TAFSIR NIH
MAKALAH JA'ALAH
Secara etimologi kata “ja’alah”
bermakna sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena melakukan sesuatu hal
yang diperintahkanya. Sedangkan secara syar’i adalah seseorang yang
diperbolehkan mengelola hartanya
menetapkan sejumlah harta tertentu sebagia hadiah bagi seseorang yang
berhasil melakukan suatu pekerjaan khusus, baik diketahui atau tidak diketahui.
Misalnya seseorang berkata : “barang siapa yang dapat membangun tembok ini
untuku, maka ia berhak mendapat hadiah berupa uang”. Orang yang berhasil
membangun tembok tersebut untuknya, maka ia brh mendapat hadiah yang telah
dijanjikan berupa uang, bai jumlahnya sedikit maupun banyak.
1)
Hukum
Ja’alah
Ja’alah hukumnya boleh berdasarkan
firman Allahta’ala:
(#qä9$s%ßÉ)øÿtRtí#uqß¹Å7Î=yJø9$#`yJÏ9uruä!%y`¾ÏmÎ/ã@÷H¿q9Ïèt/O$tRr&ur¾ÏmÎ/ÒOÏãyÇÐËÈ
72. penyeru-penyeruituberkata:
"Kami kehilanganpiala Raja, dansiapa yang
dapatmengembalikannyaakanmemperolehbahanmakanan (seberat) bebanunta,
danakumenjaminterhadapnya". (QS. Yusuf : 72)
Juga sabda Rasululloh Salalluhualaihi Wassalam yang
ditujukan kepada para sahabat yang mampu mengobati sahabat yang terluka
karena sengatan binatang berbisa bahwa mereka berhak memperoleh sejmlah
kambing, seray berkata : “ambillah
kambing-kambing itu dan berilah aku satu bagian bersama (bagian) kalian. (HR.
Bukhari)
2)
Beberapa ketentuan
Hukum Berkaitan dengan Ja’alah
1. Ja’alah,
adalah aqad yang dibolehkan sehingga kedua belah pihak yang melakukan akad
boleh membatalkanya. Jika pembatalan itu terjadi sebelum pekerjan itu
dilaksanakan, maka pelaksanaanya tidak boleh memperoleh apapun. Sedanhkan jika
pembatalan itu terjadi pada saat pelaksanaan pekerjaan itu, maka pelaksanaanya
berhak memeproleh upah sesuai dengan pekerjaanya.
2. Dalam
ja’alah tidak disyaratkan masa pelaksaanya harus diketahui. Jika seorang
berkata, “barang siapa yang dapat menegmbalika untaku yang hilang (kabur) maka
ia berhak memperoleh satu dinar” meskipun hal itu setelah berjalan satu bulan
atau satu tahun dari waktu pemberitahuan.
3. Jika
pekerjaan dilaksanakan oleh sekelompok orang, maka hadiahnya dibagi rata di
antara mereka.
4. Ja’alah
tidak dibolehkan pada suatu perkara yang diharamkan. Maka tidak diperbolehkan
seseorang berkata “barang siapa yag bernyayi atau memukul seseorang ataupun
mencacinya maka ia berhak memeproleh hadiah berupa ...”
5. Barang
siapa yang mengembalikan barang temuan, atau barang yang hiang atau berhasil
mekalukan suatu pekerjaan sebelum ia mengetahui, bahwa dalam pengembalian
barang itu diberikan hadiah, maka ia tidak berhak memperoleh hadiah, karena
perbuatanyay itu dianggap sebagai perbuatan baiknya. Sehingga ia tidak berhak
memperoleh hadiah, kecuali dalam pengembalian seoran budak yang melarikan diri
dari tuanya atau menyelamatkan orang yang tenggelam, maka selayaknya ia
memperoleh hadiah sebagai balas budi atas kebaikanya.
6. Jika
seorang berkata “barang siapa ang memakan...atau meminum... dari makanan serta
minuman yang dihalalkan, maka ia berhak memperoleh hadiah...” ja’alah yag
seperti itu sah hukumnya, kecuali jika ia berkata “barang siapa yang memakan
suatu makanan dan ia menyisakanya
sedikit.” Ja’alah yang seperti itu tidak sah hukumnya.
7. Jika
antara pemilik hadiah dan pelaksana berselisih pendapat mengenai jumlah hadiah
yang telah dijanjikan, maka pendapat yang harus di diterima adalah pendapat
pemilik hadiah dengan memintaya supaya bersumpah. Sedangkan jika keduanya
berselisih pendapat tentang asal hadiah, maka pendapat yang harus di terima
adalah pendapat pelaksana dengan memintanya supaya bersumpah.[1]
[1] Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri, Minhajul Muslim konsep hidup ideal dalam
Islam, Jakarta - Darul Haq. Hal: 853
Tidak ada komentar
Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.
Salam : Admin K.A.