HUKUM MENGGHIBAHI / MENGGOSIPKAN ORANG BATIL DAN KAFIR


Bagaimana Jika yang Dighibahi adalah Pembawa Kebatilan atau Orang Kafir?

Imam ash-Shan’ani   dalam kitab Subulus Salam berkata: “Perkataan Rosululloh   (dalam hadits Abu Huroiroh   di atas, yaitu dalam definisi ghibah): أَخَاكَ (saudaramu) yaitu saudara seagama, merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh dighibah.” Ibnul Mundzir   berkata: “Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya barangsiapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti Yahudi, Nasrani, dan seluruh pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya.”

Berikut ini adalah kisah imam besar ‘Abdulloh bin Mubarok   dalam membantah orang sufi ketika menggibah perawi (pembawa) hadits yang dusta:

“Al-Mu’alla bin Hilal dialah orangnya, hanya saja apabila dia meriwayatkan hadits berdusta.” Sebagian orang sufi mengatakan kepada beliau: ‘Wahai Abu ‘Abdirrahman (panggilan ‘Abdulloh bin Mubarok) engkau telah berbuat ghibah’? Maka al-Imam ‘Abdulloh Ibnul Mubarok menjawab: “Diam kamu! jika kita tidak menjelaskan, maka bagaimana bisa diketahui antara kebenaran dan kebatilan?!”
Demikianlah seorang imam besar sekaliber Ibnul Mubarok, seorang imam yang sangat perhatian terhadap umat ini, dan seorang imam yang -sebagaimana dikatakan oleh al-Imam ‘Abdurrohman bin Mahdi- paling besar nasihatnya terhadap umat; menegur keras sikap seorang sufi yang protes, dengan menganggap perbuatan beliau itu sebagai ghibah ketika beliau   sedang mencerca seseorang yang berdusta dalam periwayatan hadits.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz   berkata:
“Jika seseorang menampakkan kebid’ahannya atau kemaksiatannya maka tidak berlaku hukum (larangan) ghibah baginya. Seseorang yang terang-terangan menampakkan dia meminum khamr, maka dikatakan bahwa dia adalah seorang yang fajir (jahat), atau terang-terangan merokok dan mencukur jenggotnya, maka tidak berlaku hukum (larangan) ghibah baginya karena dia sendirilah yang membongkar aib dirinya.

Begitu pula seseorang yang menampakkan kebid’ahannya, seperti mereka yang melakukan bid’ah dalam bentuk perayaan maulid, atau malam ke-27 Sya’ban, atau malam Isra’ dan Mi’roj menurut keyakinan mereka, atau dengan membangun di atas kubur dan mengapurinya, serta meletakkan bangunan kubah di atasnya, maka mereka harus diingkari dan dikatakan: “Perbuatan ini tidak boleh, dan tergolong perbuatan bid’ah.”

Maksud dari itu semua adalah menampakkan kebid’ahan dan kemaksiatannya, sehingga tidak berlaku lagi hukum (larangan) ghibah bagi yang menampakkan hal itu.

BACA HALAMAN SELANJUTNYA : HUKUM MENDENGARKAH BERITA GOSIP / GHIBAH 


Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.