunjuk Alloh yang aku bawa. (muttafaq
alaih)
Tanah akan
subur setelah mendapatkan siraman air, begitu pula dengan hati. Hati akan
menjadi hidup setelah mendapatkan siraman wahyu.
Wahyu laksana
air hujan, akan tetapi seperti yang diumpamakan oleh Rasululloh sholallohu
‘alaihi wasallam bahwa lapisan tanah ketika di sirami air hujan terbagi
kepada tiga macam.
Pertama, Lapisan tanah yang menyerap air
hujan sehingga menumbuhkan banyak tumbuh-tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi
manusia.
Kedua, Lapisan tanah yang keras dan kering
yang tidak bisa menumbuhkan apa-apa. Akan tetapi lapisan tanah ini mampu
menampung air sehingga banyak orang mengambil air minum darinya sampai puas
untuk bercocok tanam.
Ketiga, Lapisan tanah yang kering dan
menyerap banyak air tetapi tidak menumbuhkan apa-apa. Inilah perumpamaan orang
yang memahami agama Alloh Ta’ala sehingga mengerti dan mengajarkannya pada
orang lain dan perumpamaan orang yang tidak peduli dengan semua itu.
Lapisan
pertama dan kedua diumpamakannya dengan orang-orang yang menerima kebenaran,
mereka memahami dan mengajarkannya. Bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.
Orang-orang seperti mereka ini terbagi kepada dua kelompok:
1. Sekelompok
orang yang mengerti dan memahami serta mengamalkan al-quran dan sunnah kemudian
mengajarkannya kepada orang lain.
2. Sekelompok
orang yang hanya mampu menyampaikannya saja. Contohnya seperti orang yang
meriwayatkan dan menghafal sebuah hadits, namun tidak memahaminya.
Keempat, sebidang tanah yang tidak berguna sama sekali.
Air hujan yang diturunkan tidak berpengaruh baginya sedikitpun. Tidak mampu
menampung air dan tidak pula menumbuhkan rerumputan. Merekalah orang-orang yang
tidak berguna. Mereka tidak memanfaatkan dan tidak menaruh perhatian terhadap
wahyu alloh Ta’ala tetapi justru mendustakan dan menyepelekannya. Merekalah
seburuk-buruk manusia.[5]
D. Hukum Mengamalkan Ilmu dan Ancamannya
Mengamalkan ilmu merupakan suatu kewajiban pokok setiap Muslim. Adapun
meninggalkannya memilki konsekuensi yang beragam, tergantung hukum dari amalan
yang ditinggalkan, hukumnya bisa jadi kufur, maksiat, makruh, atau mubah.
Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan kekufuran, seperti
meninggalkan untuk mengamalkan tauhid. Seseorang mengetahui bahwasanya wajib
mentauhidkan Allah dalam ibadah dan tidak boleh berbuat syirik, tetapi dia
meninggalkan tauhid ini dengan melakukan perbuatan syirik, Maka dengan demikian
dia telah terjatuh dalam kekufuran.
Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan maksiat, seperti melanggar
salah satu larangan Allah. Seseorang mengetahui bahwasanya khamr itu
diharamkan. Tetapi dia malah meminumnya atau menjualnya. Maka orang ini telah
jatuh dalam keharaman dan telah berbuat maksiat.
Meninggalkan beramal dengan ilmu yang merupakan perbuatan makruh, seperti
menyelisihi tuntunan Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah tatacara
ibadah. Seseorang telah mengetahui bahwasanya Rasulullah melakukan shalat
dengan cara tertentu kemudian dia menyelisihinya, maka dengan penyelisihannya
itu dia telah jatuh dalam perkara yang makruh.
Meninggalkan beramal dengan ilmu bisa jadi mubah. Seperti tidak mengikuti
Rasulullah dalam perkara-perkara yang merupakan kebiasaan Rasulullah yang tidak
disunnahkan atau diwajibkan bagi kita untuk menirunya, seperti tatacara
berjalan, warna suara dan semisalnya.
Sungguh
sangat bagus ucapan Al-Fudhail Bin ‘Iyadh :
(لا يزال العالم جاهلاً حتى يعمل بعلمه فإذا عمل به صار
عالماً)
“Seorang
‘alim tetap dikatakan jahil sebelum ia mengamalkan ilmunya, jika ia
mengamalkannya maka barulah ia dikatakan seorang alim.”
Ucapan ini mengandung makna yang dalam. Seseorang mempunyai ilmu namun
tidak diamalkan maka ia tetap dikatakan jahil (bodoh). Mengapa? Karena tidak
ada yang membedakan antara dirinya dengan orang yang jahil (bodoh) jika dia
memiliki ilmu tapi dia tidak mengamalkan ilmunya. Seseorang yang berlimu tidak
dikatakan ‘alim / ulama yang tulen kecuali jika ia mengamalkan ilmunya.
لا تزول قدما عبد يوم القيامة
حتى يسأل عن أربع،ومنها : وعن علمه ماذا عمل فيه
“Seorang hamba tidak akan beranjak
dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga ia ditanya tentang empat hal -diantaranya-: tentang
ilmunya, apa yang telah ia amalkan darinya.” [Hadits dikeluarkan oleh At-Tirmidzy beliau
berkata: "hadits hasan shahih.[6]
E. Analisa Umum Mengenai Urgensi Mengamalkan Ilmu
Setelah kita mengkaji bersama, maka kita dapati betapa urgennya hal ini.
Bisa dikatakan sebagai sebuah determinasi yang menyebabkan manusia mendapat
kemuliaan yang besar ataukah kehinaan yang sangat rendah.
Adakalanya seorang hamba memperoleh suatu nilai dan kedudukan yang sangat
tinggi disisi Robb-Nya karena ilmu yang telah ia amalkan di dalam kehidupannya.
Dan adapula seorang hamba yang merugi, tertimbun dalam api penyesalan lantaran
tidak mengamalkan ilmunya.
Maka
sebagai tholabul ‘ilm, hendaknya kita harus lebih berhati-hati. Jangan sampai
ilmu yang kita dapatkan saat ini kelak akan menjadi sebuah bumerang mengerikan
yang menyeret kita ke dalam api neraka. Na’udzu billahi min dzalik
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Urgensi mengmalkan
ilmu
Mengamalkan
ilmu merupakan fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Mengingat adanya ancaman-ancaman
di dalam al-Qur’an bagi orang-orang yang tidak mengamalkan ilmunya padahal ia
mengetahui ilmu tersebut.
2. Ayat-Ayat yang Menyatakan Pentingnya Mengamalkan Ilmu
a.
Surat Al-Fatihah ayat 7
صِرَٰطَ
ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ
٧
“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat”
b.
Qur’an
surat At-Taubah ayat 122
وَمَا
كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ
مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ
إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya.”
c.
Al-Qur’an
surat Al-‘Ashr ayat 3
إِلَّا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ
٣
“Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
3. Hukun orang yang tidak mengamalkan ilmu
Meninggalkannya memilki konsekuensi yang beragam, tergantung hukum dari
amalan yang ditinggalkan, hukumnya bisa jadi kufur, maksiat, makruh, atau mubah
DAFTAR PUSTAKA
Ar-Rifa’i, Muhammad
Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Prees, Cet. 1
hal 55.
Katsir, Ibnu, Tafsir
Ibnu Katsir, Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004, jilid 8. Hal. 536
Al-Utsaimin, Muhammad bin
Sholih, Syarah rhiyadhus sholihin,
Jakarta: Darus sunah. Jilid 4 Hal 41
http://tigalandasanutama.wordpress.com/2011/07/13/penjelasan-kitab-3-landasan-utama-muqoddimah-kewajiban-mengamalkan-ilmu/. Diakses pada tanggal 7 Mei 2014, pkl 21:43
[1] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Prees, Cet. 1 hal 55.
[2] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Gema Insani Prees, Cet. 1 hal 485.
[3] Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Bogor, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2004, jilid 8.
Hal. 536
[4] Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Syarah rhiyadhus sholihin, Jakarta: Darus sunah. Jilid 4 Hal 41
[5]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, Syarah
rhiyadhus sholihin, Jakarta: Darus sunah. Jilid 4 Hal
suwun bos ................
BalasHapusnumpang copy buat bahan makalah ana boleh ya...
BalasHapussukron :)
Numpang copas ya :) semoga berkah dan bermanfaat untuk semua :) terimakasih
BalasHapusmantap bermanfaat jazakallah.
BalasHapus