MAKALAH ISLAM NIH
MAKALAH SYARI'AT ISLAM
BAB I. PENDAHULUAN
1.1
Pendahuluan
Keistemewaan ajaran Islam
daripada ajaran agama lainnya adalah sisi universalitasnya. Ajaran-ajaran
samawi terdahulu, selalu ditujakan kepada kaum tertentu. Sedangkan ajaran Islam
diturunkan untuk seluruh umat, baik manusia ataupun jin (kaffah li al-alamin).
Telah dimaklumi, bahwa perundang-undangan manapun harus selaras dengan kondisi
dan relevansi pihak yang dibebani undang-undang tersebut. Umat Nabi Adam as
bisa merasakan kelonggaran syari’at berupa kebolehan menikahi saudara sendiri,
karena pada saat itu populasi manusia baru dari satu keturunan. Sedangkan umat
Nabi Musa as harus merasakan ketatnya syariat, karena dalam menghadapi Bani
Israel yang terkenal keras kepala, membutuhkan langkah-langkah preventif dengan
menerapkan undang-undang yang sekiranya dapat membuat mereka jera. Sedangkan
syari’at Nabi Muhammad saw (Islam) yang ditujukan untuk seluruh makhluk di
dunia ini, baik manusia atau jin, tentunya harus membentuk undang-undang
(syari’at) yang bisa diterima oleh semua kalangan.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian syariat ?..
2.
Apa prinsip-prinsip syariat ?..
3.
Bagaimana pandangan liberal mengenai syariat
?
4.
Apa tujuan syariat ?
1.3
Tujuan
1.
Dapat mengetahui dan memahami tentang syariat
islam.
2.
Dapat mengatahui penetapan dan prinsip-prinsip syariar
islam.
3.
Agar dapat mengetahui dan paham akan tujuan
ditetapkannya syariat islam.
2.1 PENGERTIAN SYARIAT
Pengertian Syariat menurut bahasa :
Secara bahasa syariat berasal dari kata syara’ yang
berarti menjelaskan dan menyatakan sesuatu atau dari kata Asy-Syir dan Asy
Syari’atu yang berarti suatu tempat yang dapat menghubungkan sesuatu untuk
sampai pada sumber air yang tak ada habis-habisnya sehingga orang
membutuhkannya tidak lagi butuh alat untuk mengambilnya.
Pengertian syariat secara istilah :
Menurut istilah, syariah berarti aturan atau
undang-undang yang diturunkan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan
Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam
semesta.
Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu
hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan,
ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan
ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh syariah Islam. Syariah
Islam mengatur pula tata hubungan antara seseorang dengan dirinya sendiri untuk
mewujudkan sosok individu yang saleh.[1]
Jika
ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul
islaamiyatu),berarti Syari’at Islam adalah hukum-hukum atau
peraturan-peraturan yang diturunkan Allah Subhaanahu wata’ala. untuk umat
manusia melalui Nabi Muhammad Salallohu alaihi wassalam, baik berupa Al-Qur’an
maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau
pengesahan.
Oleh sebab itu secara implisit dapat
dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum
menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya
itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam
Firman Alloh Subhaanahu wata’ala
:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”[2]
Allah Subhaanahu
wata’ala berfirman :
”Kemudian
Kami jadikan kamu berada diatas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu
ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”[3]
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak di izinkan
Allah?sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka
telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh
azab yang sangat pedih.”[4]
At Thahanawi juga mengemukakan definisi syariat yaitu :
“Syari’at ialah hukum-hukum yang
disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah
seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan sallallahu ‘ala nabiyyina
wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal perbuatan, maupun mengenai
akidah.”[5]
Syariat Islam mempunyai beberapa keistimewaan
yaitu :
1. Rabbaniyah yang
bermaksud bercirikan ketuhanan. ( Hukum/Peraturan ini datangnya dari Tuhan Pencipta yang sudah semestinya
yang terbaik untuk diikuti oleh makhluk ciptaanNya )
2. Syumuliyah yang bermaksud
lengkap. ( Peraturannya merangkumi segenap aspek kehidupan tanpa ada kekurangan
)
3. Alamiyah yang
bermaksud sejagat. ( Peraturannya sesuai untuk semua lapisan manusia tanpa
batasan masa atau geografi )
4. Kekal. (
Peraturannya dijamin terpelihara sehingga ke hari Kiamat )
5. Balasan duniawi dan
ukhrawi[6]
2.2 PRINSIP-PRINSIP SYARIAT ISLAM
PRINSIP-PRINSIP SYARIAT (TASYRI’)
DALAM AL-QURAN :
A. Tidak
Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
Dalam menetapkan
syariat Islam, al-Quran senantiasa memperhitungkan kemampuan manusia dalam
melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan kemudahan dan kelonggaran (tasamuh
wa rukhsah) kepada mansusia, agar menerima ketetapan hukum dengan
kesanggupan yang dimiliknya.
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا …
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…
(QS. Al-Baqarah: 286)
Al-Syatibi mengatakan bahwa kesanggupan manusia merupakan syari’at hukum mutlak dalam menerima ketetapan hukum syari’at. Ketetapan hukum yang tidak terjangkau oleh kemampuan manusia melihat prinsip ini tidak sah ditetapkan kepada manusia. Hal ini telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama, baik dari kalangan Mu’tazilah (rasionalis) maupun sebagian pengikut Asy’ariah (Sunni tradisionalis).
Dalam menetapkan hukum, Allah Subhaanahu wata’ala. Senantiasa
memperhitungkan kemampuan manusia dan memperhitungkan manfaat dan madlarat yang
mungkin ditimbulkan sebagai konsekwensi logis dari pelaksanannya. Karena itu, Abu
al-A’la al-Maududi menyebutkan, “Allah membuat undang-undang
syari’at untuk mengharamkan sesuatu atas manusia yang membawa ekses negatif
(madlarat) dan menghalalkan sesuatu yang mendatangkan dampak positif (manfa’at)”.
Namun bukan berarti dalam al-Quran tidak ada ketetapan
hukum yang sulit dalam pelaksanaannya. Sebab menurut al-Syatibi, hukum
sendiri merupakan beban, sehingga kesulitan umum yang biasa dialami masyarakat,
misalnya sulit mencari nafkah, tidak termasuk dalam kategori ‘adam al-haraj
diatas.Karena kesulitan yang sifatnya seperti itu tidak lain timbul dari
kemalasan atau belum adanya keberuntungan
Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam bearamal.
Disinilah pentingnya pembedaan antara musyaqqah (kesulitan) ditinjau dari kacamata syari’at dan musyaqqah menurut kebiasaan umum. Sebab musyaqqah versi masyarakat seringakli dijadikan dalih untuk meremehkan kewajiban agama, sikap mencari-cari kemudahan dalam bearamal.
B. Mengurangi
Beban (Taqlil al-Taklif)
Prinsip kedua ini
merupakan langkah prenventif (penanggulangan) terhadap mukallaf dari
pengurangan atau penambahan dalam kewajiban agama. Al-Quran tidak memberikan
hukum kepada mukallaf agar ia menambahi atau menguranginya, meskipun hal
itu mungkin dianggap wajar menurut kacamata sosial. Hal ini guna memperingan
dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia pada umumnya, agar tercipta suatu
pelaksanaan hukum tanpa didasari parasaan terbebani yang berujung pada
kesulitan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ (١٠١)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, niscaya akan menyusahkan kalian....(QS. al-Maidah: 101)
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kronologi turunnya ayat ini adalah
ketika Nabi sedang berpidato di hadapan umatnya, tiba-tiba seorang diantara
mereka bertanya, “Siapakah bapakku?”. “Si Fulan!” Jawab Nabi. Ada pula
yang bertanya, “Siapakah nama ayahku?” atau “Di mana untaku?”
kemudian turunlah ayat di atas sebagai teguran atas pertanyaan-pertanyaan yang
tidak perlu. Bahkan mungkin bisa menyusahkan si penanya sendiri. Karena,
jawaban yang akan ia terima merupakan baban dari si penanya sendiri. Padahal
prinsip agama adalah pengurangan terhadap beban. (taqlil al-taklif).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Nabi ketika menerima ayat al-Quran
menafsirkan sesuai kebutuhan masyarakat pada saat tiu. Sedangkan yang tidak
dibutuhkan didiamkan saja, dengan maksud nantinya ayat-ayat tersebut dapat
ditafsiri sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi di masyarakat pada
masa yang akan datang. Prinsip ini telah disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya
Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka janganlah kalian
menyia-nyiakannya. Dan dia telah menetapkan ketentuan-ketentuan, maka janganlah
kalian melampauinya. Dia juga telah mengharamkan beberapa hal, maka janganlah
kalian merusaknya, serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat buat
kalian, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membicaraknnya.”
C. Penetapan
Hukum secara Periodik
Al-quran merupakan
kitab suci yang dalam prosesi tarsi’(penetapan hukum)’ sangat memperhatikan
berbagai aspek, baik natural, spiritual, kultural, maupun sosial umat. Dalam
menetapkan hukum, al-Quran selalu mempertimbangkan, apakah mental spiritual
manusia telah siap untuk menerima ketentuan yang akan dibebankan kepadanya?.
Hal ini terkait erat dengan prinsip kedua, yakni tidak memberatkan umat. Karena
itulah, hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara serta merta dengan
format yang final, melainkan secara bertahap, dengan maksud agar umat tidak
merasa terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya, wahyu al-Quran
senantiasa turun sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan kami kemukakan tiga periode tasryi’
al-Quran;
Pertama, mendiamkan, yakni ketika al-Quran hendak melarang sesuatu, maka sebelumnya tidak menetapkan hukum apa-apa tapi memberikan contoh yang sebaliknya. Sebagai contoh, untuk menetapkan keharaman minuman khamr. Sebagai langkah pertama, yang dilakukan syari’ (Nabi Muhammad Sallahu alaihi wassalam) adalah mendiamkan kebiasaan buruk, akan tetapi Nabi sendiri menghindarinya.
Kedua,
menyinggung manfat ataupun madlaratnya secara global. Dalam contoh khamr
di atas, sebagai langkah kedua, turun ayat yang menerangkan tentang manfaat dan
madlarat minum khamr. Dalam ayat tersebut, Allah menunjukkan bahwa efek
sampingnya lbih besar daripada kemanfaatannya (QS. Al-Baqarah: 219) yang
kemudian segera disusul dengan menyinggung efek khamr bagi pelaksanaan
ibadah (al-Nisa: 43)
Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir (QS.al-Maidah: 90)
Ketiga, menetapkan hukum tegas. Dalam contoh tersebut, Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) menetapkan hukum haram minum khamr secara tegas, sebagai langkah yang paling akhir (QS.al-Maidah: 90)
Demikian juga dalam menetapkan hukum yang bersifat perintah. Kewajiban
shalat misalnya. Tahap pertama terjadi permulaan Islam (di Mekah), di saat umat
Islam banyak menuai siksaan dan penindasan dari penduduk Mekah, kewajiban
shalat hanya dua raka’at, yaitu pada pagi dan sore. Itu pun dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, khawatir terjadi penghinaan yang semakin menjadi-jadi dari
suku Qurasy.
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِ (٣٩)
“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah (shalatlah) sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya)”)Q.S Qaf : 39)
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَالإبْكَارِ (٥٥)
“Maka bersabarlah kamu, karena Sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah (shalatlah) seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi” (Q.S al-Mu’min: 55)
Ketika penderitaan umat telah menyurut dengan dicabutnya pemboikotan atas
Bani Hasyim, dumulailah tahap kedua pelaksanaan shalat. Hal itu dimulai setelah
peristiwa Isra’ dan Mi’raj dimana Nabi membawa perintah dari
Allah swt. Untuk melaksanakan shalat lima waktu. Dalam hal ini Nabi bersabda, “Pada
Malam Isra’ Allah swt, mewajibkan kepada umatku lima puluh shalat. Tak
henti-hentinya aku meminta keringanan, hingga kemudian kewajiban itu menjadi
lima (kali) dalam sehari semalam.
Perintah dalam ayat tersebut kemudian dijabarkan secara jelas oleh Nabi
sebagai kewajiban shalat lima waktu, sebagaimana perintah Nabi ketika mengutus
Mu’adz ibn Jabal ke Yaman, “Kabarkan kepada mereka (penduduk Yaman),
bahwasannya Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam
sehari semalam.”
Akkhirnya ketika umat Islam telah mulai merasakan ketenangan di negeri
baru mereka, Madinah, turunlah kewajiban-kewajiban yang sifatnya lebih
terperinci, yaitu dimulai dengan syarat-syarat shalat berupa wudlu dan tayamum
(QS. Al-Maidah: 6), serta rukun-rukn (teknis) pelaksanaan shalat. Teknis
pelaksanaan shalat sendiri merupakan cara yang diajarkan oleh Nabi saw. Beliau
bersabda, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.
D. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
Manusia adalah obyek dan subyek legislasi hukum al-Quran. Seluruh hukum
yang terdapat dalam al-Quran diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan
kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan, gama, maupun pengelolaan
harta benda, sehingga penerapan hukumnya al-Quran senantiasa memperhitungkan
lima kemaslahatan, di situlah terdapat syariat Islam.
Islam bukan hanya doktrin belaka yang identik dengan pembebanan, tetapi
juga ajaran yang bertujuan untuk menyejahterakan manusia. Karenanya, segala
sesuatu ini merupakan fasilitas yang
berguna bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya. ‘Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam membentuk hukum, Syari’
(Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat illat (ratio logis) yang berkaitan dengan
kemaslahatan manusia, juga menunjukkan bebrapa bukti bahwa tujuan legislasi
hukum tersebut untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Di samping itu, Syar’i
menetapkan hukum-hukum itu sejalan dengan tiadanya illat yang mengiringinya.
Oleh karena itu, Allah mensyariatkan sebagian hukum kemudian merevisinya karena
ada kemaslahatan yang sebanding
Dengan hukum tersebut.
E. Persamaan dan Keadilan (al-Musawah wa
al-Adalah)
Persamaan hak di muka adalah salah satu prinsip utama syariat Islam, baik
yang berkaitan dengan ibadah atau muamalah.
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ…
… Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, supaya kamu menetapkan dengan adil.... (QS. Al-Nisa: 58)
Prinsip persamaan hak dan keadilan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam menetapkan hukum Islam. Keduanya harus diwujudkan demi pemeliharaan martabat manusia (basyariyah insaniyah)[7]
2.3 PANDANGAN ORANG LIBERAL MENGENAI
SYARIAT ISLAM
Faraj
Fawdah, seorang tokoh liberal Mesir, dalam salah satu acara debat
pernah menyatakan: “Secara sederhana saya menolak penerapan Syariat Islam,
apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step… karena saya melihat dalam
penerapan Syariat Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama)…
barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima
applikasi Syariat Islam… dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan
Syariat Islam.” (Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syari’ah, h.14).
Bagi kaum
Muslim, penerapan Syariat Islam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, baik
secara pribadi, keluarga, masyarakat, maupun negara. Ibadah shalat, zakat,
haji, pernikahan, perdagangan, dan sebagainya, adalah sebagian aspek kehidupan
yang terikat erat dengan syariat. Namun, harus diakui, ada saja sementara orang
Muslim sendiri yang syariat-fobia.
Diantara
sebagian argumen yang dikemukakan untuk menolak syariat Islam adalah bahwa
hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan responsif terhadap
perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam dikandung dalam al-Qur’an dan dielaborasi
oleh oleh para faqih dan mufassir sudah ketinggalan zaman; ia tidak dapat
menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia hari ini. Padahal, kata
mereka ‘kemaslahatan’ merupakan tujuan dan asas dari Syariat itu sendiri.
Apabila sesuatu hukum itu tidak lagi mampu menciptakan kemaslahatan, maka sudah
selayaknya ditinggalkan saja dan diganti dengan hukum lain yang lebih dapat
mewujudkan kemaslahatan. Untuk memperkuat argumen ini mereka gunakan teori
‘Maqasid syariah’ yang dikembangkan dan dipopularkan oleh al-Syatibi.
Dengan kata
lain hukum-hukum yang terkadung dalam al-Qur’an itu sangat dipengaruhi dan
dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika itu. Sistem hukum yang dibangunnya
pun adalah merefleksikan sturuktur sosial-budaya, serta ekonomi dan politik
masyarakat abad ketujuh. Berdasarkan hal ini, katanya, maka adalah salah
besar bagi mereka untuk mengadopsi dan selanjutnya mengaplikasikan hukum ini
pada zaman sekarang, karena ia sudah tidak sesuai lagi.
Kedua, —
masih berhubungan dengan argumen pertama – digunakannya prinsip Maqasid
Syari’ah. Banyak kaum liberal berpendapat bahwa setiap hukum yang diperintahkan
Allah mempunyai tujuan/maqasid utama. Tujuan itu adalah kemaslahatan manusia.
Kata Fazlur Rahman: “The Qur’an always explicates the
objectives or principles that are the essence of its law.” (1979:154).
Seorang
cendekiawan Indonesia, murid Fazlur Rahman pernah berendapat, bahwa bagi
mayarakat Arab, hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi penzina dapat
menciptakan kemasalahatan bagi masyarakat ketika itu. Karena dalam masyarakat
yang kasar dan ganas, katanya, hukuman seperti itulah yang pantas dan layak
untuk dilaksanakan. (Abdullah Saeed, 1997:286). Muhammad ‘Abid al-Jabiri
menulis, bahwa “(hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional yang sangat
tepat untuk masyarakat baduwi padang pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan
nomadik.” (1996:171).
2.4 Nash dan Tujuan Syariat
Ulama
bersepakat, bahwa antara nash dan tujuan (maqasid), tidak dapat dipisahkan. Imam
al-Ghazali yang kemudian mensistemasikan Maqasid Syariah ini menjadi tiga
kategori: daruriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa’ al-Ghalil, h.
161-172). Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi. Dalam
tulisannya, dia menyatakan bahwa: “Hal ini (maksudnya maslahah) mestilah
menjadi bagian dari Syariat, karena tujuan utama seluruh hukum yang
diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan
(masalih).” (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang
sama: “Bahwa Shariat hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan
kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20: 48).
Pergantian
masa tidak lantas menjadikan konsep kemaslahatan ini berubah. Ia tetap menjadi
pegangan para ahli hukum Islam dan aktivis Islam kontemporer dalam menjabarkan
kandungan Syariat Islam. Disinilah letak kekeliruan kaum esensialis yang secara
membabi buta menuduh kelompok pro-Syariat sebagai literalis yang mengorbankan
prinsip maqasid.
Muhammad
Qutb menulis: “Pemimpin yang dipercaya mestilah berbuat sesuai dengan
(prinsip) mashalih al-mursalah agar supaya dia tidak mengetepikan tujuan akhir
Syariat (Maqashid al-Syari’ah). Pemimpin berhak untuk beradaptasi dengan
berbagai isu yang berubah seiring dengan perubahan waktu dan tempat. Akan
tetapi dia hendaklah berpegang pada (prinsip) maqasid sebagai standar hukum
dalam membuat keputusan.” (1991:39).
Menurut al-Qaradawi:
“Adapun nas yang secara transmisi dan makna qath’iy tidak mungkin bertabrakan
dengan maslahah qath’iyah. Karena sesama qath’iyyat tidak mungkin berlaku
kontradiksi” . Berdasarkan keyakinan inilah tak seorang ulama pun yang berani
mengatakan hukum hudud, qisas, waris, jilbab, dan seterusnya tidak relevan lagi
pada saat sekarang ini karena bertentangan dengan maslahah manusia.
Anggapan
bahwa hukum hudud tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia hari ini
telah ditepis oleh banyak penulis. Sa’id Ramadan al-Buti menjelaskan bahwa salah satu unsur penting
dari sesuatu hukuman adalah al-qaswah (keras). Kalaulah unsur ini hilang
niscaya hilanglah makna sesuatu hukuman. Perlu diingat bahwa kekejaman hukuman
itu sesuai dengan kekejaman yang dilakukan oleh si kriminal (the principle of
retribution). Dengan begitu prinsip keadilan yang merupakan salah satu maqasid
Syari’ah sudah terpenuhi.
Imam
Syatibi, tokoh yang mempopularkan teori Maqasid, dalam al-Muwafaqat,
menyatakan: “Tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan Allah
secara jelas dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf (orang dewasa)
berbeda-beda. Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi
baik sehingga dikatakan misalnya: bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi
aib atau sesuatu yang buruk, dan oleh sebab itu wajar untuk dibolehkan. Atau
semisal ini. Andaikan hal ini diterima, maka ia merupakan penasakhan
(penghapusan) terhadap hukum yang sudah tetap dan kontiniu. Dan nasakh sesudah
wafatnya Rasullah adalah sesuatu yang batil.” (Al-Muwafaqat, ed. Muhammad
Muhyiddin ‘Abdul Hamid, 2:209)[8]
Itulah
prinsip-prinsip pemikiran syariat Islam. Tentu, dalam aplikasinya, banyak
syarat-syarat dan kebijakan yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan
syariat itu sendiri. Kadangkala, karena salah paham, muncul syariat-fobia,
ketakutan yang berlebihan terhadap syariat. Hukum qishas, misalnya, meskipun
tegas dan keras, tetapi disertai dengan konsep ampunan dari ahli waris – konsep
yang tidak dijumpai dalam hukum Barat. Hukum potong tangan, hanya bisa
diterapkan dengan syarat-syarat dan batas yang ketat. Orang yang mencuri karena
keterpaksaan akibat lapar, tidak dikenai sanksi hukum. Hukum rajam,
mensyaratkan adanya empat saksi yang langsung menyaksikan peristiwa zina, dan
ini teramat sulit dipenuhi.
Yang lebih
penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan, dan
pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu
penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan
juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab.[9]
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Syariat adalah hukum-hukum (peraturan) yang
diturunkan Allah Subhaanahu wata’ala. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk
manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terangnya cahaya hidayah, dan mendapatkan petunjuk ke
jalan yang lurus.
Prinsip
dalam syariat diantaranya adalah :
a. Tidak
Mempersulit (‘Adam al-Haraj)
b. Mengurangi
Beban (Taqlil al-Taklif)
c. Penetapan
Hukum secara Periodik
d. Sejalan
dengan Kemaslahatan Universal
e. Persamaan
dan Keadilan (al-Musawah wa al-Adalah)
Pandangan orang liberal
bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan responsif terhadap
perkembangan zaman. Berdasarkan hal
ini, katanya, maka adalah salah besar bagi mereka untuk mengadopsi dan
selanjutnya mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang, karena ia sudah
tidak sesuai lagi.
Pandangan orang liberal
tersebut adalah bathil karena Tujuan syariat menurut Fakhruddin al-Razi dalam tulisannya, dia
menyatakan bahwa: “ tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah
untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (masalih).” (Al-Mahsul, 1992,
6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: “Bahwa Shariat hadir untuk
menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.” (Majmu’ Fatawa, t.t., 20:
48).
Yang lebih
penting, konsep syariat Islam lebih mengedepankan konsep keadilan, dan
pencegahan, ketimbang sanksi hukuman. Pada akhirnya, sukses-tidaknya suatu
penerapan hukum, juga ditentukan oleh kualitas takwa para hakim, penguasa, dan
juga rakyat. Wallahu a’lam bil-shawab.
DAFTAR
PUSTAKA
http://ustwan77.blogspot.com/2012/02/21-konsep-syariat.html. 21.00 / 01 november 2012
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin21.05 01/ november 2012
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin.
21.05 / 01 November 2012
http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2071352-pengertian-syariah/#ixzz2BXl2KqoQ 20.40 / 8 november 2012
[1] http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2071352-pengertian-syariah/#ixzz2BXl2KqoQ 08 november 2012 / 20.46
[2] Q.S
al-maidah (5) : 101
[3] Q.S
Al-jatsiah (45) : 18
[4] Q.S Asy
syuura (42) : 21
[5]
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin
[7]
http://milaisma.blogspot.com/2009/12/prinsip-prinsip-syariat-tasyri-dalam-al.html
[8]
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin
[9]
http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=283:syariat-islam-dan-tantangan-zaman&catid=11:nirwan-syafrin
Tidak ada komentar
Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.
Salam : Admin K.A.