ARTIKEL
ZIONISME
“Kita harus memaksa
pemerintahan bukan-Yahudi untuk menerima langkah-langkah yang akan meningkatkan
secara luas rencana yang telah kita buat yang telah kian dekat dengan tujuannya
dengan cara meletakkan tekanan pada pendapat umum yang telah kita agendakan yang
harus didorong oleh kita dengan bantuan apa yang dinamakan ‘kekuatan besar’
pers. Dengan sedikit perkecualian, tak perlu terlalu dipikirkan, kekuatan itu
telah berada dalam genggaman kita”. (‘Protokol Zionis Ketujuh’)
Sejarah dan Asal
Usul
‘Zionisme’ berasal dari kata Ibrani “zion” yang artinya
karang. Maksudnya merujuk kepada batu bangunan Haykal Sulaiman yang didirikan di
atas sebuah bukit karang bernama ‘Zion’, terletak di sebelah barat-daya Al-Quds
(Jerusalem). Bukit Zion ini menempati kedudukan penting dalam agama Yahudi,
karena menurut Taurat, “Al-Masih yang dijanjikan akan menuntun kaum Yahudi
memasuki ‘Tanah yang Dijanjikan’. Dan Al-Masih akan memerintah dari atas puncak
bukit Zion”. Zion dikemudian hari diidentikkan dengan kota suci Jerusalem itu
sendiri.
Zionisme kini tidak lagi hanya memiliki makna keagamaan, tetapi
kemudian beralih kepada makna politik, yaitu suatu gerakan pulangnya ‘diaspora’
(terbuangnya) kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali bersatu
sebagai sebuah bangsa dengan Palestina sebagai tanah-air bangsa Yahudi dengan
Jerusalem sebagai ibukota negaranya. Istilah Zonisme dalam makna politik itu
dicetuskan oleh Nathan Bernbaum, dan ‘Zionisme Internasional’ yang pertama
berdiri di New York pada tanggal 1 Mei 1776, dua bulan sebelum kemerdekaan
Amerika-Serikat dideklarasikan di Philadelpia.
Gagasan itu mendapatkan
dukungan dari Kaisar Napoleon Bonaparte ketika ia merebut dan menduduki Mesir.
Untuk memperoleh bantuan keungan dari kaum Yahudi, Napoleon pada tanggal 20
April 1799 mengambil hati dengan menyerukan, ‘Wahai kaum Yahudi, mari membangun
kembali kota Jerusalem lama”. Sejak itu gerakan untuk kembali ke Jerusalem
menjadi marak dan meluas.
Adalah Yahuda al-Kalai (1798-1878), tokoh
Yahudi pertama yang melemparkan gagasan untuk mendirikan sebuah negara yahudi di
Palestina. Gagasan itu didukung oleh Izvi Hirsch Kalischer (1795-1874) melalui
bukunya yang ditulis dalam bahasa Ibrani ‘Derishat Zion’ (1826), berisi studi
tentang kemungkinan mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina.
Buku
itu disusul oleh tulisan Moses Hess dalam bahasa Jerman, berjudul ‘Roma und
Jerusalem’ (1862), yang memuat pemikiran tentang solusi “masalah Yahudi” di
Eropa dengan cara mendorong migrasi orang Yahudi ke Palestina. Menurutt Hess
kehadiran bangsa Yahudi di Palestina akan turut membantu memikul “misi orang
suci kulit putih untuk mengadabkan bangsa-bangsa Asia yang masih primitif dan
memperkenalkan peradaban Barat kepada mereka”. Buku ini memuat pemikiran awal
kerja-sama konspirasi Yahudi dengan Barat-Kristen menghadapi bangsa-bangsa Asia
pada umumnya, dan dunia Islam pada khususnya. Untuk mendukung gagasan itu
berdirilah sebuah organisasi mahasiswa Yahudi militan bernama ‘Ahavat Zion’ di
St.Petersburg, Rusia, pada tahun 1818, yang menyatakan bahwa, “setiap anak
Israel mengakui bahwa tidak akan ada penyelamatan bagi Israel, kecuali
mendirikan pemerintahan sendiri di Tanah Israel (Erzt Israel)”1.
Konsepsi tentang wilayah dan
batas-batas negara Israel didasarkan pada Kitab Taurat. Berdasarkan Taurat,
wilayah Israel luasnya “dari sungai Nil sampai sungai Tigris” yang kira-kira
mendekati kekuasaan Emporium Assyria (sekitar 640 Sebelum Masehi)
Buku
Moses Hess ‘Roma und Jerusalem’ (1862) mendapat perhatian dan dukungan dari
tokoh-tokoh kolonialis Barat karenan beberpa pertimbangan, :
1. Adanya
konfrontasi antara Eropa dengan daulah Usmaniyah Turki di Timur Tengah
2.
Bangsa-bangsa Eropa membutuhkan suatu ‘bastion’ (bentang/pertahanan-red.)
politik yang kuat di Timur Tengah dan ketika kebutuhan itu muncul orang Yahudi
menawarkan diri secara sukarela menjadi proxi (wakil-red.) negara-negara
Eropa.
3. Kebutuhan bangsa-bangsa Eropa itu sesuai dengan aspirasi kaum
Yahudi untuk kembali ke Plaestina.
4. Gerakan Zionisme akan berfungsi
membantu memecahkan “masalah Yahudi” di Eropa
Kongres Zionist pertama di Bazel,
1897
Perlu dicatat bahwa gerakan Zionisme mulai mendapatkan momentumnya
berkat bantuan dana keuangan tanpa reserve (tanpa batas-red.) dari Mayer Amschel
Rothschilds (1743-1812) dari Frankfurt, pendiri dinasti Rothschilds, keluarga
Yahudi Paling kaya di dunia.
Pendukung kuat dari kalangan poitisi Eropa
terhadap gerakan Zionisme datang terutama dari Llyod Gerge (perdana menteri
Inggris), Arthur Balfour (menteri luar-negeri Inggris), Herbert Sidebotham
(tokoh militer Inggris), Mark Sykes, Alfred Milner, Ormsby-Gore, Robert Cecil,
J.S. Smuts, dan Richard Meinerzhagen.
Sebenarnya sejak tahun 1882 Sultan
Abdul Hamid II telah mengeluarkan sebuah dekrit yang berbunyi, meski sultan
“sepenuhnya siap untuk mengizinkan orang Yahudi beremigrasi ke wilayah
kekuasaannya, dengan syarat mereka menjadi kawula daulah Usmaniyah tetapi
baginda tidak akan mengizinkan mereka meneap di Palestina”2. Alasan pembatasa
ini karena, “Emigrasi kaum Yahudi di masa depan akan membuahkan sebuah negara
Yahudi”3.
Pada waktu itu sebelum imigrasi kaum Yahudi yang massif (secara
besar-besaran-red.) dimulai kira-kira hanya ada 250.000 jiwa orang Yahudi di
antara 0,5 juta jiwa penduduk Arab di Palestina4. Meski ada titah sultan
tersebut, arus imigrasi orang Yahudi tetap berhasil menerobos masuk ke Palestina
secara diam-diam dan berlanjut bahkan melalui cara sogok
sekalipun5.
Menjelang 1891 beberapa pengusaha Palestina mengungkapkan
keprihatinan mereka mengenai kian meningkatnya imigran Yahudi, sehingga
menganggap perlu mengirimkan telegram ke Istambul menyampaikan keluhan tentang
kekhawatiran itu yang mereka simpulkan akan mampu memonopoli perdagnagn yang
akan menjadi ancaman bagi kepentingan bisnis setempat, yang pada gilirannya akan
menjadi ancaman politik6.
Pada tahun 1897, tahun yang bersamaan dengan
‘Kongres Zionisme I’, mufti Jerusalem, Muhammad Tahir Husseini, ayah dari Hajj
Amin Husseini, memimpin sebuah komisi yang dibentuk khusus untuk memepelajari
masalah penjualan tanah penduduk Arab kepada orang Yahudi. Resolusi komisi
tersebut berhasil meyakinkan pemerintah kesultanan Usmaniyah mengeluarkan
peraturan yang melarang penjualan tanah milik penduduk Arab kepada orang Yahudi
di daerah Jerusalem untuk beberapa tahun7.
Theodore Herzl berfoto bersama tentara Turki di
Crete, 1898, setelah ia
bersama delegasi Zionist menemui Sultan Abdul Hamid
II
Gagasan tentang gerakan Zionisme, yaitu suatu gerakan politik untuk
mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina, mulai memperlihatkan konsepnya
yang jelas dalam buku ‘Der Judenstaat’ (1896) yang ditulis oleh seorang tokoh
Yahudi, yang kemudian dipandang sebagai Bapak Zionisme, Theodore Herzl
(1860-1904). Ia salah seorang tokoh besar Yahudi dan Bapak Pendiri Zionisme
modern, barangkali eksponen (yang menerangkan/menguraikan-red.) filosof tentang
eksistensi bangsa Yahudi yang memiliki pandangan paling jauh ke depan yang
dimiliki generasi Yahudi di sepanjang sejarah mereka. Ia tidak pernah ragu akan
adanya “bangsa Yahudi”. Ia menyatakan tentang eksistensi itu pada setiap
kesempatan yang ada. Katanya’ “Kami adalah suatu bangsa – Satu
Bangsa”.
Foto-foto Theodor Herzl bersama
Delegasi Zionist
Berjalan-jalan di Izmir, 21-10-1898
Delegasi Zionist di dermaga
Said,25-10-1898
Delegasi
Zionist di depan Acropolis,23-10-1898
Delegasi Zionist yang bertemu dengan Duke of
Baden, Inggris, 1902
Delegasi Zionist berpose dengan keluarga Marx di
depan rumah mereka di Jerusalem
Di atas kapal dari Alexandria menuju Jaffa,
26-10-1898
Di Tepi Terusan
Suez, 25-10-1898
Program Politik Kaum
Yahudi
Ia dengan jernih melihat apa yang disebutnya sebagai
“masalah Yahudi” sebagai suatu masalah politik. Dalam kata pengantar bukunya
itu, ‘Der Judenstaat’, ia berkata,
“Saya percaya, bahwa saya memahami
anti-Semitisme, yang sesungguhnya merupakan gerakan yang sangat kompleks. Saya
mempertimbangkannnya dari sudut pandang orang Yahudi, tanpa rasa takut maupun
benci. Saya percaya anasir (unsur-red.) apa yang saya lihat di dalamnya yang
merupakan permainan yang jorok, sikap iri yang lazim, warisan prasangka,
intoleransi keagamaan, dan juga pretensi (keinginan-red.) mempertahankan
nilai-nilai. Saya rasa “masalah Yahudi” lebih banyak berbau sosial ketimbang
keagamaan ,meskipun saya tidak menafikan kadangkala muncul hal itu dalam bergam
bentuknya. Maalh itu pada hakekatnya adalah “masalah nasional” yang hanya
mungkin diselesaikan dengan membuatnya masalah dunia politik yang dapat
didiskusikan dan dikendalikan oleh bangsa-bangsa dunia beradab di suatu
majelis”.
Theodore Herzl tidak hanya menyatakan bahwa kaum Yahudi harus
membentuk suatu bangsa, tetapi dalam mengubungkan tindakan dari bangsa Yahudi
ini kepada dunia, Herzl menulis,
“Bila kita tenggelam, kita akan menjadi
suatu kelas proletariat revolusioner, pamanggul ide dari suatu partai
revolusioner; bila kita bangkit, dipasikan akan bangkit juga kekuasaan keuangan
kita yang dahsyat”.
Pandangan ini yang nampaknya pandangan yang sejati,
merupakan pandangan yang telah lama terpendam di dalam benak kaum Yahudi, yang
juga dikemukakan oleh Lord Eudtace Percy, dan diterbitkan ulang, agaknya dengan
persetujuan ‘Jewish Chronicle’ Kanada, yang untuk membacanya membutuhkan
kehati-hatian.
“Liberalisme dan nasionalisme dengan hingar bingar
membukakan pintu ghetto (1.kampung Yahudi di kota, 2 bagian kota yang didiami
terutama oleh golongan minoritas – red..)dan menawarkan kewarga-negaraan dengan
kududukan yang sejajar kepada kaum Yahudi. Kaum Yahudi memasuki Dunia barat,
menyaksikan kekuasaaan dan kejayaannya, memanfaatkan dan menikmatinya,
turut-serta membangun di pusat peradabannya, memipin, mengarahkan dan
mengeksploitasinya – namun kemudian menolak tawaran itu. Lagipula – dan hal ini
sesuatu yang menarik – nasionalisme dan liberalisme Eropa, pemerintahan dan
persamaan dalam demokrasi menjadi makin tidak tertangguhkan olehnya dibandingkan
dengan penindasan dan kedzaliman despotisme (kelaliman-red.)
sebelumnya.”
“Di suatu dunia dengan yurisdiksi(hak hukum – red.)
kedaulatan negara yang dibatasi dengan jelas oleh batas-batas wilayah teritorial
negara yang sepenuhnya disepakati secara internasional, (orang Yahudi) tinggal
memiliki dua pilihan yang membuka kemungkinan baginya untuk memperoleh
perlindungan : pertama, atau ia harus meruntuhkan pilar-pilar sistem negara
nasional yang ada secara keseluruhan; kedua, atau ia harus menciptakan sendiri
suatu wilayah teritorial yang seluruhnya berada di dalam genggaman yurisdiksi
kedaulatannya. Mungkin disini terletak penjelasan tentang hubungan Bolshevisme
(bahasa Rusia:’minoritas’) Yahudidan Zionisme, karena dewasa ini kaum Yahudi di
Timur nampaknya terombang-ambing memilih di antara keduanya. Di Eropa Timur
Bolshevisme dan Zionisme sering terlihat tumbuh bersamaan, persis seperti peran
kaum Yahudidalam membentukpemikiran tentang ‘republikeinisme’ dan sosialisme
sepanjang abad kesembilan-belas sampai kepada Revolusi Turki Muda di Istambul
yang belum lewat satu dasawarsa yang lalu. Semuanya berlangsung bukan karena
kaum Yahudi mempedulikan sisi positif dari falsafah-falsafah radikal itu, bukan
karena ingin menjadi peserta dari nasionalisme atau demokrasinya kaum
non-Yahudi, tetapi ‘karena tidak ada sistem pemerintahan yang ada pada kaum
non-Yahudi, yang benar-benar memiliki makna bagi orang Yahudi, karena pa yang
ada hanya menimbulkan kemuakan baginya’”.
Para pemikir Yahudi, semuanya
tanpa kecuali,memandang apa yang ada pada kaum non-Yahudi seperti itu. Orang
Yahudi selalu bersikap bertentangan dengan skema kaum non-Yahudi dalam segala
hal. Kalau sekiranya kepada orang Yahudi diberikan kebebasa penuh untuk memilih,
dapat dipastikan ia akaj memilih untuk menjadi seorang republikein yang
anti-kerajaan, seorang sosialis yang anti-republik, atau seorang Bolshevis yang
anti-sosialis.
Apa yang menjadi penyebab sikap yang nyeleneh ini
?
Pertama, Kekurang-mampuan orang Yahudi dalam memahami demokrasi. Watak
orang Yahudi terbentuk oleh budaya dan agamanya cenderung otoriter. Demokrasi
barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi orang Yahudi dimana pun ia berada,
ia akan mendirikan suatu masyarakat aristokrasi atau sejenisnya (periksa tentang
: ajaran Qabala). Demokrasi oleh orang Yahudi digunakan hanyalah sebagai alat,
sekedar buah kata, yang digunakan oleh para juru-bicara Yahudi sekedar sebagai
suatu mekanisme perlindungan kelompok (‘defence mechanism’) di tempat-tempat
dimana mereka ditindas, serta untuk mendapatkan status persamaan; begitu telah
mencapai kedudukan dan status yang sama, mereka segera berusaha mendapatkan
privilese, hak-hak istimewa, yang seolah-olah telah menjadi hak mereka – seperti
pada ‘Konperensi Perdamaian’ Versailes 1918 – menjadi contoh yang mengagetkan
banyak orang. Kaum Yahudi sekarang ini adalah satu-satunya masyarakat dimana
hak-hak khusus dan privilese yang dicantumkan khusus bagi mereka dituliskan di
dalam ‘perjanjian-perjanjian’ dunia (teks aseli hak-hak istimewa bagi orang
Yahudi dalam perjanjian Perdamaian Versailes 1918 dipublikasikan pada bulan Juli
1920; harap dirujuk juga kepada hak-hak khusu dan privilese istimewa Israel
dalam resolusi-resolusi PBB).
Kedua, Terhadap sikap anti-Yahudi, ada tiga
penyebab yang biasanya dijadikan mereka sebagai argumen : 1. prasangka
keagamaan, 2. prasangka ekonomi, 3.antipati sosial. Masalahnya apakah kaum
Yahudi itu menyadari atau tidak, bahwa bagi orang non-Yahudi, Yudaisme itu
dipandang sebagai salah satu “agama wahyu” bersama-sama dengan Kristen dan
Islam. Prasangka yang ada lebih banyak bersumber dari sebab non-keagamaan soal
kecemburuan ekonomi barangkali memang ada. Sudah bukan rahasia lagi keuangan
dunia itu ada dalam genggaman para bankir Yahudi; keputusan dan kebijaksanaan
mereka menjadi hukum ekonomi-keuangan bagi dunia barat. Kecemburuan ekonomi
mungkin dapat menjelaskan sebagai salah satu sebab dari timbulnya sikap
anti-Yahudi; tetapi isa juga kecemburuan ekonomi yang menimbulkan “masalah
Yahudi” itu merupaka unsur kecil dari suatu problema yang lebih besar. Sedangkan
antipati-sosial di masyarakat Barat yang berkulit putih dan Kristen – beban
antipati itu di Barat bukan hanya dipikul oleh orang Yahudi, tetapi juga oleh
orang kulit hitam, orang Cina, orang muslim, serta komnitas lain di dunia ini,
yang jumlah mereka justru lebih banyak daripada orang Yahudi. Orang Yahudi itu
tidak pernah menyebut-nyebut politik sebagai penyebebnya, atau jika mereka
nyaris keseleo lidah yang bernada sugestif ke arah itu, mereka segera
membatasinya, atau melokalisasinya. unsur politik yang inheren (yang
melekat/yang menjadi sifatnya – red.) melekat pada masyarakat Yahudi, ialah
dimana saja mereka itu berada mereka senantiasa akan membentuk semacam “negara”
sendiri di dalam negara tuan-rumah. Keterttutupan sikap masyarakt Yahudi yang
lebih mengutamakan hubungan internal diantara mereka sendiri, menjadi salah satu
penyebab utamayang menimbulkan sikap anti Yahudi.
Nasionalisme Yahudi
Tidak seorang pun
menyanggah kenyataan – kecuali kalau benar-benar tidak mengenal pola berpikir
kaum Yahudi (periksa ‘Protokol Zionisme’) – bahwa anasir (unsur –red.) yang
merusak, baik di bidang ekonomi mapun sosial di dunia sekrang ini, bukan saja
diawaki, tetapijuga didanai oleh dan untuk kepentingan kaum
Yahudi.
Kenyataan ini cuku lama dipendam saja oleh publik, disebabkan
oleh sanggahan yang keras dari kalangan kaum Yahudi, seperti dari the Jewish
Defamation League, serat kurangnya informasi tentang hal itu. Kini semua itu
dimana-mana telah menjadi kenyataan.
Beberapa waktu setelah Kongres
Zionisme Internasional ke-1 di Bazel itu, kecenderungan politik kaum Yahudi
bekerja ke dua arah, yang satu dilkuakn secara diam-diam ditujukan untuk
menghancurkan dan menguasai negara-negara non-Yahudi di seluruh dunia, yang lain
lagi untuk membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Berbeda dengan proyek
yang pertama, proyek yang kedua dilakukan dengan meminta perhatian dan
melibatkan dukungan dari seluruh dunia. Untuk kepentingan itu kaum Zioni dengan
cerdik hanya meributkan soal Palestina, dan persoalan itu tidak ditengarai
sebagai rencana kolonisasi yang ambisius yang tidak biasa. Gagasan tentang
“Tanah Air” bagi orang Yahudi begitu crdiknya disemau, sehingga menjadi
tabir-asap yang efektif intik merampas tanah milik bangsa Arab-Palestina. Agenda
mengenai Palestina digunakan juga untuk menipu publik menutupi berbagi kegiatan
rahasia yan mereka jalankan.
Masyarakat Yahudi internasional, pemegang
termaju pemerintahan negara-negara di belakang layar dan penguasa keuangan
dunia, mereka bertemu dimana sajam kapan saja, baik di masa perang maupun damai,
dan bila ditanya meraka menjelaskan hanya memperbincangkan bagaimana cara dan
sarannya untuk mambuka tanah Palestina bagi orang Yahudi an mereka dengan cerdik
menghindar dari kecurigaan orang berkumpul-kumpul untuk membicarakan persoalan
lain.
Meskipun nasionalisme Yahudi itu ada, tetapi prwujudannya ke alam
suatu negara Yahudi di Palestina bukanlah merupakan proyek yang melibatkan
segenap orang Yahudi. Adalh kenyataan bahwa pada awalnya orang Yahudi tidak
sepenuhnya sepalat pindah ke Palestina. Kengganan itu bukan semata-mata karna
tidak setuju dengan gerakan Zionisme, medkipun ideologi Zionisme sebagai motif
pendorong memang menjadi penyebab exodusnya mereka dari negeri-negeri Kristen
bila saaat untuk itu benar-benar telah tiba.
Publik dunia telah lama
mencurigai – mula-mula hanyha oleh beberapa gelintir orang, kemudian mulai
menarik perhatian dinas-dinas intelejen pemerintahan, lalu kalangan para
intelektualm akhirnya masyarakat luas – bahwa kaum Yahudi itu adalah suatu
masyarakat yang ternyata berbeda dengan bangsa-bangsa yan lain di dunia, dan
anehnya, mereka tidak dapat menyembunyikan identitas mereka dengan cara papaun,
bahwa mereka membentuk suatu “negara” di dalam negara, bahwa meraka sangat sadar
sebagai suatu bangsa, tapi bukan itu saja, mereka sangat sadarperlunya bersatu
membentuk pertahanan bersama untuk mencapai tujuan bersama.
Program Pengusiran Penduduk Arab
Palestina
Penduduk Arab-Palestina merupakan mayoritas sampai
dengan terbentuknya Israel sebagai sebuah negara Yahudi pada tahu 1948. Negara
Israel yang dicita-citakan oleh Thedore Herzl hanya akan dapat terwujud dengan
cara menghapus hak-hak kaum mayoritas, atau membuat kaum Yahudi menjadi
mayoritas melalui imigrasi, atau mengurangi jumlah penduduk Arab di palestina
memlalui cara pembersihan etnik. Tidak ada cara lain, dan tidak mungkin
membentuk sebuah negara Yahudi, kecuai dengan cara di luar prosedur demokratik
tadi8.
Pengusiran penduduk Arab-Palestina merupakan keharusan yang
mengalir dari logika Zionisme sebagiaman dengan sangat jelas dikatakan Thedore
Herzl sejak 12 Juni 1895. Pada waktu itu ia baru merumuskan gagasannya tentang
Zionisme dan menuliskannya dalam buku hariannya, “Kami harus mencoba
mengeluarkan kaum tidak berduit (baca: Palestina) dari perbatasan dengan cara
menyediakan pekerjaan di negara-negara tetangga, dan bersamaan dengan itu
mencegah mereka memperoleh lapangan kerja di negeri kami. Kedua proses, baik
penghapusan kepemilikan dan pemindahan kaum miskin itu, harus dikerjakan dengan
kehati-hatian dan kewaspadaan”9. Pemikiran ini dibenarkan oleh sebagian bedar
pendukung Zionisme sejak awal, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa tema
tentang pengusiran secara konsisten terus menjadi pemikiran kaum
Zionis10.
Jadi sejak awal impian kaum Zionis mendirikan negara Yahudi
mengacu kepada dua sasaran yang bersifat komplementer (saling melengkapi-red.)
dan sekaligus mutlak, yaitu:
1. mendapatkan sebuah tanah air.
2.
menggantikan penduduk mayoritas Arab-Palestina baik dengan cara tidak mengakui
hak-hak mereka, mengatasi jumlah mereka, atau mengusir mereka dengan cara
apapun.
Meskipun Theodore Herzls dan kaum Zionis lainnya menjanjikan bahwa
orang Yahudi dan Arab-Palestina akan hidup berdampingan secara damai dan
bahagia, namun tidak ada jalan lain yang terbuka untuk mendirikan negara Yahudi
di Palestina sebagaimana yang didambakan oleh kaum Ziois kecuali dengan
cara-cara tersebut di atas.
Kaum pendahulu Zionis menempuh beberapa
strategi untuk mencapai tujuan mereka, :
1. Melalui imigrasi orang Yahudi;
pada saat awal itu banyak kaum Zionis dan para pendukungnya yang sungguh-sunguh
percaya bahwa imigrasi orang Yahudi dalam jumlah besar akan dapat dalam waktu
singkat memecahkan “masalah Palestina” dengan membangun masyarakat Yahudi
sebagai mayoritas
2. Yang lain meyakini, bilaman sejuamlah petani dan
buruh-buruh Arab-Palestina ditutup kesempatan kerjanya, maka hasilnya akan
memaksa orang Arab-Palestina bermigrasi meninggalkan Palestina.
3. Dalam
kenyataannya, kedua rencana di atas kurang begitu diketahui, karena rencana ini
lebih banyak diperbindangkan di koridor-koridokekuasaan di Berlin, London, dan
Washington, dalam rangka mendapatkan tajaan (‘sponsorship’) dunia internasional,
sekaligus untuk mendapatkan legitimasi terhadap klaim kaum Yahudi sebagi
imbangan terhadap hal-hak kaum mayoritas penduduk Arab-Palestina.
Kaum
Zionis mengembangkan strategi ini secara serentak. Ada yang berhasil dan ada
pula yang yang kurang berhasil. Namun pada akhrnya opsi yang terbuka tinggal
pengusiran secara paksa sebagai cara untuk mendirikan negara Yahudi yang mereka
impikan.
Sementara itu berkembang strategi baru Zionisme, yaitu
mendelegitimasi-kan masyarakat Arab-palestina, sambil berusaha melegitimasi-kan
kehadiran orang Yahudi. Sejak awal Theodore Herzl sangat sadar bahwa komunitas
Zionis membutuhkan suatu major power sebagai penaja. Usaha pertamanya ditujukan
kepada Sultan Abdul Hamid II, suatu pilihan yang masuk akal, mengingat
kesultanan Usmaniyah memegang kuasa mutlak atas Palestina. Bahkan sebelum secara
resmi mendirikan Zionisme pada tahu 1897, Theodore Herzl pernah berkunjung ke
Istambul pada tahun 1896 untuk memohon hibah tanah di Palestina dari Sultan
dengan imbalan akan memberikan “bantuan keuangan untuk memulihkan kas kesultanan
yang sedang kosong melalui para finansier Yahudi”. Dan yang lebih penting lagi,
ialah usulnya yang ditulis sekambalinya dari kunjungan itu, memohon kepada
sultan hak kaum Yahudi untuk mendeportasikan penduduk aseli11.
Sultan
sangat tersinggung dan menolak permohonan itum dan mengirimkan pesan yang
menasehati Theodore Herzl. ‘Jangan lagi membicakan soal ini. Saya tidak dapat
menyisihkan sejengkal yanah pun, karena tanah itu bukan milik saya, tetapi milik
rakyat. Rakyat saya berjuang untuk mendapatkan tanah itu dan menyuburkannya
dengan darah mereka. …Biarkanlah orang Yahudi menyimpan duit mereka yang
berjuta-juta banyaknya di peti mereka”12.
Gerakan Zionisme Internasional
Karena
kebuntuan itu, pada tanggal 29-31 Agustus 1897 si bazel, Switzerland,
dilangsungkan Konferensi Zionisme Internasional ke-1, dihadiri oleh 204 orang
tokoh-tokoh Yahudi dari 15 negara. Para peserta konevnsi sepakat bahwa “Zionisme
bertujuan untuk membangun sebuah Tanah Air bagi kaum Yahudi di Palestina yang
dilindungi oleh undang-undang”, dan untuk tujuan itu, mereka akan mendorong
emigasi ke Palestina. Mereka juga membahas prospek dan langkah-langkah politik
dan ekonomi untuk pembentukan negara Yahudi di Palestina. Ketika kongres itu
berakhir setelah berlangsung selama tiga hari, Theodore Herzl menorehkan di dalm
buku hariannya, “Kalau saya harus menyimpulkan apa hasil dari kongres Bazel itu
dalam satu kalimat singkat – yang tidak berani saya utarakan kepada pubik – saya
akan berkata :’Di Bazel saya menciptakan negara Yahudi!’ “13.
Langkah-langkah
yang akan ditempuh adalah 1. pembelian tanah untuk para imigran Yahudi, 2.
membuat orang Arab-Palestina tidak betah tinggal di Palestina, 3. dan yang
terakhir mengusir penduduk Arab-Palestina melalui cara-cara terorisme. Untuk
mendukung gagasan program migrasi orang Yahudi ke Palestina dan menyediakan
tanah bagi mereka, maka dibentuklah beberapa lembaga keuangan, seperti : the
Jewish Colonial Trust, the Anglo-palestine Company, the Anglo-Plaestine Bank,
dan the Jewish National Fund.
Peta Jerusalem Kuno
Ketika
kongres pada 1897 itu berlangsung namgsa Arab-Palestina mencapai angka 95%, dan
mereka menguasai 99% dari tanah Palestina14. Jadi jelas sejak awal Zionisme
bertujuan untuk menghapuskan kepemilikan dari tangan mayoritas Arab-Palestina,
baik secara politik maupun fisik, merupakan suatu persyaratan yang tak dapat
dihindari untuk dapat membentuk sebuah negara Yahudi. Dalam tujuan itu tidak
hanya terbatas pada tanah, tetapi tanah tanpa penduduk lain di tengah-tengah
mayoritas penduduk Yahudi.
Setelah kegagalannya dengan Sultan Abdul Hamid
II, setahun setelah Kongres Zionisme Internasional ke-1di Bazel, pada tahun 1898
Tehodore Herzl mengalihkan perhatiannya kepada Jerman dan Kaizer Wilhelm II yang
memiliki ambisi ke Timur Tengah. theodore Herzl secara ketus memberi-tahukan
orang Jerman, “Kami membutuhkan sebuh protektorat, dan Jerman kami anggap paing
cocok bagi kami”15. Ia mengemukakan bahwa para pemimpin Zionisme adalah
oang-orang Yahudi berbahasa Jerman. Jadi sebuah negara Yahudi di Palestina akan
memperkenalkan budaya Jerman ke wilayah tersebut. Namun Kaizer menolak usul
Theodore Herzl, sebab utamanya, ia tidak ingin menyinggung perasaan kesultanan
Usmaniyah, yang merupakan langganan utama produk persenjataan Jerman, atau
membuat murka kaum Kristen di dalam negeri.16
Sementara itu pada tahun
1899 walikota Jerusalem, Youssuf Zia Khalidi, seorang cendekiawan Palestina san
anggota parlemen Usmaniyah, menuis sepucuk surat yang diteruskan kepada Theodore
Herzl, memperingatkan klaim Zionis terhadap Palestina. Bangsa Arab-Palestina
secar khusus menentang tuntutan Zionisme yang didasarkan pada dalih oang Yahudi
mempunyai hak atas tanah Palestina hanya karena mereka pernah hidup dua milenia
yang silam. Khalidi mencatat bahwa klaim kaum Zionis atas Palestina tidak dapat
dilaksanakan mengingat tanah palestina telah berada di bawah kekuasaaan
Islamselama 13 abad terakhir dan bahwa orang nusli dan Kristen memiliki
kepentingan yang sama mengingat tempat-tempat suci yang ada. Lagipula ia
menambahkan penduduk mayoritas Arab-Palestina menentang pnguasaan kaum Yahudi17.
Ketika Istambul memutuskan pada tahun 1901 untuk memberikan penduduk asing, yang
pada intiya bermakna imigran baru Yahudi, hak yang sama untuk membeli tanah,
sekelompok tokoh-tokoh terkemuka Arab-Palestina mengirim sebuah petisi ke
ibukota Usmaniyah memprotes kebijakan itu.18
Di pihak Theodore Herzl
tanpa mengenal putus-asa ia memalingkan mukanya ke Inggris. itu dilakukannya
pada tahun 1902. Di sini ia menemukan lahan yang subur. Ada tradisi di kalangan
Kristen Protestan dan para penulis Inggris sepanjang 2 abad sebelumnya untuk
mendukung “kembalinya orang yahudi ke Palestina”, tradisi yang juga bergerak ke
Amerika Serikat. lagipula kepentingan Inggris tentang keamanan Terusan Suez
sebagai urat-nadi ke jajahan-jajahannya di Timur Jauh telah menggiringnya untuk
merebut Mesir pada tahun 1882, dan pengamanan Terusan Suez tetap merupakan fokus
kepentingan London di wilayah tersebut. Mempunyai penduduk yang bersahabat di
wilayah itu akan memberikan keuntungan yang tak terperikan bagi
Inggris.
Jerusalem
1917
Sebagaimana Jerman, Inggris pun merasa tidak memiliki kepentingan
berhadapan dengan Sultan, membuka duungan Inggris terhadap Palestina bukan hal
yang menarik bagi Inggris. Lalu Theodore Herzl meminta membuka hubungan denga
teritori Inggris yang terdekat: Siprus, El Arish, atau Semenanjung Sinai.
Menteri daerah jajahan Joseph Chamberlain mencoret Siprus, karena kehadiran
Yahudi akan menimbulkan murka penduduk Yunani dan Turki, dan Mesir tidak
disetujui, karena gubernur Inggris setempat menentang memberikan tanaha
sejengkal pun dari wilayah Messir. lalu Chamberlain menyarankan sebuah teritori
sebagai kompromi, kira-kira seluas Palestina didaerah Afrika Timur milik
Inggris. Meskipun pada waktu itu daerah itu dinamakan Uganda, wilayahnya kini
kira-kira ada di Kenya19.
Theodore Herzl bersuka-cita dengan tawaran itu.
Menurut Herzl kalau bukan menjadi pengganti bagi Palestina, paling tidak
berperan sebagai batu-oncatan. Tetapi saran itu berhadapan dengan badai protes
dari kaum Zionis terutama datang dari Rusia dan juga daerah-daerah jajahan
Inggris. pada awal 1904 baik Thedore Herzl maupun Joseph Chamberlain dengan
senang-hati bersepakat melupakan pikiran itu20.
Pengalaman itu sangat
menguntungkan bagi Zionisme. Sebuah koneksi penting telah terjalin dengan
pejabat-pejabat tinggi pemerintahan Inggris, suatu hubungan yang diramalkan
Theodore Herzl dengn tepat, bahwa pada suatu saat akhirnya kelak akan membawa
hasil yang nyata. Sebelum meninggalnya pada tanggal 3 Juli 1904 theodore Herzl
berkata kepada seorang kawan, “Anda akan lihat waktunya akan tiba Inggris
akanmelakukan apa saja yang ada dalam kekuasaaannya untuk menyerahkan Plaestina
kepada kita untuk beridirnya suatu negara Yahudi”21. Sesudah ini ambisi kaum
Zionis difokuskan semata-mata pada Palestina sebagai tempat bagi negara Yahudi
yang diharapkan.
Masyarakat Palestina tidak banyak mengetahui
langkah-langkah yang ditempuh Theodore herzl selama itu. Hubungan antara orang
Arab_palestina dengan orang Yahudi secara umum cukup bersahabat sampai dengan
revolusi turki Muda pada 1908. menurut sejarawan Neville J. Mendell, “Menjelang
malam Revolusi turki Muda … sentimen anti-Zionisme mapa masyarakat Arab belum
nampak. Sebaliknya memang ada keresahan bekenaan dengan makin meluasnya
masyarakat anti-Yahudi di Palestina, dan penentangan yang kian meluas terhadap
hal itu”22. Sejarawan Israeli, Gershon Shafir, menambahkan, “Revolusi turki Muda
pada bulan Juli 1908 harus dipandang sebagai permulaan konflik Yahudi-Arab
secara terbuka, demikian juga lahurnya gerakan nasionalisme
Arab”.23
Sebagian besar ketidak-pedulian masyarakat Arab-Palestina sampai
tahun 1908 disebabkan oleh kenyataan bahwa para perintis Zionis berhasil
menekankan bahwa permintaan mereka hanya ytanah dan hubungan persahabatan,
sambil tetap menutupi tujuan yang sesungguhnya – mengusir orang Aeab-Palestina.
Sesuai buku-buku Theodore Herzl tetntan perlunya tindakan “kehati-hatian dan
kewaspadaaan”, bahkan di saat senja kolonialisme, gagsan yang nerisi niat untuk
mengusir penduduk asli setempat untuk memeberikan ruang bagi imigran asing
dianaggao berbau terlalu sinis, sehingga para perintis Zionisme berupaya
menghindarinya demi pertimbangan politik, serta demi kebutuhan untuk memelihara
hubungan baik dehari-hari dengan jiran mereka. Sehingga rencana untuk mengusir
orang Arab-Palestunaitu kenudian secra eufemistik di kalangankaum Zionis dan
dunia luar dikenal sebagai “masalaj pengalihan:. Kepada publik, kaum Zionis
menekankan betapa manfaat yang akan didapat oleh masyarakat Arab-Palestina dan
kesultanan Usmaniyah dengan kehadiran imigran Yahudi yang baru yang akan membawa
serta bersama mereka odal, ilmu pengetahuan, dan hubungan dengan jaringan
internasional.
Pengusiran Orang
Arab-Palestina
Pada tahun 1905 Israel Zangwill, seorang
organisator zionosme di Inggris dan salah seorang propagandis Zionosme terkemuka
yang menciptakan slogan, “sebuah tanah air tanpa rakyat untuk rakyat anpa tanah
air”, mengakui di Manchester, bahwa Palestina bukanlah tanah tanpa rakyat. Sebenarnya tanah
itu dihuni oleh bangsa Arab, “(Kami) menyiapkan diri, untuk mengusirdengan
pedang kablah-kabilah (Arab) itu sebagaimana yang dilakukan nenek-moyang kami,
atau menghadapi hadirnya penduduk asing dalam jumlah besar, tarutama kaum
Mohammedan yang selama berabad-abad terbiasa menghinakan kami”24. Komentar itu
disuarakan pada waktu dimana ada 645.000 juwa orang muslim dan Kristen di
Palestina, sementara hanya ada 55.000 jiwa orang Yahudi, sebagian besar
non-Zionis atau anti-Zionis, yang terutama tinggal di kawasan Orthodoks
Jerusalem dan kota-kota lainnya25.
David Ben-Gurion, tokoh yang bersama
Theodore Herzl dan Chaim Weizzman, menjadi salah seorang penggagas negara
Israel, dengan gamblang menjelaskan hubungan antara Zionisme dengan pengusiran
sebagai berikut, “Zionisme adalah pemindahan orang Yahudi.Pemindahan orang Arab
jauh lebih mudah daripada cara-cara lainnya.”26. Atau, sebagaimana ditandaskan
cendekiawan Israeli, Benjamin Beit Hallahmi, “Kalau masalah dasar yang dihadapi
oleh Yahudi Diaspora adalah bagaimana bertahan hidupsebagai kaum minoritas, maka
masalah dasar Zionisme di Palestina adalahbagaimana melenyapkanpenduduk aslidan
menjadikan kaum Yahudi sebgai mayoritas”.27
Poster-poster Zionis mengajak kaum Yahudi
bermigrasi ke "Tanah yang Dijanjikan"
Pada tahun 1914 menjelang Perang
Dunia ke-1 ada kira-kira 604.000 jiwa penduduk Arab-Palestina dan hanya ada
85.000 orangYahudi di Palestina, suatu kenaikan kira-kira 30.000 orang Yahudi
dalam jangka waktu satu dasawarsa28. Meskipun kenaikan itu relatif rendah, namun
bagi sebgaian besar orang Arab-Palestina makin jelas bahwa Zionisme merupakan
suatu ancaman permanen yang kian meningkat, betapapun lambannya perkembangannya.
Kesadaran yang mulai tumbuh ini meluas di kalngan keluarga Arab-Palestina
terkemuka, kaum cendekiawan, dan para pengusahanya. Setelah mendengarkan klaim
kaum Zionis dan para perintisnya selama dua dasawarsa, banyak kalangan terkemuka
Arab-Palestina menjelang Perang Dunia ke-1 mulai mengakuinya, jika sekiranya
berhasil mencapai tujuan-tujuannya, Zionisme artinya tidak lain adalah
penghapusan banyak atau seluruh masyarakat Arab-Palestina, baik muslim maupun
Kristen.
Desakan penggusuran orang Arab-palestina oleh imigran Yahudi
menghidupkan angin nasionalisme Arab yang mulai bertiup merambah ke segenap
dunia Arab, kegiatan poitik meningkat di Palestina selama tahun 1908-1914.
Sejumlah surat kabar dan organisasi poitik lokal yang memperjuangkan hak-hak
rakyat Arab bermunculan di masyarakt Arab-Palestina. Terlepas dar program mereka
yang beragam,hampir semua kelompok tersebut memiliki garis yang sama, yakni anti
Zionisme. Sebuah selebaran tanpa nama di Jerusalem pada 1914 menulis,
“Saudara-saudara! Apakah kalian bersedia menjadi budak an hamba sahaya dari
suatu kaum yang terkenal jahatnya di dunia dan dalam sejarah? Maukah kalian
menjadi budak dari mereka yang datang menemui kalian hanya untuk mengusir dari
negeri kalian, dengan mengklaim bahwa tanah ini milik mereka?”29.
Ketika
PD I pecah, seluruh argumen Arab masih terus bergaung hingga hari ini,
permusuhan Arab-Yahudi telah menjadi masalah permanen yang di kemudian hari
membuatnya menjadi konflik terbuka.
Diantara akivis muda Arab-Palestina
edapat seorang anak-belasan tahun, Muhammad Amin Husseini, putera dari suatu
keluarga kaya yang selama berabad-abad telah memegan kontrolatas berbagai
kedudukan penting di bidang agama dan poitik. Pada usia 13 tahun, pada tahun
1913, Amin Husseini telah memimpin sebuah perkumpulan yang tidak berusia panjang
dan mulai menulis selebaran yang menyerang kaum imigran Yahudi. Sebagai seorang
asionalis Arab yang masih baru, ia di kemudian hari akan menjadi musuh terbesar
kaum Yahudi. Pada tahun 1921, ketika berusia 21 tahun ia terpilih menjadi mufti
Jerusalem, suatu jabatan yang telah diduduki oleh leluhurnya,kecuali untuk
beberap interupsi, selama berabad-abad sejak abad ke-17, jabatan yang
menempatkan Amin Husseini sebagai pemimpin Arab-Palestina30. Sejak saat itu
sampai dengan berdirinya negara Israel, Husseini menggunakan segenap
kemampuannya untuk mencegah kaum Zionis mendirikan negara mereka.
Amin
Husseini dan kaum terkemuka Arab-Palestina lainnya tidaklah polos. Mereka elah
bergulat berabad-abad lamanya dengankesultanan Usmaniyah dan fasih dengan
intrik-intrik halus istana, mapun bahaya dan keuntungan hubungan komunitas yang
kompleks antara musim, Kristen, Yahudi, Druze, dan lain-lain, yang hidup
berdampingan dengan masyarakat Arab-Palestina. Meskipun mereka memperhitungkan
ancaman Zionisme dan kekuatan mereka sendiri pada PD I, termasuk hak-hak mereka
sebagai kelompok mayoritas dan kelemahan klaim kaum Zionis atas Palestina yang
hanya didasarkan pada alasan pernah menghuni Plaestina 2000 tahun yang silam,
namaun mereka kurang memiliki pemahaman yang rumit tentang dunia Barat. Mereka
tidak mampu bersaing dengan pengaruh Yahudi di Inggris dan Amerika Serikat, dan
mereka memandang enteng kecenderungan kesejarahan di Barat yang mendukung
berdirinya sebuah negara Yahudi.
Bagi kaum Zionis hanya tersisa dua atrategi
intuk merebut kekuasaan: men-delegitimasi-kan orang Arab-Palestina dimana kaum
Zionis telah sangat berhasil membuktikan selama beberapa tahun terakhir; dan,
melempar mereka melalui cara tidak membuka lapangan kerja, atau melalui
pengusiran secara paksa. Untuk beberapa lama para perintis Zionisme berpegang
pada kepercayaan bahwa orang Arab-Palestina akan dapat dikeluarkan melalui
meniadakan lapangan kerja bagi mereka. Strategi itu kentara sekali bagi pengamat
luar, seperti Lomisi King-Crane dari Amerika Serikat yang menyerahkan laoran
mereka tentang Palestina pada tahun 1919, “Kenyataan mencuat berulang-kali dalam
perundingan Komisi dengan perwakilan Yahudi bahwa kaum Zionis berharap mengusir
sepenuhnya secara praktis penduduk non-Yahudi yang ada di Paletsinamelalui
berbagai cara pembelian tanah”. Laporan itu menambahkan bahwa, “penduduk
non-Yahudi berjumlah hampir 90 persen dari keseluruhan”.31
Dalam
lingkungan terbatas, “masalah pengalihan” penduduk Arab-Palestina tetap
merupakan topik diskusi yang berlamjut di kalngan dalam majelis Zionisme selama
setngah abad sampai dengan pengusiran secara besar-besaran orang Arab-Palestina
pada tahun 194833. Sementara di antara kaum Zionis ada oposisi terhadap gagasan
"pengalihan" itu atas dasar kemanusiaan, tetapi logika Zionisme mengharuskan
tidak ada pilihan lain daripada men-delegitimasi-kan mayoritas orang
Arab-Palestina, atau mengatasijumlah mereka untuk mencapai terbentuknya negara
Yahudi. Tetapi mencapai suatu mayoritas Yahudi ternyata tidak realistik. Bahkan
pada tahun 1947, setelah bermigrasi hampir enam dasawarsa, hanya ada 589.341
orang Yahudi di antara penduduk Arab-Palestina yang 1.908.775 orang34. Majelis
Zionisme memutuskan untuk mengatasi "masalah pengalihan" itu dengan menempuh
jalan terorisme seraya menutupnya dengan aksi propaganda yang
intensif.
Orang Arab-Palestina menempati kedudukan yang tidak
menguntungkan dengan ketidak-mampuan mereka melawan propaganda Zionisme di
Barat, yang menggambarkan orang ArabPalestina sebagai kaum yang bodoh, kotor,
anti-Kristen, yang tidak perlu didukung. Meski tidak terlalu berhasil pada saat
itu mendirikan sebuah negara Yahudi, namun usaha itu sangat efektif
mendelegitimasi-kan dan menteror orang Arab-Palestina.
Bersamaan dengan
itu kaum Zionis menggunakan usaha apa saja untuk memperkuat stereotipe yang
anti-Islam, semacam propaganda yang tak syak lagi pernah mereka lakukan sebelum
Perang Salib. Orang Arab- Palestina digambarkan sebagai makhluk yang culas dan
kotor dalam berbagai laporan berita (kemudian film dan teve pada masa kini),
serta dalam setiap seminar, pamflet, dan wawancara. Hal itu menjadi sebuah
proses yang masih terus berlanjut sampai dengan masa kini, bahkan sesudah
pengakuan timbal-balik Israel-PLO pada tahun 1993 di Oslo.
Perhatian yang
luas dicurahkan untuk memahami bagaimana kaum Zionis awal berhasil merebut tanah
Palestina, tetapi hanya reJatif sedikit studi yang difokuskan dan menempatkan
kaum mayoritas Arab-Palestina. Tanpa kekuasaan ada dalam tangan kaum Yahudi,
kaum Zionis menyimpulkan nasib mereka tidak akan lebih baik daripada di Eropa,
mengingat gerakan Zionisme tumbuh khususnya sebagai suatu cara untuk
menghindarkan diri dari anti-Semitisme, pogrom, ghetto, dan status
minoritas.
Akar dari Zionisme menyentuh jauh ke dalam psyche penderitaan
orang Yahudi. Tetapi penyebab utama kemunculannya yang bermula pada penghujung
abad ke-19 itu adalah terjadinya gelombang migrasi secara massif sebagai akibat
diberlakukannya 'pogrom' di Rusia pada tahun 1881 dan meluasnya sikap
anti-Semitisme di seluruh Eropa Timur pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Perorangan, keluarga, dan bahkan seluruh komunitas Yahudi, melarikan diri untuk
menghindari teror anti-Semitisme. Sampai dengan pecahnya Perang Dunia ke-l pada
tahun 1914, kira-kira 2,5 juta orang Yahudi meninggalkan Rusia dan negara-negara
Eropa lainnya, sebagian besar dari mereka melarikan diri ke Barat, khususnya ke
Amerika Serikat, Kanada, Amerika Latin, dan Australia. Dan kurang dari 1 %
pindah ke Palestina dan menetap disana34. Pada intinya inilah alasan paling
mendasar tentang Zionisme - keputus-asaan yang mendalam - ternyata
anti-Semitisme tidak dapat dihilangkan selama orang Yahudi hidup di
tengah-tengah masyarakat non-Yahudi.
Hal ini bukan perasaan yang umum
terdapat pada orang Yahudi, terutama di antara kaum cendekiawan dan pebisnis
yang telah berhasil berasimilasi di dalam masyarakat dengan sistem demokrasi
Barat, atau telah mendapatkan rasa aman yang dijamin oleh hak kebebasan
beragama. Sejatinya Zionisme tetap merupakan gerakan kelompok minoritas di
antara kaum Yahudi sampai memasuki abad ke-20.
Ada juga kelompok
anti-Zionisme yang cukup kuat dan vokal, seperti the American Council for
Judaism di Amerika Serikat pada dasawarsa 1950-an, yang menganggap "ke Jerusalem
tanpa tuntunan Al-Masih adalah penyimpangan dari Taurat". Salah satu buah dari
kemenangan Israel dalam Perang 1967 atas bangsa-bangsa Arab ialah penerimaan
final atas Zionisme sebagai makna politik oleh hampir segenap masyarakat Yahudi
sejak itu.
Bahkan pada masa bayinya Zionisme telah menikmati dukungan
kuat baik dari London maupun Washington. Terlebih-Iebih adanya masalah sosial
yang ditimbulkan oleh migrasi orang Yahudi secara massif, meyakinkan para
pemimpin Barat untuk mendukung gagasan adanya negara Yahudi. Hal itu dikarenakan
banjirya emigran Yahudi yang meminta suaka ke negara-negara tersebut begitu
besar jumlahnya dari tahun ke tahun, sampai-sampai suatu ketika hal itu memicu
berbagai kerusuhan anti-imigrasi di London, dan menuntut undang-undang imigrasi
yang restriktifbaik di Inggris maupun di Amerika Serikat36.
Pembentukan
negara Yahudi merupakan jalan keluar untuk meniadakan imigran Yahudi, dan dengan
itu sekaligus menenangkan badai politik berkenaan dengan undang-undang imigrasi.
Bahwa tidak banyak pertimbangan yang dipikirkan oleh para politisi terhadap
dampak yang dapat timbul terhadap penduduk Arab-Palestina tidaklah mengherankan
dalam lingkungan pada masa itu.
Di Palestina sendiri, kesultanan
Usmaniyah yang telah memerintah Palestina selama 400 tahun, bukannya tidak
menyadari akan bahaya terhadap tata yang telah ada dihadapkan dengan kemungkinan
imigrasi Yahudi yang tak-terbatas. Meskipun hanya ada 60.000 orang dari 2,5 juta
yang melarikan diri dari Eropa Timur yang menjadi penduduk menetap di Palestina
sampai dengan Perang Dunia ke-l, bahkan jumlah sekecil itu pun merasa sebagai
orang-orang yang tidak disenangi37.
Deklarasi Balfour
Pada tahun 1914-1918
pecah Perang Dunia Ke-l. Dalam perang tersebut daulah Usmaniyah memihak Jerman.
Memanfaatkan situasi yang ada Chaim Weizmann pada tahun 1917 menulis surat
kepada Parlemen Inggris untuk meminta dukungan dan persetujuan Inggris untuk
membentuk sebuah negara Yahudi di Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1917
menteri luar-negeri Inggris Lord Balfour mengirimkan nota kepada Parlemen
Inggris dengan isi, antara lain, "Menurut pendapat pemerintah Inggris,
mempertahankan Terusan Suez akan mencapai hasil maksimal dengan mendirikan suatu
negara Palestina yang terikat dengan kita. Dan mengembalikan orang Yahudi ke
Palestina di bawah pengawasan Inggris akan menjamin rencana ini" Parlemen
Inggris memberikan persetujuannya, dan dengan dasar dukungan itu Lord Balfour
kemudian mengirim surat pada hari yang tidak jauh berselang kepada Baron
Rothschilds yang intinya berbunyi, "Pemerintahan Sri Baginda dengan segala
senang hati merestui pembentukan Tanah Air bagi kaum Yahudi di Palestina, dan
akan menggunakan segala upaya untuk memfasilitasi tercapainya tujuan
ini".
Dukungan Inggris kepada terbentuknya negara Yahudi itu terkait erat
dengan kepentingan imperialisme global Inggris sebagaimana ditegaskan oleh
Winston Churchill pada tahun 1921, menteri luar-negeri Inggris pada waktu itu,
bahwa "Kalau Palestina tidak pernah ada, maka menurut keyakinan saya, demi
kepentingan Imperium, ia harus diciptakan".
Daftar Pustaka
1. Suara Hidayatullah -
Edisi Sya'banJRamadhan 1420H/Desember 1999.
2. Ronald Sanders, 'Shores of
Refuge: A Hundred Years of Jewish Emmigration', Henry Holt and Company, New
York, 1988, h.121.
3. Connor Cruise O'Brian, 'The Siege: The Saga of Israel
and Zionism', Simon and Schuster, New York, 1986, h. 91.
4. Phillip Mattar,
'The Mufti of Jerusalem: AI-Hajj Amin Al-Husyni, and the Palestinian National
Movement', Columbia University Press, New York, 1993, h. 7-10.
5. Neville
J.Mandel, 'The Arabs and Zionism Before World War II', University of California
Press, Berkeley, 1976, h. 18-19.
6. Tessler, h. 127.
7. Mandel, h.
21.
8. Edward Said, 'A Profile of the Palestinian People', h.235-239; Edward
Said and Christopher Hitchens, eds. 'Blaming the Victims', Verso, New York,
1988.
9. Raphael Patai, ed., 'The Complete Diaries of Theodore Herzl',
translated by Harry Zohn, Herzl Press and Thomas Yose1off, New York, 1960,
h.88-89; Nur Masalha, 'Expulsion of the Palestinians: The Concept of 'Tranfer'
in Zionist Political Thought 1928-1948', Institute of Palestinian Studies,
Washington, DC., 1992, h.9; John Quigley, 'Palestiner and Israel: Challenge to
Justice', Duke University Press, Durham, 1990, h.5.
10. David McDowall,
'Palestine and Israel: The Uprising and Beyond', University of California Press,
Berkeley, 1989, h.196.
11. Leonhard, h.119; Khalid Walidi, 'The
Jewish-Ottoman Land Company:Herzl's Blueprintfor the Colonization of Palestine',
Journal of Palestine Studies, Winter 1993.
12. Neville Barbour, 'A Survey of
the Palestine Controversy', Institute of Palestine Studies, Beirut, 1969, h.
45.
13. Howard M. Sachar, 'A History of Israel: From the Rise of Zionism to
Our Time', Tel Aviv, Steimatzky's Agency, 1976, hA4-46.
14. Walid Khalidi,
ed. 'From Haven to Conquest: Readings in Zionisme and Palestine Problem Until
1948', Washington, DC., Institute for Palestine Studies, 2nd Edition, 1987,
h.xxii.
15. Howard M. Sachar, h. 47.
16. Desmond Stewart, 'Theodor Herzl',
Hamish Hamilton, London, 1974, h.275.
17. L.M.C. van der Hoeven Leonhard,
'Shlomo and David: 'Palestine 1907', in Khalidi, h. 119.
18. Tessler,
h.126.
19. Barbour, h. 50.
20. Howard M. Sachar, h. 62-63.
21. Ibid.,
h. 63.
22. Ibid., h. 128.
23. Ibid., h. 128.
24. Masalha, h.lO.
25.
Ibid. h.39.
26. Ibid., h.159.
27. Benjamin BeitHaUahmi, 'Original Sins:
Reflections on the History of Zionism and Israel', Olive Branch Press, New York,
1993, h.72.
28. Tessler, h. 145.
29. Ibid., h. 144.
30. Matter, h.
27.
31. Ralph H. Magnus, ed., 'Documents on the Middle East', American
Enterprise Institute, Washington, DC., 1969, h. 32-33.
32. A vineri, h.
156.
33. Masalha, h. 15, 49.
34. Janet L.Abu Lughod, 'The Demographic
Transformation of Palestine', dalam Ibrahim Abu Lughod, ed., 'Transformation of
Palestine', 2nd Edition, Northwestern University Press, Evanston, 1987, h.
155.
35. Shlomo Avineri, 'The Making of Modern Zionism: The Intellectual
Origins of the Jewish State', Basic Book Inc., New York, 1981, hA-5.
36.
Khalidi, h.xxix-xxxi.
37. Tessler, h. 61.
Tidak ada komentar
Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.
Salam : Admin K.A.