QIRA’AT DAN AHLINYA

A. Pendahuluan
1. Pengertian Qira’at
Qira’at merupakan jama’ dari qira’ah yang menurut bahasa berarti bacaan & merupakan masdar dari qara’a yang berarti menghimpun. Menurut istilah qira’at berarti suatu mazhab pengucapan Al-Qur’an yang dipilih oleh seorang Imam Qurra sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan yang lain.
Qira’at ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW. Periode qurra’ yang mengajarkan bacaan Qur’an kepada umat menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para shahabat.
2. Sejarah Qira’at
Az-Zahabi menyebutkan didalam Tabaqatul Qurra’ bahwa shahabat yang terkenal sebagai guru & ahli qira’at Qur’an ada tujuh orang yaitu Utsman ra, Ali kw, Ubai ra, Zaid bin Sabit ra, Abdullah bin Mas’ud ra, Abu Darda ra & Abu Musa Al-Asy’ari ra. Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar shahabat mempelajari dari Ubai diantaranya Abu Hurairah ra, Ibnu Abbas ra & Abdullah bin Sa’ib ra. Ibnu Abbas ra belajar pula kepada Zaid ra.[1]
Kemudian kepada para shahabat itulah sejumlah besar tabi’in disetiap negeri mempelajari qira’at diantaranya :
v       Di Madinah : Ibnul Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Muaz bin Haris dll.
v       Di Mekkah : Ubaid bin ‘Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, Ikrimah & Ibnu Abu Malikah.
v       Di Kufah : ‘Alqamah, Al-Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, Abu Abdurrahman As-Sulami, Asy-Sya’bi dll.
v       Di Basrah : Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, Al-Hasan, Ibnu Sirin & Qatadah
v       Di Syam : Al-Mughirah bin Abu Syihab Al-Makhzumi
Lalu pada permulaan abad pertama hijriyah, tampillah sejumlah ulama yang serius mempelajari qira’at diantaranya :
v       Di Madinah : Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa & Nafi bin Abdurrahman
v       Di Mekkah : Abdullah bin kasir & Humaid bin Qais Al-A’raj
v       Di Kufah : ‘Asim bin Abun Najud, Sulaiman Al-A’masy, Hamzah & Al-Kisa’i
v       Di Basrah : Abdullah bin Abu Ishaq, Isa bin ‘Amar, Abu ‘Amr ‘Ala, ‘Asim Al-Jahdari & Ya’qub Al-Hadrami
v       Di Syam : Abdullah bin ‘Amir, Isma’il bin Abdullah bin Muhajir, Yahya bin Haris & Syuraih bin Yazid Al-Hadrami
Ulama abad ke-3 H kemudian memilih 7 (tujuh) orang ahli qira’at sebagai Imam Qira’at. Adapun ketujuh imam itu adalah Abu ‘Amar bin ‘Ala, Ibn Kasli, Nafi’ Al-Madani, Ibn ‘Amir Asy-Syami, ‘Asim Al-Kufi, Hamzah Al-Kufi & Al-Kisa’i Al-Kufi. Merekalah yang kemudian terkenal sebagai tujuh Imam Qira’at.
Sebab mengapa ketujuh Imam Qira’at itu saja yang terkenal adalah :
1.       Banyaknya periwayat qira’at mereka, sehingga mereka lebih popular.
2.       Untuk mempermudah penghafalan & pen-dhabit-an[2] qira’atnya.
3.       Pembatasan yang dilakukan oleh para penulis kitab tentang qira’at dengan berbagai alas an.
Orang pertama yang menyusun kitab tentang qira’at adalah Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair Al-Kufi, kemudian Isma’il bin Ishaq Al-Maliki, kemudian Abu Ja’far bin Jarir Al-Thabari, kemudian Abu Bakar Muhammad bin Ahmad, kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Pada masa Ibnu Mujahid inilah ditetapkan nama Al-Kisa’i & membuang nama Ya’qub dari kelompok tujuh diatas.[3]

B. Para Imam Qira’at

Nama-nama Imam Qira’at yang tujuh adalah :
1.       Abu ‘Amar bin ‘Ala (Zabban bin ‘Ala bin ‘Ammar Al-Mazini Al-Basri, wafat di Kufah tahun 154 H).
2.       Ibn Kasli (‘Abdullah bin Kasir Al-Makki, turunan Parsi lahir 45 H & wafat di Makkah tahun 120 H).
3.       Nafi’ Al-Madani (Abu Ruwain Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Nu’im Al-Laisi, berasal dari Ashfan lahir 70 H & wafat di Makkah tahun 169 H).
4.       Ibn ‘Amir Asy-Syami (‘Abdullah bin ‘Amir Al-Yahsubi, lahir di Balqa’ 8 H & wafat di Damaskus tahun 118 H).
5.       ‘Asim Al-Kufi (‘Asim bin Abun Najud, wafat di Kufah tahun 127 H atau 128 H).
6.       Hamzah Al-Kufi (Hamzah bin Habib bin ‘Imarah Az-Zayyat Al-Fardi At-Taimi, lahir 80 H & wafat di Halwan tahun 156 H).
7.       Al-Kisa’i Al-Kufi (‘Ali bin Hamzah, berasal dari Parsia lahir 119 H & wafat di Barbawaih di Ray tahun 189 H).
Adapun tiga Imam Qira’at yang menyempurnaan Imam Qira’at tujuh, menjadi sepuluh adalah :
8.       Abu Ja’far Al-Madani (Yazid bin Qa’qa, wafat di Madinah tahun 128 H atau 130 H atau 132 H).
9.       Ya’qub Al-Basri (Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq bin Zaid Al-Hadrami, lahir 117 H & wafat di Basrah tahun 205 H).
10.    Khalaf (Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa’lab Al-Bazar Al-Baqdadi, lahir 150 H & wafat tahun 229 H).
Sebagian ulama menambahkan pula empat qira’at lagi :
11.    Qira’at Al-Hasanul Basri, wafat 110 H.
12.    Qira’at Muhammad bin ‘Abdurrahman (Ibn Muhaisin, wafat tahun 123 H).
13.    Qira’at Yahya bin Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi, wafat tahun 202 H.
14.    Qira’at Abul Faraj Muhammad bin Ahmad Asy-Syahbizi, wafat tahun 388 H atau ada juga yang mengatakan Al-A’masy (Sulaiman bin Muhram, Abu Muhammad Al-Kufi yang wafat 148 H).
Adapun mushaf yang saat ini tersebar diseluruh dunia, pad umumnya, sebagian besarnya (bukan keseluruhan) merupakan hasil penulisan & susunan yang sesuai dengan riwayat Hafsh bin Sulaiman berdasarkan qira’at ‘Ashim Al-Kufiy, seorang pengikut dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Habib As-Salamiy dari Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsaabit & Ubay bin Ka’ab dari nabi SAW.[4]

      C. Kaidah Qira’at Shahih
Imam As-Suyuthi berkata, “Syaikh Abu Al-Khair Ibnul Al-Jazary berkata dalam muqaddimah kitabnya An-Nasr : Semua qira’ah yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi saja & sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani walaupun hanya sekadar mendekati serta sanadnya benar, maka qira’at tersebut adalah shahih, tidak tertolak & haram menentangnya. Wajib bagi semua orang untuk menerimanya baik timbul dari imam yang tujuh maupun dari yang sepuluh atau lainnya yang bisa diterima”.[5]
Al-Qurrab (Ishaq bin Ibrahim) berkata, “Berpegang teguh hanya dengan qira’at yang tujuh tanpa mengakui qira’at yang lainnya, bukanlah suatu sikap yang didukung oleh atsar ataupun sunah. Sebab qira’at yang tujuh hanyalah pengelompokan yang dilakukan oleh sebagian ulama muta’akhirin. Kemudian Al-Kawasyi (Ahmad Yusuf) menambahkan : setiap qira’at yang shah sanadnya & sesuai dengan satu segi bahasa Arab serta tidak bertentangan dengan khat Mushaf Utsmani adalah termasuk tujuh yang dimaksud oleh nash Rasulullah SAW.” [6]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa qira’at dikatakan shahih apabila memenuhi syarat :
1.       Kesesuaian qira’at dengan kaidah bahasa Arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih maupun lebih fasih. Sebab qira’at adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya & menjadi rujukan berdasarkan isnad.
2.       Qira’at sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmani, meskipun hanya sekadar mendekati saja. Contohnya :
Pada QS. Al-Fatihah اهدناالصراط  ditulis dengan اهدناالسراط (Mengganti huruf shad dengan sin), kemudian ملك يوم  ditulis dengan مالك يوم (menambahkan alif setelah mim).
3.       Harus shahih sanadnya.

D. Macam Qira’at

Qira’at dapat dibagi atas :
1.       Mutawwatir, qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta & sanadnya bersambung hingga Rasulullah SAW.
2.       Masyhur, qira’at yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai mutawwatir, qira’at yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab & Rasm Utsmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qira’at.
3.       Ahad, qira’at yang sahih sanadnya tetapi menyalahi Rasm Utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal dikalangan para ahli qira’at.
Contoh : QS. Ar-Rahman (55) : 76[7] & QS. At-Taubah (9) : 128[8]
4.       Syaz, qira’at yang tidak sahih sanadnya.
Contoh : QS. Al-Fatihah (1) : 4 [9]
5.       Maudu’, qira’at yang tidak ada asalnya.
6.       Mudraj, yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran.
Contoh : QS. Al-Baqarah (2) : 198[10]
Keempat macam yang terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qira’at yang mutawwatir ialah qira’at yang tujuh. Qira’at selain itu tidak boleh dibaca didalam maupun diluar shalat.[11]
Abu Syamah dalam Al-Mursyidul Wajiz berkata, “Tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qira’at yang disandarkan kepada salah satu ahli qira’at yang tujuh dengan menyatakannya sebagai qira’at yang shahih, kecuali bila qira’at itu telah memenuhi syarat-syarat, bukan siapa yang kepadanya qira’at itu dihubungkan. Hal ini karena qira’at yang dihubungkan kepada setiap qari’ yang tujuh atau yang lainnya itu, ada yang disepakati & ada pula yang syaz. Hanya saja karena popularitas qari tujuh dan banyaknya qira’at mereka yang telah disepakati keshahihannya, maka jiwa merasa lebih tenteram & cenderung menerima qira’at yang berasal dari mereka melebihi qira’at yang bersumber dari qari-qari lainnya.” [12]

E. Manfa’at Ragam Qira’at Shahih

Qira’at yang berbagai macam mempunyai beberapa manfaat diantaranya :
1.       Menunjukkan betapa terjaganya & terpeliharanya Kitab Allah SWT.
2.       Meringankan umat Islam & memudahkan membaca Al-Qur’an.
3.       Bukti kemukjizatan Qur’an dari segi kepadatan makna.
Contoh : penjelasan hukum mencuci kaki sekaligus hukum menyapu sepatu dengan adanya penasaban & pengkhafadan kata rajala pada QS. Al-Ma’idah [5] : 6
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“… Maka basuhlah mukamu & tanganmu sampai dengan siku. Dan Sapulah kepalamu & kakimu sampai dengan kedua mata kaki, … (QS. Al-Maidah [5] : 6)
4.       Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.

Contoh : Al-Baqarah [2] : 222[13], Al-Jumu’ah [62] : 9[14], Al-Ma’idah [5] : 38[15].

5.       Menampakkan keutamaan & kemuliaan umat Islam atas semua umat, sebab semua kitab sebelumnya diturunkan dengan satu qira’at.
6.       Memperbesar pahalanya, yaitu dengan adanya usaha yang dikerahkan untuk meneliti & memastikan qira’atnya.

F. Macam Waqaf

Waqaf adalah menghentikan bacaan dengan mematikan huruf terakhir dari satu kalimat. Waqaf penting untuk menjaga makna ayat. Berikut ini beberapa contoh wajib waqaf :
1.       Pada akhir ayat pertama Al-Kahfi (18)
وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجَا(1)قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا
“… dan tidak mengadakan kebengkokan didalamnya (1) sebagai bimbingan yang lurus untuk memperingatkan …” (QS. Al-Kahfi [18] : 1-2)[16]
2.       Pada lafaz yang diakhirnya ada ‘ha sakat’.[17] Contohnya :
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَالَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ(25)وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ
“Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata : "Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku.” (QS. Al-Haqqah [69] : 25-26)
مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ(28)هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
“Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku dariku.” (QS. Al-Haqqah [69] : 28-29)
3.       Pada kata qau luhum :
وَلَا يَحْزُنْكَ قَوْلُهُمْ إِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yunus [10] : 65)[18]
Abu Ja’far An-Nuhhas & Baihaqi dalam Sunannya mengeluarkan, “Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata : “Sepanjang hidup kami, kami pernah tahu salah seorang dari kami beriman sebelum (membaca) Al-Qur’an. Kemudian turun satu surat kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu kami mempelajarinya yang halal & haram serta yang sepatutnya kami berhenti padanya dari surat tersebut, sebagaimana kami mempelajari A-Qur’an pada hari ini. Dan pada hari ini kami menyaksikan beberapa orang yang mempelajari Al-Qur’an sebelum beriman, kemudian membaca dari surah Al-Fatihah sampai akhir Al-Qur’an tetapi tidak tahu apa yang diperintahkannya & apa yang disuruh menjauhinya serta apa yang sepatutnya ia berhenti padanya.” [19]
Para ulama berbeda pendapat tentang waqaf. Ada yang mengatakan terbagi menjadi 8 (delapan) macam ada yang 2 (dua) macam & ada yang 3 (tiga) macam. Menurut pendapat yang masyhur, waqaf terbagi atas empat[20] :
1.       Tamm (sempurna), waqaf pada lafadz yang tidak berhubungan sedikitpun dengan lafadz sesudahnya, banyak terdapat pada ra’sul ayat.
2.       Kafin-ja’iz (boleh), waqaf pada sesuatu lafadz yang dari segi lafadz telah terputus dari lafadz sesudahnya, tetapi maknanya masih tetap bersambung. Diantara contohnya adalah setiap ra’sul ayat yang pada lafadz sesudahnya terdapat lam kai.
3.       Hasan (baik), waqaf pada lafadz yang dipandang baik pada lafadz itu tetapi tidak baik memulai dengan lafadz yang sesudahnya karena masih berhubungan dengannya dalam lafadz & maknanya.
4.       Qabih (buruk), waqaf pada lafadz yang tidak dapat dipahami maksud sebenarnya. Misalnya :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ الْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَأُمَّهُ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ...
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata : "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam". Katakanlah : "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya ?"… (QS. Al-Maidah [5] : 17)
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (QS. Al-Ma’un [107] : 4)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu & tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisa’ [4] : 43)

Adapun dalam mushaf Al-Qur’an saat ini banyak kita temukan berbagai bentuk tanda waqaf. Berikut ini akan dipaparkan [21] :
1.       وَقَف لاَزِم (tandanyaم).
2.       مُطلَقوَقَف (tandanya ط).
3.        جَاءِزوَقَف (tandanya ج), artinya diperbolehkan berhenti atau tidak.
4.        مُجَوَّز وَقَف ( tandanya ز), artinya diperbolehkan berhenti.
5.       وَقَف مُرَخَّص (tandanya ص), artinya diperbolehkan berhenti
6.       وَقَف اولى (tandanya قف , قى), artinya dihentikan lebih utama.
7.       الوصل اولى (tandanya صى), artinya disambung lebih utama.
8.       قِيلَ : عليه الوقف (tandanya ق), artinya disini boleh berhenti.
9.       عدم الوقف (tandanyaلا), artinya tidak boleh berhenti.
10.    كذلك مطابق على ماقبله (tandanya ك), artinya waqaf disini sama dengan waqaf sebelumnya.
11.    Tandanya  o, artinya seperti waqaf muthlaq.
12.    Tandanya berbentuk tiga titik yang membentuk segitiga. Artinya bila berhenti, berhentilah pada salah satu dari kedua tanda waqaf ini. Jangan berhenti pada kedua-duanya.

G. Tajwid dan Adab Tilawah
Tajwid adalah disiplin ilmu yang mempunyai kaidah tertentu yang harus dipedomani dalam pengucapan huruf-huruf dari makhrajnya disamping harus pula diperhatikan hubungan setiap huruf dengan sebelumnya & sesudahnya dalam cara pengucapannya. Menurut As-Suyuthi didalam Al-Itqan, kaidah tajwid itu berkisar pada cara waqaf, imalah idgam, penguasaan hamzah, tarqiq, tafkim & makhrajul huruf.
Para ulama menganggap qira’at Qur’an tanpa tajwid sebagi lahn. Lahn adalah kerusakan atau kesalahan yang menimpa lafadz, Lahn Jaliy adalah kerusakan pada lafadz secara nyata contohnya kesalahan i’rab atau saraf. Lahn Khafiy adalah kerusakan pada lafadz yang hanya dapat diketahui oleh ulama qira’at.
Imam As-Suyuthi berpendapat yang diungkapkan kembali oleh Ar-Rafi’i[22], “Diantara perbuatan bid’ah dalam qira’at & ada’ adalah talhin atau melagukan bacaan yang hingga sekarang ini masih ada & disebarluaskan. Diantaranya :
1.       Tar’id: bila qari’ menggeletarkan suaranya, laksana suara yang menggeletar karena kedinginan atau kesakitan.
2.       Tarqis : sengaja berhenti pada huruf mati namun kemudian menghentakkannya secara tiba­-tiba disertai gerakan tubuh seakan-akan sedang melompat atau berjalan cepat.
3.       Tatrib : mendendangkan & melagukan Qur’an sehingga membaca panjang bukan pada tempatnya atau menambahnya bila kebetulan pada tempatnya.
4.       Tahzin : membaca Qur’an dengan nada memelas seperti orang yang bersedih sampai hampir menangis disertai kekhusukan & suara lembut.
5.       Tardad : bila sekelompok orang menirukan seorang qari’ pada akhir bacaannya dengan satu gaya dari cara-cara diatas.

H. Adab Membaca Qur’an

Al-Qur’an adalah kalamullah yang mulia. Memperhatikan adab dalam membacanya adalah bentuk penghormatan kepada Al-Qur’an. Oleh karena itu dianjurkan memperhatikan adab sewaktu membaca Qur’an seperti berikut ini :
1.       Berwudhu, karena membaca Al-Qur’an termasuk dzikir yang paling utama.
2.       Membacanya ditempat yang bersih & suci.
3.       Membacanya dengan khusyuk, tenang & penuh hormat.
4.       Bersiwak sebelum membaca.
5.      Memulai dengan ta’awwuz. Sebagian ulama bahkan mewajibkan dengan berdalil dari firman Allah SWT :

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْءَانَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Qur’an hendaklah meminta perlindungan kepada Allah dari syaithan yang terkutuk.” (An-Nahl [16] : 98)
6.       Membaca basmalah pada permulaan surah.
7.       Membacanya dengan tartil. Allah SWT berfirman :

... وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلًا

“Dan bacalah Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (Al-Muzammil [73] : 4)
8.       Memikirkan ayat yang dibaca. Allah SWT berfirman :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya.” (Sad [38] : 29)
9.       Meresapi makna & maksud ayat Qur’an. Firman Allah SWT :

وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا

“Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis & mereka bertambah khusyuk.” (Al-Isra’ [17] : 109)
10.    Membaguskan suara dengan membaca Qur’an. Sabda Rasulullah SAW :
Hiasilah Qur’an dengan suaramu yang merdu.” (HR. Ibn Hibban)
11.    Mengeraskan bacaan Qur’an karena membacanya dengan jahr lebih utama kecuali dikhawatirkan timbul rasa riya atau takut mengganggu orang lain yang sedang shalat misalnya. Pada saat ini, merendahkan suara adalah lebih utama. Rasul SAW bersabda :
لاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِى الْقُرْآنِ
“Janganlah kamu saling mengeraskan suara dalam membaca Al-Qur’an.” (HR. Ahmad).
12.    Dapat membacanya dengan mushaf maupun dengan hafalan. Jika membaca dengan hafalan lebih dapat menimbulkan kekhusukan, perenungan & konsentrasi terhadap ayat-ayat yang dibaca dibanding membacanya melalui mushaf, maka dengan hafalan lebih utama. Jika keduanya sama, maka membacanya dengan mushaf lebih utama.

I. Hukum Mengajarkan Qur’an

Mengajarkan Qur’an adalah fardlu kifayah. Rasulullah SAW bersabda :
“Sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar Qur’an & mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengajarkan Qur’an. Abu Lais dalam Al-Bustan membagi tiga macam pengajaran Al-Qur’an :
1.       Mengajar karena Allah SWT & tidak mengambil upah. Orang seperti ini akan mendapat pahala & itu merupakan tugas para nabi. Rasulullah SAW bersabda :
“Sebaik-baiknya kamu adalah orang yang belajar Qur’an & mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
2.       Mengajar dengan memungut upah. Hal seperti ini masih diperselisihkan. Ada yang tidak membolehkan. Sabda Rasul SAW :
“Bacalah Al-Quran & amalkanlah, janganlah Al-Qur’an itu kamu jadikan pencaharian & jangan memperbanyak harta dunia dengannya.” (HR. Ahmad, Shahih).
 Namun ada yang membolehkan. Dalilnya :
Pekerjaan yang paling berhak kamu ambil upahnya ialah (mengajarkan) kitabullah.” (HR. Bukhari)
Aku nikahkan engkau kepadanya dengan (mas kawinnya) Qur’an yang ada padamu.” (HR. Bukhari & Muslim)
Jika Al-Qur’an layak dijadikan mas kawin, tentunya juga layak dijadikan upah.
3.       Pengajaran tanpa syarat, namun jika diberi hadiah akan diterima. Ulama sepakat boleh. Hal ini sejalan dengan hadits shahabat yang mengobati orang yang kena sengat kalajengking dengan QS. Al-Fatihah & mereka mengambil imbalan. Sabda Rasulullah SAW :
“Berilah satu bagian dari imbalan yang kamu terima itu.” (HR. Bukhari)
˜


[1]Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 245 & lihat juga Apa Itu Al-Qur’an hal 76.
[2]Dhabit adalah keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits & memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain.
[3]Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 245-252.
[4]Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam hal 44-45.
[5]Pengantar Studi Al-Qur’anhal 319.
[6] Apa Itu Al-Qur’an hal 81.
[7]Mengganti kata رَفرَفٍ خُضرٍ وَّ عَبقَرِيٍّ dengan  رَفَارِفَ خُضرٍ وَ عَبَاقَرِيَ  Qira’at ini diriwayatkan Abu Bakrah. (HR. Hakim)
[8] Mengganti kata اَنفُسِكُم dengan اَنفَسِكُم  Qira’at ini diriwayatkan Ibnu Abbas. (HR. Hakim)
[9]Kata مَلِكِ يَومِ   diganti  مَلَكَ يَومَ
[10] Dengan menambahkan kata فِي مَوَاسِمِ الحَجِّ setelah kata رَبِّكُم Qira’at ini diriwayatkan Ibnu Abbas (HR. Bukhari)
[11] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 257.
[12] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 253.
[13] Terdapat perbedaan qira’at dengan tasydid dibanding qira’at dengan takhfif yang menjelaskan hukum dari mencampuri isteri yang sedang haid. (Lihat Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an 1 hal 523-524).
[14] Perbedaan pada qira’at yang menjelaskan cara berangkat untuk shalat Jum’at. (Lihat Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an 2 hal 919-920).
[15] Terdapat perbedaan pada qira’at yang menjelaskan tangan mana yang harus dipotong. (Lihat Tafsir Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an 1 hal 976-978).
[16]Waqaf disini penting, agar tidak mengesankan bahwa lafadzقَيِّمًا(lurus) adalah sifat bagi lafadz عِوَجًا  (kebengkokan).
[17]Sebab pada selain Al-Qur’an, ha sakat ini ditetapkan atau dibaca disaat waqaf dan dibuang ketika wasal (bersambung). Tetapi karena didalam mushaf “ha” ini dituliskan. Maka lafadz yang ada “ha”-nya itu tidak boleh diwasalkan, sebab sebagaimana ditetapkan dalam kaidah bahasa Arab bahwa ha sakat itu harus dibuang ketika wasal. Dengan demikian, menetapkan “ha” pada waktu wasal bertentangan dengan kaidah bahasa Arab dan membuangnya pun bertentangan dengan mushaf. Sehingga jika mewaqafkannya berarti telah mengikuti mushaf dan mengikuti pula kaidah bahasa Arab. (Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 263)
[18]Waqaf disini penting guna meluruskan maknanya. Sebab yang dimaksud dengan kalimat “Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka.” Adalah perkataan kaum musyrikin, bukannya perkataan para wali Allah (orang beriman) seperti tersebut dalam ayat sebelumnya.
[19] Apa Itu Al-Qur’an hal 119.
[20] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 263-264.
[21] Pelajaran Tajwid hal 54-55.
[22] Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an hal 266.

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.