MAKALAH ISLAM NIH
KONSEP HADITS - DIROSAH ISLAMIAH
بسم الله الرحمن الرحيم
A. Latar belakang masalah
Seluruh umat Islam sepakat bahwa hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam.
Hadis menempati kedudukannya yang sangat penting setelah Al-Quran. Kewajuban mengikuti hadis bagi umat Islam sama wajibnya dengan mengikuti Al-Quran. Hal ini karena hadis merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. Tanpa memahami dan menguasai hadis, siapapun tidak akan bisa memahami hadis tanpa memamahi Al-Quran. Sebaliknya, siapapun tidak akan bisa memahami hadis tanpa memahami Al-Quran karena Al-Quran merupakan sumber dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadis merupakan dasar hukum kedua, yang di dalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Quran. Dengan demikian antara hadis dan Al-Quran mempunyai hubungan yang sangat erat yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan lainnya. Di dalam Alquran kita diperintahkan shalat, namun dalam Al-Quran tidak dijeaskan bagaimana tata cara shalat, rukun-rukunnya, dan kapan waktu pelaksanaan shalat.
Berdasarkan hal itu kedudukan hadis tidak dapat diragukan baik dari segi penegasan Al-Quran maupun Hadis Nabi Muhammad saw.
B. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian hadis dan kedudukan hadis sebagai sumber ajaran agama Islam?
B. Pertumbuhan dan perkembangan hadis?
C. Kritik para orientalis terhadap kemurnian hadis Rasulullah saw?
D. Bantahan para Ulama terhadap kritikan para orientalis?
PENGERTIAN HADIS
A. PENGERTIAN HADIS
1. Pengertian Hadis secara Etimologi
Menurut Ibn Manzhur, kata ‘hadis’ berasal dari bahasa arab, yaitu al-hadis, jamaknya al-ahadis, dan al-hudtsan.Secara etimologis, kata ini mempunyai banyak arti, di antaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang lama), dan al-khabar, yang bearti kabar atau berita.[1]
Menurut M.M. Azami kata ‘hadis’ secara etimologi bearti ‘komunikasi’, ‘kisah’, dan ‘perkataan’: religious atau secular, historis atau kontemporer.[2]
2. Pengertian Hadis secara Terminologi
Para ulama baik muhaditsin, fuqaha, ataupun ulama ushul, merumuskan penfertian hadis yang berbeda-beda.Perbedaan pandangan tersebut disebabkan oleh terbatas dan luanya obyek tinjauan masing-masing yang mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut,
كلُّ مَاأُ ثرعن النبي صلى الله عليه وسلم من قول أوفعل أوتقريرأو صفة خلقية .
Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW., baik berupa sabda, perbuatan, taqrir maupun hal ihwal Nabi.[3]
Ulama ahli ushul fiqh mendefinisikan hadis adalah,
كلّ ما ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ولم يكن من باب الفرض ولا الواجب
Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., selain Al-Quran Al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum Syara’.[4]
Para fuqaha mendefinisikan hadis adalah,
كل ما ثبت عن النبي صلي الله عليه وسلم ولم يكن من باب الفرض ولا الواجب
Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan sebagainya.[5]
Perbedaan pandangan tersebut melahirkan dua macam pengertian hadis yakni pengertian hadis secara terbatas yang dikemukakann oleh Jumhur Al-Muhaditsin, adalah,
ماأضيف الي الني صلي الله عليه وسلم قولا اوفعلا أو تقريرا أو نحو ها
Sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sebagaimananya.
Adapun pengertian secara luas, sebagaimana dikatakan Muhammad Mahfuds At-Tirmidzi, adalah,
إن الحديث لا يختصّ بالمرفوع اليه صلي الله عليه وسلم بل جاء بإ طلا قه أيضا للموقوف ( وهو ما أضيف الي الصحا بي من قول او نحوه ) ولمقطوع ( وهو ماأ ضيف للتا بعي كذ ا لك )
Sesungguhnya hadis bukan hanya yang dimarfukan kepada Nabi Muhammad SAW., melainkan dapat pula disebutkan pada yang mauquf (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari sahabat) dan maqthu’ (dinisbatkan pada perkataan dan sebagainya dari tabiin).[6]
PERKEMBANGAN KATA HADIS DAN SEBAB DINAMAKAN “HADIS”
Hadis pada hakikatnya adalah khabar dan kisah, baik yang baru ataupun yang lama.Abu Hurairah pernah menyatakan kepada kaum Anshar.
أتريدونَ أن أحدثكم بحديث من أحاديثكم عن يوم من أيامم اجاهلية
“Apakah kamu berkehendak supaya aku ceritakan kepada kamu suatu hadis (khabar), atau berita-berita kejadian di masa Jahiliyah.”
Kemudian pemakaian kata ini berkembang, maka dipakailah untuk semacam khabar saja, yaitu khabar-khabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan, tanpa memindahkan kata itu dari maknanya yang umum.
Ibnu Mas’ud mensifatkan atau menggambarkan Al-Quran sebagai sebaik-baik hadis. Ibnu Mas’ud berkata:
إن احسن الحديث كتابالله وخير الهدى هدى محمد
“Sesungguhnya sebaik-baik hadis ialah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.”
Pada akhirnya kata hadis dipergunakanhanya untuk hadis-hadis Rasul sawsaja.
Adapun sebab-sebab hadis dinamakn “Hadis”
Menurut Al-Kirmany, dinamakan hadiskarena dilihat kepada sifat “kebaruannya” dan karenanya kedudukannya dihadapkan dengan Al-Quran. Al-Quran itu qadim, azaly, sedang hadis itu baru.Kalimat-kalimat ini dinamai dengan hadis karena kalimat-kalimat ini tersusun dari huruf yang datang beriringan.Tiap-tiap huruf itu timbul (terjadi) sessudah terjadi yang sebelumnya dan karena mendengar hadis itu menumbuhkan di dalam hati berbagai ilmu dan makna.[7]
Ibnu Rajab menerangkan bahwa kata sunnah digunakan untuk beberapa arti:
a. Perjaanan hidup Rasulullah saw.
Menurut Ibnu Faris, Sunnah Rasulullah adalah perjalanan hidupnya.
b. Hadis-hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw.
c. Mandub (sunnah).
d. Segala perkataan, perbuatan, suruhan, dan dorongan Nabi saw.
Ibnu Katsir berkata, “Makna yang pokok bagi sunnah ialah jalan yang ditempuh.Tetapi apabila kata sunnah dipakai dalam istilah syara’, maka yang dikehendaki adalah suruhan Nabi, larangannya dan beliau sunahkan yang tidak terdapat dalam Al-Quran.Ibnu Rajab berkata, “Sunnah ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi, baik perbuatan ataupun perkataan, sedangkan hadis hanyalah perkataan saja.”
HADIS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
A. Berdasarkan dalil Al-Quran
Dalam Al-Quran banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti Rasul-Nya.
Allah berfirman,
Katakanlah, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir,”(Q.S. Ali ‘Imran [3] 32)
Allah berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnagnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(Q.S. An-Nisa [4]: 59)
Allah berfirman,
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (Q.S. Al-Hasyr [59]: 7)
Allah berfirman,
Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul-Nya dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.(Q.S. Al-Maidah [5]: 92)
Allah berfirman,
Barang siapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu), kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara mereka.(Q.S. An-Nisa [4]: 80)
Allah berfirman,
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. Ali Imran [3]: 31)
B. Berdasarkan dalil Hadits Rosulullah SAW
Disamping banyak ayat al-quran yang menjelaskan kewajiban mengkuti semua yang disampingkan Nabi SAW, banyak juga hadits Nabi SAW.Yang menegaskan kewajiban mengikuti ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi SAW. Seperti sabda Rosulullah, sebagai berikut,
تر كت فيكم أمرين لن تضلّوا أبد ا ما إن تسّكتم بهما كتاب الله وسنّة رسول (رواه الحاكم)
Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rosul-Nya.( H.R. Al-hakim dari Abu Hurairah)[8]
Dalam hadits lain, Rosulullah SAW. bersabda :
عليكم بسنّتي وسنّة الخلفاء الرّاشدين المهديين تمسّكوا بها (رواه أبو داود)
Kalian wajib berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah khulafar-Rasidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya….” (H.R. Abu Daud)[9]
Hadits-hadits tersebut menunjukan bahwa Nabi SAW.Diberi Al-Kitab dan Sunnah, dan mewajibkan kita berpegang teguh pada keduanya, serta mengambil yang ada pada Sunnah seperti mengambil pada Al-Kitab.Masih banyak hadits lainnya yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti perintah dan turunnya Nabi SAW.
C. Berdasarkan Ijma’
Seluruh umat islam telah sepakat untuk mengamalkan Hadits. Bahkan, hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT.Dan Rasul-Nya yang terpercaya.Kaum muslimin menerima Al-Qur’an Al-Karim kerena berdasarkan penegasan dari Allah SWT.bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Allah SWT juga memberikan kesaksian bagi Rosulullah SAW. Bahwa beliau hanya mengikuti apa yang diwahyukan.[10]
Allah SWTberfirman :
قل لا اقول لكم عندي خزآ ىن الله ولآ اعلم الغيب ولا اقول لكم اني مالك ج ان اتبع الاّ مايوحي اليّ قل هل يستوي العمي والبصير . افلا تتفكّرون .(الأنعام : .ه)
Katakanlah,”Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah SWT ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kapadaku. Katakanlah,’Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?’ Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” (Q.S. Al-An’am [6] : 50 )
KONSEPSI HADIS MENURUT ORIENTALIS
Secara bahasa orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur dan secara etimologi berarti bangsa-bangsa di timur, dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya, jadi orientalis adalah orang-orang barat atau eropa yang meneliti segala sesuatu tentang ketimuran baik itu budaya, bahasa, tingkah laku, keyakinan, keilmuan dan lain-lain dengan tujuan baik maupun buruk, tapi apabila kita melihat dari ayat al-Quran yang telah dijelaskan terdahulu mereka (orientalis) tidak akan berhenti dalam mencari cara agar kita mengikuti mereka.[11]
Banyak tokoh-tokoh orientalis yang meneliti dan menanggapi daripada hadits, tetapi ada tokoh-tokoh terkenal yang mempunyai pengaruh yang besar dalam pendapatnya diantaranya:
Menurut Azami sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian tentang hadits adalah Ignaz Goldziher dalam bukunya Muhammadanische Studies mengatakan,”Bagian terbesar dari hadits tak lain adalah hasil perkembangan Islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial. Tidaklah benar pendapat yang menyatakan bahwa hadis merupakan dokumen Islam yang sudah ada sejak masa dini (masa pertumbuhan) melainkan ia adalah pengaruh perkembangan Islam pada masa kematangan” .
Adapun argumentasi yang digunakan Goldziher untuk membuktikan keaslian hadits Nabi adalah berdasarkan pada sebuah riwayat yang berkenaan dengan kasus penulisan hadits yang dilakukan oleh Ibn Syihab al-Zuhri[13]. Menurut Goldziher al-Zuhri mengatakan, ”Sesungguhnya para pejabat itu (Umar bin Abdul Aziz) telah “memaksa” kami untuk menulis beberapa hadits”. Kata-kata “al hadis” dalam kutipan Goldziher tanpa memakai “al” yang dalam bahasa arab menunjukkan sesuatu yang sudah definitif (ma’rifah) sementara dalam teks yang asli seperti terdapat pada kitab Ibn Sa’ad dan Ibn Asyakir adalah “al Ahadis” yang berarti hadits-hadits yang sudah dimaklumi secara definitif yakni hadits-hadits yang berasal dari Nabi Saw. Jadi pengertian ucapan al-Zuhri yang asli adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menuliskan hadits-hadits Nabi yang pada saat itu sudah ada, akan tetapi belum terhimpun dalam satu buku. Sementara pengertian ucapannya dalam kutipan Goldziher adalah para pejabat itu telah memaksanya untuk menulis hadits yang belum pernah ada pada saat itu.
Ignaz Goldziher juga menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal ini karena para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad dan kurang menggunakan metode kritik matan[14], karenanya Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik pada matan. Menurutnya kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek seperti politik, sains, sosial kultural dll. Mengingat bahwa beberapa pepatah hukum yang berasal dari adat kebiasaan Yahudi dan Nasrani bahkan juga pemikiran filsafat Yunani diriwayatkan telah disabdakan oleh Nabi Saw. Contoh kasus dapat ditemukan pada sebuah hadits: “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al Aqsha”. Menurut Goldziher, Abdul Malik Ibn Marwan (Khalifah Dinasti Ummayah di Damaskus) merasa khawatir apabila Abdullah bin Zubair (opposannya di Makkah) mengambil kesempatan dengan menyuruh orang-orang Syam yang sedang melakukan ibadah haji di Makkah untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar orang-orang Syam tidak lagi pergi ke Makkah, akan tetapi cukup hanya pergi ke Qubbah Sakhra di al Quds (Palestina) yang pada saat itu masuk dalam kekuasaan wilayah Syam.
Dalam rangka mewujudkan usaha yang bersifat politis ini, Abdul Malik bin Marwan menugaskan al-Zuhri agar membuat hadits dengan sanad yang bersambung ke Nabi Saw dimana isinya umat islam tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, Masjid al Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha. Jadi kesimpulannya hadits tersebut tidak shahih karena ia merupakan buatan ibn Shihab al-Zuhri dan bukan sabda Nabi Saw, meskipun hadits tersebut tercantum dalam kitab shahih al Bukhari yang diakui otentisitasnya oleh umat islam, bahkan diakui sebagai kitab yang paling otentik sesudah al-Qur’an. Dari sini rasanya tidak tertalu sulit untuk menetapkan bahwa tujuan Ignaz Goldziher adalah untuk meruntuhkan kepercayaan umat islam terhadap kredibilitas Imam Bukhari yang selama ini telah terbina kokoh sejak abad ketiga hijriah sampai sekarang.
B. Joseph Schacht.
Pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits, Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw. dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:
1. Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, dan akhir abad pertama.
2. Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin memproyeksikan ke belakang ”doktrin-doktrin” mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3. Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan, isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4. Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5. Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi Saw, Josepht Schahct menyusun beberapa teori berikut ini:
1. Teori Projecting Back
Maksudnya adalah untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits Nabi. Menurutnya hukum islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum islam, maka itu adalah buatan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Hukum islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim.
2. Teori E Silentio
Sebuah teori yang disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang sarjana (ulama atau perawi) pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadits oleh sarjana (ulama atau perawi) yang datang kemudian yang mana para sarjana sebelumnya menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan hadits itu eksis atau tidak cukup dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa dalam sebuah susunan sanad kadang terdapat tambahan tokoh-tokoh tertentu untuk mendukung keabsahan sebuah riwayat. Semua sanad yang terdiri dari hubungan keluarga (antara bapak dan anaknya) adalah palsu. Isnad keluarga tidak menjamin keaslian bahkan dipakai sebagai alat untuk membuat sebuah hadits kelihatan tanpa cacat. Sehingga isnad atas dasar keluarga adalah isnad buatan yang digunakan untuk jalur penghubung antara satu kelompok perawi dengan perawi lainnya.
C. Jyunboll.
Adapun pemikiran orientalis yang ketiga adalah G.H. A. Jyunboll, dalam beberapa karyanya seperti Muslim Tradition, Studies in Cronology Provenanceand Authorship of Early Hadith dan The Date of The Great Fitna, Jyunboll melakukan kritik hadits yang sejatinya kritik-kritiknya itu tidak lebih dari mengulang-ulang atau mendukung gagasan Schacht dalam bukunya the Origin of Muhammadans Yurisprudence. Menurut muhadisin, isnad baru dipergunakan secara cermat setelah terjadinya ”fitnah” tragedi pembunuhan khalifah ustman (656 M) Jyunboll menolak anggapan ini dengan bersandarkan pada karya ibn Sirin, bahwa penggunaan isnad baru dimulai ketika “fitnah” tragedi peperangan antara Abdullah bin Zubair dengan dinasti Ummayah yang pada akhirnya berdampak pada banyaknya hadits-hadits palsu. Jyunboll menemukan sekurang-kurangnya lima jalur sanad yang disandarkan pada Abu hanifah. Dia beranggapan hadits itu disusun pada saat-saat tertentu setelah Abu hanifah wafat. Hal ini sangat rasional mengingat Abu hanifah adalah merupakan tokoh yang sering mengesampingkan hadits.
Oleh karena itu jika ada koleksi hadits yang menggunakan namanya, maka hal tersebut harus dipandang sebagai hasil dari suatu usaha dari para pendukung mazhab Hanafi untuk mengkompromikan perbedaan antara madrasah ahl al-ra’yu dengan madrasah ahlal-hadits.
Jyunboll mendukung teori E-silentionya Schacht sembari menambahkan bahwa kolektor hadits (mukharrij) yang koleksi haditsnya berbeda atau tidak menemukan hadits yang dikoleksi oleh kolektor sebelumnya atau sesudahnya padahal hadits itu terkenal, dapat dijadikan alasan untuk meniadakan kebenaran hadits itu. Demikian juga dengan teori Common Linknya Schacht, dia menyebutnya sebagai teori yang brilliant sekaligus mendukungnya dengan menyimpulkan bahwa, pertama, fenomena (tokoh penghubung) merupakan gambaran nyata bagi ahl al-hadis abad pertengahan, kedua, ulama muhadisin tidak pernah menjadikan fenomena (tokoh penghubung) itu sebagai alat untuk menyelidiki kepalsuan suatu hadits.
Common link adalah istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkannya lagi kepada dua atau lebih dari muridnya. Dengan kata lain, common link adalah periwayat tertua yang disebut dalam berkas isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketika berkas isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di sanalah ditemukan common link-nya.
Kesimpulannya, teori ini berangkat dari asumsi, bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi (periwayat hadits), semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan, shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara autentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur. Sementara yang bercabang ke (hanya) satu jalur (single strand), tidak dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya dha’if.
Sebelum Juynboll, fenomena common link ini sesungguhnya sudah dibicarakan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969) yang mengklaim dirinya sebagai generasi penerus Goldziher dalam teori common link ini. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, terbitan Oxford adalah salah satu karyanya, nah, dari kedua tokoh besar inilah, Juynboll (pakar sejarah islam klasik dan hadits) melakukan eksplorasi lebih lanjut terhadap teori common link.
Selain itu mereka menuduh perawi hadits Abu hurairah, mereka beranggapan bahwa sewaktu datang para pemalsu-pemalsu hadits yang dengan sengaja membuat hadits-hadits bohong, seolah-olah datang dari Rasulullah Saw. Mereka memperalat dan menyalahgunakan nama Abu Hurairah dalam periwayatan hadits-hadits palsu itu. Dengan kelakuan mereka ini, hampir-hampir Abu Hurairah ra diragukan tentang kelebihannya dalam meriwayatkan hadits. Sampai-sampai Khalifah Umar bin Khattab ra pernah melarang Abu Hurairah ra untuk menyampaikan hadits dan hanya membolehkannya menyampaikan ayat Al-Quran. Hal itu disebabkan karena tersebarnya khabar angin tersebut.Larangan khalifah baru dibatalkan setelah Abu Hurairah ra mengutarakan hadits mengenai bahaya hadits palsu.
BANTAHAN TERHADAP KAUM ORIENTALIS MENGENAI HADIS
A. Bantahan untuk Ignaz Goldziher
Pendapat Goldziher bahwa hadits belum merupakan dokumen sejarah yang muncul pada masa-masa awal pertumbuhan islam disanggah oleh beberapa pakar hadits. Mereka itu di antaranya: Prof. Dr. Musthofa as Siba’iy (as Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’il Islam) Prof. Dr. ‘Ajjaj al Khatib (as Sunnah Qabla Tadwin) dan Prof. Dr. M. Musthofa al Azhami (Studies in Early Hadith Literature).Menurut ketiga ulama ini pendapat Goldziher lemah baik dari sisi metodologisnya maupun kebenaran materi sejarahnya.
Alasan mereka adalah karena ketidaktahuan mereka (kekurang percayaan) pada bukti-bukti sejarah. Orientalis lain seperti Nabia Abbot, justru mengajukan bukti-bukti yang cukup valid tentang keberadaan pencatan hadits pada awal-awal periode islam, dalam bukunya Studies in Arabic Literary Papyri (Qur’anic Commentary and Tradition).
Sisi metodologi yang dikritik adalah bahwa kesalahan orientalis yang tidak konsisten dalam mendiskusikakan perkembangan hadits Nabi yang berkaitan dengan hukum, sebab bukunya memfokuskan diri pada masalah hukum, mereka malah memasukkan hadits-hadits ritual. Sebagai contoh dari 47 hadits yang diklaimnya berasal dari Nabi sebagiannya tidak berasal dari Nabi, dan tidak juga berkaitan dengan hukum hanya seperempat yang relevan dengan topik yang didiskusikan.
Berkenaan dengan pernyataan ibn Syihab al-Zuhri, Azami menyatakan bahwa tidak ada bukti-bukti historis yang memperkuat teori Goldziher, bahkan justru sebaliknya. Ternyata Goldziher merubah teks yang seharusnya berbunyi al-hadits, akan tetapi ditulis dengan lafaz hadits saja. Demikian juga ternyata tesis Goldziher bahwa al-Zuhri dipaksa khalifah abdul malik bin marwanyang bermusuhan dengan ibn Zubair untuk membuat hadits, adalah palsu belaka. Hal ini mengingat al-Zuhri semasa hidupnya tidak pernah bertemu dengan Abdul Malik, kecuali sesudah 7 tahun dari wafatnya ibn Zubair. Pada saat itu umur al Zuhri sekitar 10-18 tahun sehingga tidak rasional pemuda seperti itu memiliki reputasi dan otoritas yang kuat untuk mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Bahkan as-Sibai menantang Abdul Qadir profesornya untuk membuktikan kebenaran teks al-Zuhri. Pada akhirnya terbukti bahwa Abdul Qadir salah dan berpegang pada argumen-argumen yang tidak ilmiah.
Argumen lain yang juga dapat meruntuhkan teori Goldziher adalah teks hadits itu sendiri. Sebagaimana termaktub dalam kitab Shahih Bukhari, hadits tersebut tidak memberikan isyarat apapun yang bisa menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di al-Quds (Yurussalem) yang ada hanya isyarat pemberian keistimewaan kepada masjid al-Aqsha, dan hal ini wajar mengingat masjid itu pernah dijadikan qiblat pertama bagi umat islam. Sementara itu tawaran Goldziher agar hadits tidak semata-mata didekati lewat perspektif sanad akan tetapi juga lewat kritik matan, perlu dicermati. Sebenarnya semenjak awal para shahabat dan generasi sesudahnya sudah mempraktekkan metode kritik matan. Dalam sejarahnya, kritik matan hadits lahir lebih awal daripada kritik sanad hadits. Kritik matan sudah ada sejak zaman sejak zaman Nabi Muhammad Saw, sementara kritik sanad baru muncul sesudah terjadinya fitnah di kalangan umat Islam, yaitu perpecahan diantara mereka menyusul terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ra pada tahun 35H. Sejak saat itulah setiap orang yang menyampaikan Hadits selalu ditanya dari siapa ia memperoleh hadits itu. Apabila hadits itu diterima dari orang yang tsiqqah[15], maka ia diterima sebagai hujjah dalam islam. Namun apabila hadits itu diterima dari ahli bid’ah, maka hadits tersebut ditolak sebagai hujjah.Penjelasan argumentatif telah disajikan oleh Subkhi as-Shalih bahwa ulama dalam mengkaji hadits juga bertumpu pada matan.
B. Bantahan untuk Josep Schacht.
Berikutnya adalah bantahan terhadap kritik Joseph Schahcht sebagaimana yang dia gagas dalam teori Projecting Back-nya. Menurut Azami kekeliruan Schacht adalah bahwa dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat atau asumsi penyusunan teorinya itu. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibaniy serta risalahnya Imam as Syafi’i tidak bisa dijadiakan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadits Nabi. Sebab kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk meneliti hadits Nabi sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadits.
Azami dalam rangka meruntuhkan teorinya Schacht telah melakukan penelitian terhadap beberapa naskah hadits dengan sanad abu hurairah, abu shalih, suhail…dst, yang ternyata dari hasil kajiannya sangat mustahil hadits bisa dipalsukan begitu saja.
Sementara teori Argumenta e Silentionya schacht dikritk oleh Ja’far Ishaq Anshari dalam buku beliau : The Authenticity of Tradition, A Critique of Joseph Schacht‘s Argument e Silention, begitu pula Azami dalam sanggahannya terhadap The Origins of Muhammadan Jurisprudence karya Schacht, Keduanya berkesimpulan bahwa Schacht melakukan kontradiksi dalam berargumen, sebab dalam bukunya schacht mengecualikan teorinya itu terhadap referensi yang berasal dari dua generasi di belakang Syafi’i, kenyataannya schacht justru menggunakan muwatha’nya Imam Malik dan Syaibaniy sebagai data-datanya yang itu adalah referensi yang valid menurutnya. Muwatha’ adalah suatu karya yang justru oleh Ignaz Goldziher sendiri dikritik sebagai bukan kitab hadits dengan alasan, pertama, belum mencakup seluruh hadits yang ada, kedua, lebih menekankan pada aspek hukum, kurang fokus pada penyelidikan penghimpunann hadits, ketiga, campuran qaul Nabi, Shahabat dan tabi’in.
Selain itu, temuan Anshari justru membuktikan kebalikan dari teori Argumenta e Silentio. Setelah melakukan verifikasi berdasarkan empat koleksi hadits : al-Muwatha’ karya Imam Malik dan asy-Syaibani dan al-Atsar karya abu Yusuf dan asy-Syatibi, ia menemukan bahwa ternyata ada sejumlah hadits dalam koleksi-koleksi awal yang tidak ditemukan dalam koleksi-koleksi hadits belakangan. Misalnya, sejumlah hadits yang terdapat dalam al-Muwatha’ karya Imam Malik tidak ada dalam asy-Syaibani, meskipun al-Muwatha’ karya asy-Syaibani adalah koleksi yang lebih muda. Demikian juga sejumlah hadits yang terdapat di al-Atsar Abu Yusuf tidak dijumpai dalam al-Atsar asy-Syaibani, walaupun al-Atsar asy-Syaibani ini lebih muda daripada al-Atsar Abu Yusuf.
Temuan Anshari berdasarkan empat koleksi hadits ini paling tidak mampu mengoreksi asumsi dasar teori Argumenta e Silentio. Hal ini juga menyadarkan para pengkaji hadits untuk mempertimbangkan adanya faktor-faktor lain, selain faktor ketiadaan, yang menyebabkan mengapa seorang ahli hukum merasa cukup untuk menghimpun doktrin fiqih tertentu tanpa mencantumkan hadits-hadits yang mendukungnya. Karena tujuan para ahli hukum yang utama bukanlah untuk menghimpun hadits, melainkan untuk menghimpun berbagai doktrin aliran fiqih yang sudah disepakati dan diterima secara umum serta diikuti oleh para pendahulu mereka. Oleh karena itu, sering kali penyebutan sebuah hadits untuk mendukung berbagai doktrin fiqih dipandang tidak begitu penting. Akibatnya, merka tidak selalu menyebutkan hadits-hadits yang relevan dengan doktrin-doktrin hukum yang dihimpun meskipun dalam faktanya hadits-hadits tersebut ada.
Di samping itu Azami membuktikan bahwa tidak adanya sebuah hadits pada masa kemudian, padahal pada masa-masa awal hadits itu dicatat oleh perawi, disebabkan pengarangnya menghapus atau menasakh hadits tersebut, sehingga ia tidak menulisnya dalam karya-karya terbaru. Ketidakkonsistenan Schacht terbukti ketika dia mengkritik hadits-hadits hukum adalah palsu, ternyata ia mendasarkan teorinya itu pada hadits-hadits ritual (ibadah) yang jika diteliti lebih dalam lagi ternyata tidak bersambung ke Nabi.
Kemudian untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis yang lain, khususnya Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami membantah teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah hadits. Azami melakukan penelitian khusus tentang hadits-hadits nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat Nabi saw. Naskah Suhail ini berisi 49 hadits.Sementara Azami meneliti perawi hadits itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah).Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadits yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah masih dipertanyakan keabsahannya, hal ini dibantah oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis itu memang muttashil sampai kepada Rasulullah Saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Dan membuktikan juga bahwa hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para generasi terdahulu, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari Rasul Saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat islam.
C. Bantahan untuk Jyunboll.
Tokoh ketiga yang tak luput dari perbincangan para sarjana muslim adalah Jyunboll dengan teori common link-nya. Diantara yang menanggapinya adalah Azami, baginya teori common link bukanlah hanya patut dipertanyakan namun ia pula meragukan validitas teori tersebut. Azami cenderung manyimpulkan bahwa metode common link dan semua metode yang dihasilkannya tidak relevan.
Bagi Azami, teori common link banyak yang perlu dipertanyakan. Sebagai contoh misalnya, jika memang ditemukan seorang periwayat seperti al-Zuhri, yang menjadi periwayat satu-satunya yang meriwayatkan hadits pada muridnya, tetapi telah diakui ke-tsiqah-an dirinya oleh para kritikus hadits maka tidak ada alasan untuk menuduhnya sebagai seorang yang memalsukan hadits. Para ahli hadits sendiri telah menyadari adanya periwayatan hadits secara infirad (menyendiri) dan implikasinya. Akan tetapi, itu semua bergantung pada kualitas para periwayat hadits pada isnadnya.
Pada tempat lain, Azami menunjukkan bahwa jika seseorang tidak melihat secara keseluruhan jalur isnad maka ia akan salah dalam mengidentifikasi seorang periwayat sebagai common link. Hal ini tentunya agar penemuan akan sanad hadits itu tidak parsial. Sebab, bisa jadi yang dianggap oleh peneliti hadits sebagai common link sebenarnya hanya seeming atau artificial common link. Ini disebabkan karena jalur yang dihimpun hanya sebagian saja sehingga tidak bisa menggambarkan jalur isnad secara lebih akurat.
[2]M.M. Azami. Studies in Hadis Methodology and Literature.Terj.Meth Kieraha. Jakarta: Lentera. 2003. Hlm. 21-23.
[3]Muhammad Ajaj Al-Khathib.As-Sunnah Qabla At-Tadwin.Kairo: Maktabah Wahbah. 1975. Hlm. 19.
[4]Ibid
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Qawa’id at-tahdits: 35-36
[8]As-Suyuthi.Al-Jami’ Ash-Shagir. Beirut: Dar Al-Fikr. t.t. hlm. 130.
[9] Abu Dawud. Sunan Abu Dawud. Jilid II. Beirut: Dar Al-Fikr. 1990 M./1410 H. hlm. 393.
[10] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib. Ushul Al-Hadis.Terj.HM. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2003. Hlm. 29.
[11]Dr. Syamsyudin dalam salah satu karya ilmiah yang berjudul Gugatan Orientalis Terhadap Hadis, Orientalis yang dimaksud adalah orientalis para sarjana Barat yang notabene non-Muslim (Yahudi, Kristen atau bahkan atheis) namun sibuk mengkaji Islam beserta seluk-beluknya dan kalangan Muslim yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan mereka lalu latah dan ikut-ikutan menolak hadits secara keseluruhan.
[12]Ignaz Goldziher adalah orientalis Hungaria yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 Masehi.Ia belajar di Budapest, Berlin dan Leipzig. Pada tahun 1873 ia pergi ke Syiria dan belajr pada Syaikh Thahir al Jazairi. Kemudian pindah ke Palestina lalu ke Mesir dimana ia belajar dari sejumlah ulama al Azhar. Sepulangnya dari al Azhar ia diangkat menjadi guru besar di Universitas Budapest. Karya-karya tulisnya yang membahas masalah keislaman banyak dipublikasikan dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis.Bahkan sebgaian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan yang paling berpengaruh dari karya-karya tulisnya adalah buku yag berjudul: Muhammadanische Studien, di mana ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat. Di samping karyanya yang lain seperti: Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of Law is Islam), Introduction to Islamic Theology and Law, Etudes Sur La Tradition Islamique. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921.
[13]Nama lengkapnya adalah Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri (124 H) beliau merupakan tokoh besar dalam ilmu hadits, Umar bin Abdul Aziz mengatakan bahwa tidak ada di permukaan bumu ini yang melebihi ilmunya dalam ilmu hadits dan Imam Muslim pun mengatakan az-Zuhri inilah orang yang menyelamatkan 90 hadits shahih yang belum sempat diriwayatkan oleh rawi lain. Dr. Musthafa Assiba’i, hal: 167.
[14]Kata matan berasal dari kata mairfata min al-ardhi yaitu tanah yang meninggi, punggung jalan (muka jalan), tanah yang keras dan tinggi, sedangkan menurut istilah adalah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad, sedangkan Ajjaj Al-Khattib mendefinisikan lafadz-lafadz hadits yang didalamnya mengandung makna tertentu. Sutiyono.M.Ag.Study Ilmu-Ilmu Hadits,IAIN Raden Fatah Press,2006, hal: 90.
Tidak ada komentar
Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.
Salam : Admin K.A.