MAKALAH SASTRA NIH
JARH WA TADIL ULUMUL HADITS
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohiim
Assalamu’alaikum
warohmatullohi wa barokaatuh
Segala
puji dan syukur kehadirat Alloh ‘azza wajala Robb semesta alam karena atas
hidayah dan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik,
insya Alloh
Sholawat
serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wasalam serta
segenap keluarga dan sahabatnya serta para pengikutnya yang setia hingga akhir
zaman.
Makalah
ini membahas tentang jarh wa ta’dil, mudah-mudahan bisa bermanfa’at bagi ikhwan
yang lain, meskipun dalam penyusunannya jauh dari kesempurnaan, akan tetapi
tanpa mengurangi rasa hormat kami penyusun juga mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun baik dari dosen mata kuliah maupun dari mahasiswa
sekalian.
Kesempurnaan
dan kebenaran itu hanya dari Alloh ‘azza wajala sedangkan kesalahan dan
kekurangan adalah dari manusia kami pribadi.
Wassalamu’alaikum
warohmatullohi wabarokaatuh
Bogor,
september 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.PENGERTIAN
Jarh menurut
bahasa artinya: melukai1
Jarh menurut
istilah ilmu hadits artinya: Menunjukan atau membayangkan kelemahan, celaan, atau cacat seorang
rawi, atau melemahkan dia, maupun semua itu benar ada pada diri si rawi atau
tidak.
Ta’dil menurut
bahasa artinya: meluruskan, membetulkan, membersihkan.2
Ta’dil menurut
mustholah hadits artinya: Menunjukan
atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi maupun semua itu benar
ada pada diri rawi atau tidak.
Pembagian
al-jarh, menjadi 3 macam:
1.
Jarh
yg tidak beralasan
2.
Jarh
yg tidak diterangkan sebabnya
3.
Jarh
yg disebut sebabnya.
Beberapa contoh
dari jarh:
·
Jarh
yg tidak disebutkan alasannya atau jarh yang
masih gelap, belum dapat diterima dan dianggap untuk melemahkan Si
rawi,
Contoh:
- bakr bin ‘amr abush-shiddiq an-naji, kata
ibnu hajar: “ibnu sa’ad ada
membicarakan diri bakr dengan tidak beralasan.
- ‘abdurrohman bin yazid bin jabir al-azdi,
berkata ibnu hajar: “ia dilemahkan oleh al-fallas dengan tidak berketerangan”
Adapula orang
berkata “’ulama itu melemahkan rawi anu”, padahal keterangan yang
‘ulama lemahkan itu tidak sah atau dengan kata lain menjarh dengan tidak
beralasan.
·
Jarh
yg tidak diterangkan sebabnya, seperti seorang berkata: “si
anu lemah” dan lain –lain yg seumpamanya , dengan tidak disebut atau diketahui
sebab Si
rawi dianggap lemah atau diketaui sebab si rawi dianggap lemah atau tidak kuat.
Contoh:
-‘abdul ‘aziz bin ‘abdillah al-uwaisi: Zada yg
berkata bahwa abu dawud melemahkan dia, tetapi tidak dibantah oleh ibnu hajar
bahwa keterangan abu dawud ada melemahkan dia itu, tidak sholeh, bahkan menurut
kitab khulashoh tahdzibul kamal, abu dawud menganggap dia sebagai seorang kepercayaan.
1)
Bahwa
apabila dalam kitab tsb, “imam anu melemahkan rawi anu” sedang tidak ada orang
lain yg mencela si rawi itu, hendaklah
kita menyusul keterangan tentang iman
itu melemahkannya “.
Pembicaraan yang keduainiadalahtentang “jarh yang tidakditerangkansebabnya”
Jarh yang tidakditerangkansebabnyaitusepertiseseorangberkata :” sianulemah.”
, “sianutidakkuat” dll yang seumpamanya,
dengantidakdisebutataudiketahuisebabsirawidianggaplemahatautidakkuatitu.
Makajarh yang tidakditerangkansebabnyaitutidakdapatditerimakarenagelap.
Mungkinjuga, orang yang
menganggap seseorang rawi lemah, bilamanaianyatakansebabnya,
tidaklahmenjadicacatan yang sebenarnya atas si rawi itu.
Contoh-contohnya seperti:
1. Abdul Malik bin Shubbah Al-Misma’ih Al- Bahsri: ada orang meriwayatkan, bahwa al-
Kholilipernahberkata: “ adalah Abdul Malik tertuduh “ mencurihadits “ . kataIbnuHajar:”
inisatujarh yang tidakterang” .
Dikatakantidakterangkarena al-Kholilitidakmenunjukanjalantuduhannya.
2. Yazid bin AbiMaryam Ad-Dimisyqi : tentangdirinya, Ad
Daruquthniberkata :”diatidakkuat”. IbnuHajarberkata:” inisatujarh yang
tidakditerangkansebabnya”.
BahkanYaziditudianggapkepercayaanolehIbnuMa’in,
Duhaimdll Imam.
Selainduacontohiniadabanyaklagi yang demikian.Jadi,
semata-matasebutan “ dialemah” , “ diatidakkuat” ,
dengantidakditerangkansebabnya, atautidakbisadiketahuisebabnya, belumlahsirawiteranggaplemah,
atautidakkuat.
Yang ketigaini,
ialahtentang “ jarh yang disebutsebabnya”.
Di pembicaraan yang lalu, sudahsayategaskan, bahwatiap-tiapcelaandancacatanatasdiriseseorangperawi,
mestiadasebabnya.
Sebab-sebab yang ulamagunakandalam men-jarhrawi-rawibertingkat-tingkat.
Denganmengetahuisebab-sebabitu ,dapatkitamengukurderajatkelemahanseseorangperawi.
Berikutinisayatunjukanbeberapasifat yang menyebabkanseorangrawitercelaataudianggaplemah,
sehinggariwayatnyatidakbolehditerima,:
1. Dusta, bahasaarabnya: Kizib. Orang yang
berdustadikatakanKaadzib. Kalau orang ituseringberdusta, disebut: Kadz-dzabatauDajjal.
Contohnyaseperti:
a. Sulaiman bin Amr Abu Daud An-Nasakhi: kata
Imam Bukhori: KutaibahdanIbnuIshaqberkata: “ Sulaimanituterkenalpendusta”.
Perkataaninimemangbenar,
karenasalahsatusebabanya: Imam Ahmad bin Hanbalberkata: “akupernahdatangkepadanya
(Sulaiman) makaiaberkata : “telahmenceritakankepada kami, Yazid , dariMakhul :
dantelahmenceritakankepada kami, Yazid bin AbiHubaib . . .”
laluakubertanyakepadanya: “dimanaengkaubertemudia? (Yazid bin
AbiHubaib”iamenyebut :”hai orang yang dungu!
Akutidakmengatakanadamenerimariwayatdari dia. . . .”.
Ringkasnya
:SulaimanpernahberkatabahwaYazid bin AbiHubaibadamenceritakankepadanya , tetapiwaktuditanya:
“dimanaengkaubertemudia ?” , iajawab,bahwaiatidakberkata yang
Yazidadamenceritakankepadanya .
Dari hikayatdiatasdapatkitaketahui,
bahwaSulaimanmemangpendusta.
b. Sahl bin A’mmarAn-Naisaburi :berkataIbnuSahl
bin A’mmar: “iamenghampirisayadenganberdusta, yakniiaberkata:
“akupernahmenulisbersamaengkaudisisiYazid bin Harun”.
IbnuSahlberkata:”
demi Allah ,iatidakadamendengarkanhaditsbersamaku, dariYazid bin Harun”.
Penjelasan
Disinihendaksayaterangkanbeberapahal
yang berhubungdengan“ dusta”:
1. Sebenar-benarartidustaitu, ialah :”
sengajamenceritakansesuatuberlainandengan yang terjadi”.
Tetapiadajuga“
dusta“ yang bermakna: “ menceritakansesuatu yang berlainandenganmestinya , maupun
yang sengaja, lantaranlupaatausalah”.
Berkataasy-Syaikh
Muhammad Zaid Al-Kautsari ,dalamta’liqnyaataskitabSuruuthil-A-Immatil-Khamzah,
halaman 32”
“rawi-rawi
yang disandarkankepadaberdustadalamkitab-kitab” jarhdanta’dil”,
terkadangtidakdenganmakna yang dimaukandisini , karena orang yang waham,
lagisalahitudikatakanKazdib, karenakhabarnyatidakcocokdengankejadian, laluiasandarkankepadapendusta,
karenawahamnya: terutama pula padabahasa orang madinah”.
Jadi
:tidaktiap-tiaprawi yang dikatakan “ kadzab “ itu , mestidustabetul-betul.
2. Berkata imam muslim: “keluardustadarimulut
orang soleh , tetapimerekatidaksengajaberdusta “, maksudnya : seringterbitdari
orang-orang solihriwayat-riwayat yang teranggapdusta , karenasalahdankelirudalammeriwayatkannya.
Kesalahandankekeliruaninitimbullantaranmerekatidakmengertiurusanhadits,
lalumerekakhabarkanapa- apasaja yang didengarnya, sehinggaterjadikesalahan.
Contohnyaseperti:
a. Sholih bin BasyirAl-Murri : Hammad bin
SalamahdanHammamberkata , bahwaiaberdusta, padahaliaseorang yang sangatsholih ,
lagisangattakutkepada Allah
b. Ikrimah Abu Abdillah ,MaulaIbni Abbas :
orang tuduhdanberkata: “”iaberdusta”.
Tuduhandanperkataanmerekaitu,
semuatidakberalasan , bahkansebaliknyabanyak yang memuji dia. Karenaini , dusta
yang disandarkankepadaIkrimahitu, mestidianggapdenganmakna “ salah” .
3. Ada jugarawidianggapberdustalantarandifahamdariomongannya.
Umpamanya:mula-mulaseorangmenceritakansatuhaditsdariseorang.
Pada kali yang keduaiamenceritakandari orang lain, pada kali yang ketiganyadari
orang lain lagi.
Makadariketigamacamomongannya,
orang faham, bahwaiaberdustapadahalbelumtentuiaberdusta.
Tigamacamomonganitu,
bisakitadudukan, bahwaiamenceritakantigamacamsanaditu,
karenaiaadadengardaritiga orang.
2. Salah
Contohnya, aghlab bin ata ibnu hiban ia terkeluar dari golongan
dijadikan hujjah karena banyak salahnya.
3.
Lalai
(ghoflah),
Contoh: juhair bin malik abul wazi berkata: ahmad pada dirinya
(zuhair) terdapat kelalaian yang sangat.
4.
Dungu
(bodoh)/ mughoffal,
Contoh: rukain bin abdil ‘ala : kata jarir bin abdil hamid:
“bukanlah ia seorang yang boleh diambil hadits daripadanya; adalah ia seorang
yang dungu.
5.
Menyalahi(mukholafah),
Contoh: yazid bin hayyan an nabthi: berkata ibnu hibban: “ia
berbuat salah dan menyalahi”.
6.
Fisq
(tidak ta’at atau fasiq)
Contoh: ibrahim bin hudbah al-farisi: kata bisyr bin ‘umar
“disebelah rumah kami pernah ada perkawinan. Maka diundang abu hudbah, kawan
anas itu; ia makan, minum, dan mabuk lalu menyanyi.”
7.
Tidak
dikenal (majhul)
Contoh: hamman dan humaid bin abdirrahman al-ku’fi kedua-duanya
tidak dikenal.
8.
Buruk
hafalan, yakni “jelek hafalan” (su-ul hifzhi)
Contoh: al-hashim bin ‘abdirrahman as-salmi abul hudzail al-kufi:
berkata abu hatim: “hafalannya” jadi buruk pada akhir umurnya”. Orang yang
jelek hafalannya di waktu tuanya, buruknya itu berkekalan, dan tambah tua,
tambah sangat.
9.
Talqin
artinya: mengajar,
Contoh: ‘abdurrozzaq bin hamman bi nafi’ al-himyari ash-sha’ani:
adalah ia seorang hafizh yang kepercayaan. Diakhir umurnya, ia jadi buta, lalu
menerima talqin.
10.
Kehilangan
kitab
orang yang biasanya meriwayatkan hadits dari
kitabnya, karena ia bukan hafizh, lalu kitabnya itu hilang, kalau ia ceritakan
dari hafalannya tertolaklah haditsnya, karena kekuatan hafalannya meragukan.
Contoh: ‘abdurrozzaq bin ‘umar ats-tsaqof: i abu bakar ad-dimisyqi:
kata daruthni: “ia lemah lantaran kitabnya hilang”.
11.
Ikhthilath
artinya bercampur.
Seorang rawi yang berubah
akalnya maka omongannya antara satu dengan yang lain banyak yang mencampur,
karena ia tidak tau dan tidak sadar. Sesuatu yang timbul dari tidak tahu dan
tidak sadar, tidak dapat diterima karena meragukan.
Oleh sebab ini, riwayat orang yang berubah akalnya tidak dapat
diterima.
12.
Tadlis
artinya menyamarkan
13.
Bukan
ahli
Contoh: farqod as-sinjii abu ya’qub adalah dia seorang zahid di
negeri bashrah kata ‘ayub” ia bukan ahli tentang hadits.
14.
Bersendiri
dalam meriwayatkan
Contoh: sammak bin harb abdul mughiroh al-hadzali: adalah seorang
ahli ilmu yang benar, lagi masyhur tetapi berkata nasa’i “apabila ia berdiri
sendiri dalam meriwayatkan hal pokok-pokok (agama), tidak boleh dianggap karena pernah orang “talqin”,
dia lalu ia terima talqin itu.”
15.
Mempermudah
(tasahul)
Contoh: ahmad bin kamil bin syajarah al-qodhi al-baghdadi
al-hafidzh. Kata daruquthni adalah ia adalah seorang yang mempermudah, ia
pernah berpegang kepada hafalannya, lalu salah.
SEBAB-SEBAB
TIMBULNYA JARH
Jarh itu ada
yang boleh diakui dan ada yang tertolak. Jarh yang mesti ditolak, timbulnya
karena beberapa sebabdan hal yang sebenarnya tidak patut dijadikan alasan
menjarh.
Imam
Daqiqul-‘Id berkata: “jalan yang menyebabkan orang-orang dahulu menjarh seorang
rawi, ada lima”:
1.
Karena
hawa nafsu, dan karena sesuatu maksud
2.
Karena
berlainan kepercayaan
3.
Karena
berselisihan antara ahli tashawwuf dan ahli zhahir
4.
Karena
omongan yang terbit karena tidak tahu tingkatan ilmu-ilmu
5.
Berpegang
dengan samar-samar serta tidak ada wara (bid’ah).
Karena lima
macam hal ini, kita dapati beberapa banyak rawi yang tercela atau tercacat, dan
karena ini pula banyak ‘ulama yang tidak mau menerima riwayat orang-orang yang
di jarh itu.
Hal-hal yang
dianggap jarh padahal belum tentu
·
Bid’ah,
maksudnya madzhab
·
Berlainan
menyampaikan
·
Tidak
enak perasaan, berhubung dengan sesuatu hal
·
Tidak
suka (kepadanya)
·
Permusuhan
·
Mengambil
upah (rawi’ yang mengambil upah dari raja-raja, atau mengambil upah dalam
urusan hadits, maka riwayatnya tidak boleh diterima)
·
Macam-macam
hal (yang kurang jelas).
AT-TA’DIL
Ta’dil menurut
bahasa artinya meluruskan, membetulkan, membersihkan
Ta’dil menurut
mustholah hadits ialah menunjukan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan
seorang rawi maupun semua itu benar ada pada diri rawi atau tidak.
BAGIAN 1
Sifat-sifat
yang harus dimiliki seorang rawi
1.
Muslim
2.
Baligh
3.
‘aqil
4.
Benar
5.
Kepercayaan
6.
Amanat
7.
Tidak
mengerjakan maksiat
8.
Sedar
9.
Hafazh
(dengan hafalan atau dari kitabnya)
10.
Tidak
dungu
11.
Tidak
sangat pelupa
12.
Tidak
berubah akalnya
13.
Tidak
suka salah sangat
14.
Tidak
sering menyalahi orang lain dalam meriwayat
15.
Orangnya
dikenal oleh ahli hadits
16.
Tidak
menerima “talqin”
17.
Tidak
suka mempermudah
18.
Bukan
ahli bid’ah yang menjadikan kekufuran.
BAGIAN 2
Sifat-sifat:
muslim, baligh, ‘aqil, dan tidak mengerjakan maksiat itu, disebut: “ ’adalah”
Orangnya
dikatakan ‘adil (adel)
Sifat-sifat:
sedar,hafazh, tidak dungu, dan tidak sangat pelupa, dinamakan “dhabt”
Orang yang
bersifat demikian dikatakan “dhabith”.
BAGIAN 3
Sifat-sifat
‘adalah bagi tiap-tiap seorang rawi itu, bisa diketahui dari tiga jalan:
1.
Diterangkan
oleh seorang kepercayaan, bahwa rawi anu adel,
2.
Tersebut
nama rawi ‘adel itu dalam golongan
tarikh orang-orang kepercayaan
3.
Karena
masyhur dan tersiar namanya, seperti: malik, syafi’i, abu hanifah, dll.
BAGIAN 4
Tiap-tiap
seorang rawi hendaklah bersifat dengan 18 sifat yang telah tercantum pada
bagian 1.
Kalau kurang
satu saja dari 18 sifat itu belumlah boleh diterima riwayatnya.
BAGIAN 5
Untuk menta’dil
seseorang rawi, tidak mesti dari 2 orang atau lebih. Boleh dari seorang, asal
ia ‘adel lagi ‘arif. Dalam menta’dil, tidak disyaratkan menyebut sebabnya,
karena tentang sebab-sebab seseorang terpuji itu, tidak ada perselisihan
diantara manusia. Berlainan dengan “jarh”: satu hal yang seorang anggap “jarh”,
belum tentu jadi “jarh” bagi orang lain. Karenanya dalam menjarh perlu disebut
sebabnya.
BAGIAN
6
Apabila
seorang rawi dipuji oleh seseorang, tetapi ada juga yang mencacat dia atau
menunjukkan celaannya, maka yang dipakai ialah celaan orang itu, jika
celaaannya ini beralasan.
Tentang
ini, ‘ulama-‘ulama ada membuat satu kaidah: “celaan itu didahulukan atas
pujian”
BAGIAN
7
Dlam
sanad terdapat sususnan: hadatsani tsiqotun (telah menceritakan kepadaku orang
yang kepercayaan), hadatsani man laa atahimuhu (telah menceritakan kepadaku
yang akubtidak tuduh apa-apa),
Susunan-susunan
itu, sungguhpun sifatnya sebagai “ta’dil”, tidak dapat dianggap sebagai ta’dil
yang boleh diterima. Karena “orang yang dikatakan kepercayaan dan orang yang
tidak tertuduh itu, kalau dinyatakan nama mereka, boleh jadi mereka lemah pada
pandangan orang lain.
BAGIAN
8
Hendaklah
diketahui bahwa bilamana seorang bapak kepercayaan tidak mesti anaknya pun
menjadi kepercayaan, jika si anak kepercayaan tidak tentu bapaknya pun
kepercayaan,
Contoh:
‘abdulloh bin ja’far bin najih kata anaknya ibnul madini: bapakku seorang yang
lemah anaknya itu seorang kepercayaan,
LAFADZ-LAFADZ
DAN MAROTIB AL-JARH DAN AT-TA’DIL
1.
Marotib
at-ta’dil
ü Tingkat pertama, diungkapkan dengan kata-kata yang menunjukkan
mubalaghoh (intensitas maksimal) dengan bentuk ‘af’aalu tafdiil (superlatip dan
sejenisnya). Misalnya kata-kata: auw tsaqunnas (orang yang paling tsiqot).
ü Tingkat kedua, diungkapkan dengan pernyataan fulan laa yusalu ‘anhu
(fulan tidak dipertanyakan lagi)
ü Tingkat ketiga, ungkapan yang mengukuhkan kwalitas tsiqot dengan
salah satu sifat diantara sekian sifat adil dan tsiqot, baik dengan kata “yang”
atau kata yang se arti, misalnya: tsiqotun-tsiqotun (tsiqot yang tsiqoh).
ü Tingkat ke empat, ungkapan yang menunjukan sifat adil dengan kata
yang menyiratkan kedhobithan, misalnya: tsabitun (teguh), mutqinun (mantap).
ü Tingkat kelima, ungkapan yang menunjukkan sifat adil tetapi
menggunakan kata yang tidak menyiratkan kedhobithan, misalnya: shoduukun
(sangat jujur), ma’muunun (terjamin).
ü Tingkat ke enam, ungkapan yang sedikit menyiratkan makna tarjih,
seperti penyertaan kata-kata diatas dengan kalimat masyi’ah, misalnya: syaikhon
shodukun insya Alloh (seorang syeikh yang sangat jujur, insya Alloh).
2.
Marotib
tarjih
ü Pertama, dengan ungkapan yang menunjukan muballaghoh (intensitas
maksimal) dalam hal jarh, misalnya: akdzabun naas (orang yang paling bohong)
ü Jarh yang diungkapkan dengan kedustaan atau pemalsuan, misalnya:
kadzaabun (tukang pendusta), dan wadhoun (tukang memalsukan) walaupun ungkapan
ini menunjukkan muballaghoh akan tetapi masih dibawah yang pertama
ü Ungkapan yang menunjukkan ketertuduhan perowi sebagai pendusta,
pemalsu, dan sejenisnya, misalnya: mutahamun bil kidzbi (tertuduh dusta)
disamakan dengan tingkatan ini adalah ungkapan yang menunjukkan ditinggalkan
haditsnya, misalnya: matruqun (tertinggal)
ü Dengan ungkapan yang menunjukkan kedhoifan yang sangat, misalnya:
roddun haditsuhu (haditnya tertolak), dhoifun jiddan (sangat lemah)
ü Ungkapan yang menunjukkan penilaian dhoif atas perawi atau
kerancuan hafalannya, misalnya: mudhthoridul hadits (haditsnya rancu)
ü Mensifati perawi dengan sifat-sifat yang menunjukkan kedhoifannya
akan tetapi dekat dengan ta’dil, misalnya: laisa bidzalikal qowiyy (tidak
sekuat itu)
Hadits-hadits yang
diriwiyatkan oleh yang berada pada keempat tingkat ta’dil dijadikan hujjah oleh
para ulama. Adapun yang berada di tingkat kelima dan keenam yang menunjukkan
ketidak dhobithan perowinya dengan haditsnya ditulis dan di ‘itibarkan
(dijadika pelajaran sebagai penguat) dengan hadits yang lainnya.
Sedangkan
orang yang diberi keterangan keempat tingkat all jarh yang pertama tidak bisa
dibuat hujjah. Adapun yang disifati dengan tingkat kelima dan keenam haditsnya
tidak bisa di takhrij untuk digunakan sebagai ‘itibar.
KEGUNAAN
MEMPELAJARI AL-JARH WA TA’DIL
Mengetahui
hal ihwal para perawi, dengan ilmu ini
pula dapat dibedakan yang shohiih dari yang cacat, yang diterima dari yang
ditolak, karena masing-masing tingkatan jarh wa ta’dil memiliki akibat hukum
yang berbeda-beda.
syukron min, lumayan tambahan referensi makalah...hehe
BalasHapus