#ISLAM
ARTIKEL ISLAM
Keharusan Mendahulukan Hadits Daripada Perkataan Para Imam
Suatu prinsip yang telah disepakati di kalangan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bahwa tidak halal bagi seseorang untuk mendahulukan perkataan manusia, siapapun orangnya dan bagaimanapun kedudu-kannya, di depan perkataan Alloh dan Rosul-Nya . Prinsip ini telah ditegaskan oleh para imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Berikut ini akan kami kemukakan kepada para pem-baca sekalian sebagian dari ucapan-ucapan mereka yang berkaitan dengan masalah ini.
Imam Abu Hanifah
Imam yang paling terdahulu di antara mereka adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit . Diriwayatkan dari sebagian murid-murid beliau berbagai pernyataan dan ungkapan. Semuanya mengarah kepada satu maksud, yakni wajibnya berpegang kepada hadits dan larangan bertaklid pada pendapat-pendapat para imam yang bertentangan dengan hadits tersebut. Di antara perka-taan beliau ialah:
“Apabila suatu hadits itu shohih, maka itulah madz-habku.”
“Tidak halal bagi seseorang mengambil pendapat kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami meng-ambilnya.”
Dalam suatu riwayat: “Siapa yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya berfatwa dengan pendapatku.”
Dalam riwayat lain: “Kami hanyalah seorang manusia. Hari ini kami berpendapat seperti ini, dan esok hari mungkin pendapat itu kami cabut kembali.”
Dalam riwayat lain: “Celakalah kamu wahai Ya’qub (yakni Abu Yusuf, murid terbesar Imam Abu Hanifah)! Janganlah kamu tulis semua yang kamu dengar dariku! Sebab hari ini aku berpendapat begini, dan mungkin aku meninggalkannya. Besok aku berpendapat begitu, dan mungkin besok lusa pendapat tersebut sudah aku tinggalkan.”
“Apabila aku mengemukakan pendapat yang ber-tentangan dengan al-Qur’an dan hadits Rosululloh , maka tinggalkanlah pendapatku itu!”
Imam Malik bin Anas
Imam Malik bin Anas , Imam Darul Hijroh (negeri tempat hijrahnya Nabi ) berkata:
“Aku hanyalah seorang manusia yang terkadang salah dan terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku itu. Semua pendapatku yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambillah, dan semua penda-patku yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, tinggalkanlah.”
“Tidak ada seorang pun sesudah Nabi melainkan pendapatnya dapat diterima atau ditolak, kecuali ucapan Nabi .”
“Ibnu Wahb menuturkan, “Aku pernah mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari kaki dalam wudhu, maka ia menjawab, ‘Hal itu tidak perlu dila-kukan.’ Aku membiarkannya hingga tempat tersebut sunyi, lalu aku katakan kepadanya, ‘Kami memiliki hadits tentang masalah itu.’ Malik bertanya, ‘Mana hadits itu?’ Aku katakan, ‘al-Laits bin Sa’ad, Ibnu Luhai’ah dan ‘Amr bin al-Harits menceritakan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr al-Ma’afiri, dari ‘Abdurrahman al-Habli, dari al-Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi, ia berkata: Aku pernah melihat Rosululloh menggosok-gosokkan dengan jari kelingkingnya pada sela-sela jari kedua kakinya.’ Maka, Malik berkomentar, ‘Hadits ini hasan, dan aku tidak pernah mendengarnya sama sekali kecuali saat ini.’ Kemudian, setelah itu, ia ditanya tentang perkara yang sama, maka ia memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari kaki.”
Imam asy-Syafi’i
Riwayat-riwayat yang dinukil orang dari Imam asy-Syafi’i dalam masalah ini lebih banyak dan lebih bagus, serta para pengikutnya lebih banyak yang melak-sanakan pesannya sehingga lebih beruntung dan lebih lurus. Di antara perkataan beliau ialah:
“Setiap orang harus bermadzhab kepada Sunnah Rosululloh dan mengikutinya. Adapun pendapat yang aku katakan itu berasal dari Rosululloh . Bila berlawanan dengan pendapatku, maka apa yang disabdakan oleh Rosululloh itulah yang menjadi pendapatku.”
“Seluruh kaum Muslimin bersepakat bahwa orang yang secara jelas telah mengetahui suatu hadits dari Rosululloh , tidak halal baginya meninggalkan Sunnah tersebut demi mengikuti pendapat seseorang.”
“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan hadits Rosululloh , maka peganglah hadits Rosululloh dan tinggalkanlah pendapatku.”
“Apabila sebuah hadits itu shohih, maka itulah madz-habku.”
Beliau (Imam asy-Syafi’i ) pernah berkata kepada Imam Ahmad , “Engkau lebih tahu tentang hadits dan para perawinya daripada aku. Apabila ada hadits shohih, beritahukanlah kepadaku dari manapun hadits itu diriwayatkan, baik hadits orang-orang Kufah, Bashroh maupun Syam, agar aku berpendapat dengan hadits itu jika memang hadits tersebut shohih.”
“Bila suatu masalah ada haditsnya yang shohih dari Rosululloh menurut ahli hadits, tetapi pendapatku menyelesihinya, maka ketahuilah sesungguhnya aku telah mencabut pendapatku, baik semasa hidupku maupun sepeninggalku.”
“Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang menyelesihi hadits shohih dari Nabi , maka ketahuilah bahwa akalku sudah hilang.”
“Setiap perkataanku bila bertentangan dengan riwayat yang shohih dari Nabi , maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan kalian jangan bertaklid kepa-daku.”
“Setiap hadits yang datang dari Nabi maka itulah pendapatku, sekalipun kalian belum pernah mendengar-nya langsung dariku.”
Suatu ketika Imam Syafi'i pernah ditanya oleh salah seorang jama'ahnya tentang satu masalah. Lalu beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan kata-katanya, “Telah sampai kepadaku suatu riwayat dari Rosululloh yang bersabda begini dan begini.” Orang itu bertanya, “Wahai Imam, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits tersebut?” Mendengar pertanyaan itu Imam Syafi'i marah dan berkata, “Apakah engkau melihat aku memakai kalung salib di leherku, atau sabuk khas Yahudi di pinggangku sehingga engkau bertanya kepadaku apakah aku akan mengambil hadits Rosululloh tersebut?!”
Jawaban Imam Syafi'i tersebut menegaskan kepada kita bahwa tidak halal bagi seorang Muslim yang telah mendengar suatu hadits dari Rosululloh untuk menolaknya.
Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad bin Hanbal merupakan seorang imam yang paling banyak menghimpun hadits dan berpegang teguh dengannya, sampai-sampai dia tidak suka menulis kitab-kitab yang memuat masalah furu’ dan pendapat. Karena itu, ia menyatakan:
“Janganlah bertaklid kepadaku atau kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i dan ats-Tsauri. Tetapi ambillah dari mana mereka mengambilnya.”
Dalam riwayat lain: “Janganlah bertaklid kepada siapapun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya, ambillah. Ada-pun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menolak atau menerima).”
Pada kesempatan lain, ia berkata,”Ittiba’ adalah mengikuti apa yang datang dari Nabi dan para Saha-batnya. Kemudian yang datang dari para tabi’in boleh dipilih.”
“Pendapat al-Auza’i, Malik dan Abu Hanifah, se-muanya ra’yu (pendapat). Bagiku, semua ra’yu itu sama saja. Tetapi yang menjadi hujjah dalam agama adalah yang ada atsar (haditsnya).”
“Barangsiapa yang menolak hadits Rosululloh , maka ia berada di tepi jurang kebinasaan.”
Demikianlah pernyataan para imam yang meme-rintahkan untuk berpegang teguh kepada hadits, dan melarang mengikuti mereka dengan tanpa ilmu. Per-nyataan mereka itu sudah jelas, tidak dapat dibantah atau diputar balikkan lagi. Mereka mewajibkan untuk berpegang teguh pada semua hadits shohih, sekalipun bertentangan dengan sebagian pendapat mereka. Sikap semacam ini tidak dikatakan menyalahi madzhab dan keluar dari metode mereka, bahkan sikap itulah yang disebut mengikuti mereka dan berpegang teguh pada tali yang kuat yang tidak akan pernah putus. Akan tetapi tidaklah demikian halnya orang yang meninggalkan hadits shohih hanya karena menyelisihi pendapat mereka. Bahkan orang yang berbuat demikian telah durhaka kepada mereka dan melanggar pesan-pesan mereka terdahulu. Alloh berfirman:
“Maka demi Robbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Rosululloh ) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa’ [4]: 65)
al-Hafizh Ibnu Rojab berkata, “Kewajiban orang yang telah menerima dan mengetahui perintah Rosu-lulloh adalah menyampaikan kepada umat, mena-sehati, dan menyuruh mereka untuk mengikuti-Nya sekalipun bertentangan dengan pendapat mayoritas umat. Perintah Rosululloh lebih berhak untuk di-muliakan dan diikuti dibandingkan pendapat tokoh mana pun yang menyelisihi perintahnya, yang terka-dang pendapatnya itu salah. Oleh karena itulah, para Sahabat dan tabi’in selalu menentang setiap orang yang menyalahi hadits shohih, dan terkadang dengan penolakan yang keras. Hal itu mereka lakukan bukan karena kebencian mereka kepadanya, tetapi justru karena mereka mencintainya dan menghormatinya. Akan tetapi Rosululloh lebih mereka cintai, dan perintah beliau jauh lebih tinggi dibandingkan perintah selainnya. Jika perintah Rosul bertentangan dengan perintah selainnya, maka perintah Rosul lebih layak untuk didahulukan dan diikuti. Sikap ini tidak menjadi halangan untuk menghormati orang yang menyelisihi perintah beliau, jika ia termasuk orang yang diberi ampunan (karena tidak sengaja menyelisihinya). Bahkan orang yang menyelisihi (Sunnah) tapi mendapatkan ampunan ini, sebenarnya tidak merasa benci bila pendapatnya ditinggalkan, jika memang pendapat tersebut bertentangan dengan perintah Rosululloh .”
Demikian yang dikatakan Imam Ibnu Rojab . Benar, bagaimana mungkin para imam yang mulia mem-benci sikap tersebut, padahal mereka sendiri menyuruh para pengikutnya untuk bersikap demikian, seperti telah dikemukakan sebelumnya, dan mereka mewajib-kan para pengikutnya untuk meninggalkan pendapat-pendapat mereka yang bertentangan dengan hadits? Bahkan, Imam asy-Syafi’i menyuruh para muridnya untuk menisbatkan hadits shohih kepada dirinya, wa-laupun ia tidak berpegang padanya atau bahkan pen-dapatnya menyelisihinya.
Namun hal ini bukan berarti kita tidak boleh bermadzhab. Kaum Muslimin, khususnya orang-orang awamnya, diperbolehkan memegang salah satu madzhab, akan tetapi ketika pendapat madzhabnya menyelisihi dalil yang shohih, maka wajib baginya meninggalkan pendapat tersebut dan mengikuti dalil.
Tidak ada komentar
Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.
Salam : Admin K.A.