BOLEHKAH BERDUSATA DALAM KEBAIKAN ? BERIKUT 3 JENIS DUSTA YANG DIBOLEHKAN


Dusta yang Dibolehkan 

Dusta memang tercela karena ia dosa besar dan salah satu sifat orang kafir dan munafik. Dan hukum asal dusta adalah haram. Namun, di sana ada beberapa kondisi yang dibolehkan seseorang untuk berdusta karena ada maslahah (kebaikan) yang besar yang dibolehkan dalam syariat bahkan diwajibkan.

Batasannya adalah, setiap maksud terpuji yang sebenarnya bisa dicapai tanpa adanya unsur kedustaan, maka diharamkan berdusta dalam kondisi ini. Namun, jika hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan jalan berdusta atau berbohong maka hukumnya diperbolehkan. Jika perkara itu hukumnya wajib, maka wajib pula hukumnya.

Jika ada seorang Muslim berlindung dari kejaran orang yang ingin membunuhnya, hendak mengambil atau menyembunyikan hartanya, kemudian orang yang melindungi ditanya tentang orang tadi, maka wajib baginya untuk menutup-nutupinya. Demikian pula, seandainya orang itu mempunyai harta simpanan, lalu ada seorang zholim ingin mengambilnya, maka wajib berbohong untuk menyembunyikan harta tersebut. Namun yang lebih selamat dalam hal ini adalah memendamnya.

Dari Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu'aith   -dia termasuk muhajirot yang pertama-tama berbai'at dengan Nabi  - mengatakan bahwa dia mendengar Rosululloh   bersabda,

“Tidak termasuk pendusta orang yang mendamaikan dua orang yang berselisih, dia mengatakan yang baik lalu dia menumbuhkan kebaikan.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)
Ibnu Syihab   berkata, “Aku tidak pernah mendengar Rosululloh   membolehkan orang berdusta, melainkan dalam tiga hal; dalam perang, dalam mendamaikan dua orang yang berselisih, dan pembicaraan berita suami kepada istrinya.” (HR. al-Bukhori dan Muslim)

Dibolehkannya dusta dalam beberapa situasi tersebut kerena maslahah atau kebaikan dan menjauhkan dari keburukan. Contohnya adalah sebagai berikut:

a.Dalam peperangan.
Seperti pemimpin tentara menginstruksikan  bahwa dia ingin mengerahkan pasukannya melalui jalur A, padahal sebenarnya dia menginginkan mereka melalui jalur B. Ini adalah karena maslahah, supaya rahasia strategi peperangan tidak sampai ke tangan musuh. Begitu juga dengan mengatakan kepada musuh bahwasanya telah meninggal komandan besar kamu sekalian. Maksudnya komandan mereka  yang telah mati satu tahun yang lalu dengan tujuan menggentarkan musuh. 

b.Untuk mendamaikan antara dua orang atau dua kelompok.
Contohnya: Ali dan Ahmad bertengkar, lalu kita memberitahu pada Ali bahwa Ahmad ingin berdamai dan dia mencintainya, juga memberitahu pada Ahmad bahawa Ali ingin berbaik dengannya dan diapun mencintainya, hal seperti ini dibolehkan dalam syariat.

Rosululloh   bersabda.
“Bukanlah pendusta seseorang yang bermaksud mengislah -yakni memperbaiki- antara para manusia yang sedang (berselisih), lalu ia menyampaikan sesuatu berita yang baik-baik atau mengucapkan yang baik-baik.” (Muttafaq 'alaih)

c.Perbualan antara suami istri dalam hal-hal yang boleh untuk menambahkan kemesraan dan kasih sayang antara mereka.

Contohnya adalah seorang yang berpoligami berkata kepada setiap istrinya bahwa dialah istri yang paling disayangi.

Imam an-Nawawi   dalam Syarah Shohih Muslim berkata bahwasanya al-Qadhi Iyadh   berkata:
“Tidak ada perbedaan bahwa harus berbohong dalam tiga keadaan ini. Namun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama adalah apakah yang dimaksudkan dengan dusta yang dibolehkan dalam syariat itu sendiri? Disana ada dua pendapat.”

a)Pendapat pertama.
Maksud dusta yang dibolehkan adalah dusta secara umum, bukan sekedar tiga kondisi tersebut. Dengan catatan ada maslahah yang dibenarkan dalam syariat. Mereka berpendapat bahwa dusta yang dicela adalah dusta yang membahayakan dan tidak ada maslahah-nya. Adapun jika ada kebaikan maka dibolehkan sesuai denngan kebutuhan. Mereka berdalil dengan firman Alloh   dalam kisah Nabi Ibrohim   ketika selesai menghancurkan berhala orang kafir  kemudian disidang oleh orang-orang kafir. Maka terjadilah dialog antara Nabi Ibrohim   dengan mereka yang diabadikan oleh Alloh   dalam al-Qur’an: 

“Mereka bertanya: “Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrohim?” Ibrohim menjawab: “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu,  jika mereka dapat berbicara”.” (QS. al-Anbiya [21]: 62-63)

Dalam ayat tersebut Nabi Ibrohim   mengelak ketika ditanya siapakah yang menghancurkan berhala-berhala kecil di sekeliling berhala besar tersebut. Maka beliau   menjawab dengan jawaban yang bertentangan dengan realita sebenarnya demi maslahah yang nyata. 

b)Pendapat kedua.
Diantara mereka adalah Imam ath-Thobari  . Mereka berkata bahwa pada asalnya tidak boleh dusta dalam segala hal. Adapun maksud dari dusta dalam tigal hal tersebut adalah tauriyyah (ungkapan yang mempunyai makna ganda dan bukan sebenarnya atau  bisa disebut dengan kata bersayap, yakni apa yang dipahami oleh orang yang diajak bicara tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan pembicara).

Disebutkan beberapa nukilan dari kaum salaf bahwa ada ma’aridh yang disukai dalam rangka menghindari kebohongan. Yang mereka maksudkan dengan hal itu adalah jika seseorang melakukannya dalam keadaan terpaksa, agar tidak terjerumus dalam kebohongan. Namun, bila yang bersangkutan tidak dihadapkan pada keperluan untuk melakukannya dan tidak berada dalam posisi terdesak, maka ma’aridh semacam ini terlebih berbohong secara terang-terangan tidak diperbolehkan. Akan tetapi ma’aridh sifatnya lebih ringan. 

Begitu juga penggunaan al-Ma’aridh (kata bersayap) dan bukan terang-terangan dusta. Seperti kisah Nabi Ibrohim   di atas.

Dan tidak boleh pula terlalu luas dalam mashlahah sehingga meremehkan dusta untuk suatu hal yang tidak ada maslahah-nya atau berbahaya bagi orang lain maka hal tersebut haram sama halnya dia merasa atau tidak.

Dari dua pendapat tersebut diatas pendapat yang lebih kuat -wallohu ‘alam- adalah pendapat kedua. Karena hukum asal dari berdusta adalah haram. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang syar’i. Dan sebenarnya yang dimaksud dari dibolehkannya dusta dalam segala  hal, sebagaimana pendapat pertama adalah dibolehkannya menggunakan tauriyyah dalam segala hal. Karena tauriyyah dibolehkan bukan sekedar dalam tiga kondisi diatas. Dan jika kita telaah, pendapat pertamapun membolehkan hal tersebut dengan dalil-dalil pada tauriyyah. Semua itu karena hakikat dari tauriyyah bukanlah dusta. Hal semacam ini sebenarnya tidak diingkari oleh pendapat kedua juga.

Hukum tauriyyah
Untuk memperjelas ulasan tersebut, perlu dan penting bagi kita untuk mengetahui hukum tauriyyah dalam Islam sebagaimana yang dijelaskan para ulama sehingga kita tidak sembarangan dan terjatuh dalam kedustaan.

Secara bahasa, tauriyyah adalah menyembunyikan sesuatu. Adapun makna secara istilah yaitu suatu ungkapan yang dipahami oleh orang yang diajak bicara yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara. Misalnya seseorang yang berkata, “Saya tidak punya uang satu rupiahpun di dompet saya.” Sehingga dipahami oleh yang mendengar bahwa ia tidak punya uang sedikitpun. Padahal yang dimaksudkan adalah dia benar tidak punya uang rupiah sepeserpun namun mempunyai uang seribu dolar di dalam dompet dia. Inilah yang disebut dengan tauriyyah atau ma’aridh.

Dalam syariat, hukum asal dari tauriyyah adalah boleh. Bahkan, ia dianggap sebagai jalan penyelesaian yang dibolehkan secara syar’i untuk menjauhkan seorang Muslim dari keadaan-keadaan bahaya atau genting pada kondisi tertentu. Terutama ketika seseorang diinterogasi dan dia tidak mau mengkabarkan sesuai dengan realita. Disisi lain, dia tidak mau berbohong atau berdusta. Hal ini dilakukan karena pentingnya masalah tersebut atau demi keselamatan jiwa yang mengancam.

Tauriyyah boleh dilakukan seseorang apabila ada kebutuhan mendesak dan adanya manfaat yang jelas secara syar’i. Dan tidak selayaknya dilakukan seorang Muslim secara terus-menerus bahkan menjadi kebiasaannya ketika berbicara. Begitu juga tauriyyah tidak boleh dilakukan untuk tujuan kedzoliman dan kemaksiatan. Jika demikian, maka hal tersebut termasuk kedustaan.

Dalam kitab al-Adzkaar, Imam Nawawi   berkata, “Apabila dibutuhkan tauriyyah karena adanya kebaikan yang jelas dalam agama untuk mengelabui lawan bicara, atau karena satu hal yang tidak bisa tidak kecuali harus melakukan tauriyyah, maka tidaklah mengapa. Dan apabila tauriyyah dilakukan tanpa ada alasan dan kebutuhan, maka hukumnya makruh bukan haram. Namun, jika tauriyyah menjadi sebab yang menghantarkan dalam kebatilan dan kedustaan serta mengambil hak orang lain, maka tauriyyah tersebut menjadi haram. Inilah batasan-batasan dalam bab ini.”

Beberapa ulama diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  , berpendapat tentang keharaman tauriyyah jika dilakukan tanpa ada kebutuhan dan manfaat secara syar’i.

Memang di dalam syariat tauriyyah dibolehkan. Namun, hendaknya seorang Muslim tidak melakukan tauriyyah kecuali dalam masalah sangat penting atau terdesak. Hal tersebut disebabkan karena pertimbangan dan perkara sebagai berikut:
  1. Memperbanyak tauriyyah menyebabkan seseorang terjerumus dalam kedustaan.
  2. Akan menyebabkan hilangnya kepercayaan dari teman-temannya. Karena masing-masing mereka akan ragu apakah ucapannya tersebut hakiki atau bermakna ganda. Hal inilah yang menyebabkan orang lain berpaling darinya karena takut akan berdusta.
  3. Ketika seseorang yang mendengar mengetahui perkara sebenarnya dan ternyata bertentangan dengan tauriyyahnya, maka pendengar mengetahui bahwa ia sebenarnya telah berdusta. Dan ini menyelisi dari maksud ber-tauriyyah.
  4. Membuka jalan ujub pada diri sendiri karena kepandaiannya mengelabui orang lain.
  5. Namun, adapula ulama yang menyamaratakan bahwa dusta dengan segala bentuknya merupakan hal yang buruk, karena di dalam al-Qur’an Alloh   telah mencela para pendusta. Pendapat itulah sebagaimana dalam pendapat kedua di atas.

HALAMAN SELANJUTNYA : 

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.