Di antara prinsip terpenting Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:



1. Ta’zhim an-Nushush asy-Syar’iyyah wal Inqiyad laha (mengagungkan nash-nash syar’i dan tunduk terhadapnya).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah sangat mengagungkan nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini bertolak dari pengagungan mereka terhadap Alloh   dan Rosul-Nya  . Setiap ayat al-Qur’an dan hadits yang shohih akan mereka junjung tinggi. Mereka sekali-kali tidak akan bergeser seujung rambut pun dari menempuh apa yang telah dinashkan dalam al-Qur’an atau hadits yang shohih. Mereka tidak akan mendahulukan perkataan siapapun di depan perkataan Alloh dan Rosul-Nya  . Dalam hal ini Alloh    berfirman:  

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Alloh dan Rosul-Nya dan bertakwalah kalian kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Hujurot [49]: 1)Ibnu Katsir   mengutip perkataan Sufyan ats-Tsauri   tentang ayat tersebut yang ia berkata, “Alloh berfir-man, 'Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Alloh dan Rosul-Nya,” yakni dengan perkataan atau perbuatan.” 

As-Sa'di   berkata, “Dalam ayat ini terdapat larang-an keras untuk mendahulukan perkataan selain Rosu-lulloh    di depan perkataan beliau. Oleh karena itu, jika telah jelas sebuah Sunnah dari Rosululloh   ,  maka wajiblah diikuti dan didahulukan daripada perkataan selain beliau, siapapun orangnya.” 

2. al-I’timad ‘ala al-Ahadits ash-Shohihah (bersandar kepada hadits-hadits yang shohih).
Karena hadits adalah wahyu Ilahi yang wajib diikuti, maka para ulama sangat berhati-hati dalam mengutip hadits. Tidak setiap hadits yang mereka dengar lalu mereka jadikan dalil. Hanya hadits-hadits yang shohih sajalah yang mereka pakai. Mujahid   berkata bahwa Busyair al-‘Adawi pernah datang kepada Ibnu ‘Abbas   lalu meriwayatkan kepadanya beberapa hadits dari Rosululloh  .

Ia berkata, “Rosululloh   telah bersabda demikian..., Rosululloh    telah bersabda demikian....” Akan tetapi Ibnu ‘Abbas tidak mendengarkan hadits tersebut dan tidak juga memperhatikannya. Maka ia-pun berkata, “Wahai Ibnu ‘Abbas, kenapa aku lihat engkau tidak mau mendengarkan hadits yang aku sampaikan? Aku menyampaikan kepadamu hadits dari Rosululloh   lalu engkau tidak mau mendengarkannya!?” Maka Ibnu ‘Abbas   berkata:

)( إِنَّا كُنَّا مَرَّةً إِذَا سَمِعْنَا رَجُلاً يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ    ابْتَدَرَتْهُ أَبْصَارُنَا وَأَصْغَيْنَا إِلَيْهِ بِآذَانِنَا، فَلَمَّا رَكِبَ النَّاسُ الصَّعْبَ وَالذَّلُولَ لَمْ نَأْخُذْ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مَا نَعْرِفُ )(

“Dahulu, kalau kami mendengar salah seorang berkata, “Telah bersabda Rosululloh   '', maka kami buru-buru memandangnya dan telinga pun kami pasang baik-baik. Akan tetapi setelah manusia bercampur antara yang jujur dan pen-dusta, maka kami pun tidak mau mengambil hadits kecuali dari orang-orang yang kami kenal.” (HR. Muslim)

Seorang tabi’in yang mulia, Muhammad bin Sirin   berkata: 
( لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ اْلإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ )(

“Dahulu, mereka (para ulama) tidak pernah ber-tanya tentang isnad (sanad), akan tetapi setelah terjadinya fitnah (yakni munculnya firqoh-firqoh sesat), para ulama pun berkata, ‘Sebutkanlah satu persatu kepada kami orang-orang yang menjadi sumber riwayat kalian.’. Kemudian mereka teliti, jika para nara sumber riwayat tersebut adalah orang-orang Ahlus Sunnah, maka  mereka terima haditsnya, akan tetapi jika dari golongan ahli bid’ah, maka mereka tolak haditsnya.”  (HR. Muslim)

Ibnu Qudamah  , seorang ulama ternama dari madzhab Hanbali berkata dalam kitabnya Dzamm at-Ta’wil, “Adapun hadits-hadits palsu yang dibuat oleh para zindiq untuk membuat rancu agama kaum Musli-min, atau hadits-hadits lemah –baik karena lemahnya sang periwayat, ketidakjelasan identitasnya, atau karena suatu cacat di dalamnya- maka tidak boleh dikutip dan di yakini isinya. Bahkan hadits-hadits tersebut wujuduhu ka'adamihi (keberadaannya sama dengan tidak adanya).”

Kesimpulannya, wajib dibedakan antara hadits-hadits yang shohih dengan hadits-hadits yang palsu. Karena, yang disebut dengan as-Sunnah adalah hadits-hadits yang benar bukan hadits-hadits yang batil. as-Sunnah adalah hadits-hadits yang shohih, bukan yang palsu. Ini adalah prinsip yang penting bagi seluruh ahlul Islam (kaum muslimin) secara umumnya dan bagi ahlus Sunnah secara khusus.

3. Shihhatu Fahm an-Nushush (benar dalam memahami nash-nash).
Setelah benarnya sumber yang dipakai yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah yang shohih, maka prinsip berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah benarnya pema-haman terhadap kedua sumber tersebut. Sebab, tidak semua orang boleh memahami nash-nash kedua sumber tersebut dengan pemahamannya sendiri. Kalau setiap orang boleh memahami nash-nash al-Qur’an dan hadits dengan caranya sendiri maka niscaya akan muncul banyak sekali penafsiran terhadap nash-nash tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka hilanglah kemurnian agama ini. Oleh karena itu, dalam memahami nash-nash yang suci tersebut haruslah menggunakan manhaj atau metodologi yang benar, yaitu dengan mengikuti pemahaman para salaful ummah (salafush sholeh). Kenapa mesti mengikuti cara pemahaman mereka? Tentang ini insya Alloh   akan dibahas dalam buku kecil tersendiri yang berjudul “Meneladani Generasi Terbaik.”

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.