TAFSIR NIH
TAFSIR MAUDLU’I TENTANG ETIKA BELAJAR MENGAJAR
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia
diciptakanAllohSubhanahuwata’alaSubhanahu wa ta’ala secara
sempurna di alam ini. Hakikatmanusia yangmenjadikan ia berbeda dengan lainnya
adalah, bahwasesungguhnya manusia membutuhkan bimbingan dan pendidikan.Hanya
melalui pendidikan manusia sebagai homo educabledapat dididik,dengan
pelantara guru. Dan pendidikan sebagai alat yang ampuh untukmengembangkan
potensi-potensi yang ada dalam diri manusia. Sehinggaia mampu menjadi khalifah
di bumi, pendukung dan pengembangkebudayaan.
Untuk membentuk
pribadi atau watak terhadap anak ini, tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan, melalui pendidikanlah pribadi tersebut akan tercipta atau melekat pada
jiwa anak, dan dalam pendidikan ini memperkenalkan beberapa metode antara lain
metode kebiasaan, keteladanan dan lain-lain. Sifat-sifat dan kode etik peserta
didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar
mengajar.
Hendaklah
orang tua atau guru memberikan arahan tentang bagaimana etika dalam belajar
mengajar dan menyuruh untuk selalu membiasakan dan melatih anaknya supaya
menghormati guru dan memuliakannya seperti sabar dalam mencari dan menerima
ilmu. Karena pembiasaan-pembiasaan dan latihan tersebut akan membentuk sikap
tertentu pada anak yang lambat laun sikap itu akan bertambah jelas dan kuat,
akhirnya tidak tergoyahkan lagi telah masuk menjadi bagian dari pribadinya.
B. Rumusan Masalah
Berangkatdarilatarbelakangmasalah yang telahdisebutkan diatas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang etika belajar mengajar.
C. TujuanPembahasan
Adapuntujuan yang ingindicapaidari penulisan makalah ini adalahuntuk mengetahui bagaimanaetika belajar mengajar.
D.
Metodologi Penulisan
Penulisan
makalah ini dilakukan dengan menggunakan metode tafsir maudhu’i[1]
dengan mencari dan mengumpulkan data-data ilmiah yang relevan dan objektif
dengan tema yang dibahas terutama yang terdapat dalam kitab-kitab tafsirpara‘Ulama, kitab-kitab tafsir dan pendidikan (Tarbiyyah)
para salaf al-shalih serta kitab-kitab/buku tafsir dan pendidikan (Tarbiyyah)
kontemporer saat ini.
BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR
MAUDLU’I TENTANG ETIKA BELAJAR MENGAJAR
A.
Pengertian Etika Belajar Mengajar
Secara
etimologi istilah etika berasal dari kata Latin “Ethicos” yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian
yang asli, yang dikatakan baik itu
apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat.[2]
Dalam kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa etika adalah ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak); kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; nilai mengenai
nilai benar dan salah, yang dianut suatu golongan atau masyarakat.Kata
etika pun dapat diartikan dengan adab dalam bahasa Arabyaitu
aduba, ya’dabu, adaban, yang mempunyai arti bersopan santun, beradab.[3]
Definisi belajarsecara umum dapat
dikatakan sebagai aktivitas pencarian ilmu, atau dengan kata lain merupakan
aktivitas yang dilakukan seseorang dimana aktivitas itu membuatnya memperoleh
ilmu. Sedangkan mengajar secara harfiah diartikan kepada memberikan pelajaran.
Artinya, mengajar sebagai suatu pekerjaan melibatkan berbagai hal, yaitu guru
-sebagai pengajar-, materi pelajaran, dan pelajaran.[4]
Dari uraian di atas, dapat ditarik
benang merah bahwa etika belajar mengajar adalah bagaimana interaksi seorang
guru dan peserta didik selama proses belajar mengajar.
B.
Analisis Ayat-Ayat
Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Berkaitan dengan Etika Belajar Mengajar
Dalam
proses pendidikannya seorang guru dan peserta didik pasti akan berinteraksi
dengan seluruh komponen yang mendukung terlaksananya pendidikan tersebut,
sehingga perlu baginya untuk memperhatikan Etika dalam belajar mengajar. Berikut ini adalah beberapa ayat yang menjelaskan tentang etika
atau adab dalam belajar mengajar yang, agar dapat dilaksanakan baik sebagai
penuntut ilmu atau pun sebagai guru.
1.
Ikhlas
dalam Belajar dan Mengajar
AllohSubhanahuwata’alaSubhanahhuWaTa’ala
berfirman dalam surat azZumar ayat 11:
قُلۡإِنِّيٓأُمِرۡتُأَنۡأَعۡبُدَٱللَّهَمُخۡلِصٗا
لَّهُ ٱلدِّينَ ١١
Artinya: “Katakanlah, sesungguhnya aku diperintahkan supaya
menyembah AllohSubhanahuwata’ala dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) Agama.Maksudnya Adalah sesungguhnya aku hanyalah
diperintahkan untuk memurnikan ibadah kepada AllohSubhanahuwata’ala yang
Maha Esa, tidak ada sekutu bagi –Nya.[5]
Ikhlas secara bahasa berbentuk mashdar dan fi’ilnya
adalah Akhlasa, itu bentuk mazid. Adapun bentuk mujarradnya
adalah khalasa. Dan khalasa maknanya adalah bening (shafa),
segala noda hilang darinya. Jika dikatakan Khalasalma’aminal kadar (air
bersih dari kotoran) artinya air itu bening. Jika dikatakan dzahabunkhalis
(emas murni) artinya emas yang bersih tidak ada noda di dalamnya. Tidak
dicampuri oleh partikel lain seperti perunggu dan lain sebagainya.[6]
Sedangkan secara terminologi makna ikhlas seperti yang disampaikan oleh
almunawi, bahwa ikhlas adalah menyucikan hati dari segala penyakit yang dapat
mengeruhkan nurani.[7]
Ikhlas wajib dilakukan setiap pribadi dalam melakukan ketaatan
kepada AllohSubhanahuwata’alaTa’ala. Orang yang menuntut ilmu hendaknya
memasang niat yang ikhlas, begitu juga dengan belajar dan mengajar, yang
merupakan bagian dari peribadatan kepada AllohSubhanahuwata’alaTa’ala.[8]Ikhlas
dalam hal ini berarti bahwa mengajarkan mengharap ridhoAllohSubhanahuwata’ala.
Atau dengan kata lain, kegiatan belajar mengajar merupakan aktivitas jihad
memerangi kebodohan yang diperintahkan Alloh kepada manusia. Serta harus
diniatkan pula -dalam proses belajar mengajar- untuk menjaga syari’atAllohSubhanahuwata’ala.[9]Bahkan
mengajar itu sendiri merupakan perbuatan AllohSubhanahuwata’ala terhadap
makhlunya; Dia mengajar Adam, mengajar para nabi lainnya dan semua manusia
seperti yang digambarkan dalam berbagai ayat. Maka dengan demikian, perbuatan
mengajar yang dilakukan seorang guru mengandung misi ilahiah.
Untuk itu profesi keguruan tidak hanya sekedar sebagai suatu
pekerjaan yang mendatangkan kesejahteraan material terhadapnya, tetapi ia mesti
dimaknai sebagai dakwah yukhrijual-nas min al-dzulumatIlaal-nur, yaitu
memberikan pencerahan intelektual, aqidah, dan moral kepada peserta didik.[10]
Karena keikhlasan merupakan salah satu syarat diterimanya amalan
seorang hamba, jikalau hilang atau tidak adanya keikhlasan maka sudah dapat
dipastikan amalan tersebut akan ditolak oleh AllohSubhanahuwata’ala.
Poros dari itu semua terletak pada niat, dan niat tempatnya adalah di dada, dan
tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi AllohSubhanahuwata’ala.[11]
قُلۡ إِن تُخۡفُواْ مَا فِي
صُدُورِكُمۡأَوۡتُبۡدُوهُيَعۡلَمۡهُٱللَّهُۗ
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam
hatimu atau kamu menampakkannya, pasti Allah mengetahuinya". (Ali Imron
29)
Maka bagi siapa saja yang niatnya murni untuk AllohSubhanahuwata’ala,
hendaklah berbahagia dengan pengabulan amalnya dan ganjaran pahala dari Alloh.
Faidah
·
Merupakan
kewajiban bagi seorang pengajar dan peserta didik untuk menanamkan hakikat
keikhlasan.
·
Seorang
pengajar harus menyertakan hakikat tersebut semenjak awal dan terus menerus
mengingatkannya.
2.
Sabar
dalam Belajar Mengajar
Kata as-Shabrudarisegibahasaberartimencegahdanmenahan.[12]Yaitukedudukantinggi
yang tidakakandiraihkecualioleh orang yang memilikisemangattinggidanjiwa yang
suci.Sifatsabarinibukanlahperkara yang mudahdicapai, melainkanbutuhadaptasidanlatihanpanjangsampaiterbisaterhadaphalitudanakrabdengannya.
AllohSubhanahuwata’ala telah menyebutkan kata-kata sabar
dalam al-Qur’an sebanyak sembilan puluh tempat, masing-masing ditambah dengan
keterangan berbagai kebaikan dan derajat yang tinggi, serta menjadikan sabar
sebagai buah dari kebaikan dan derajat yang tinggi tersebut.[13]
Ada sebuah kisah yang menarik dimana di dalamnya banyak manfaat
yang bisa kita ambil baik sebagai seorang peserta didik ataupun sebagai seorang
guru, yaitu kisah tentang nabi Musa Alaihissalam yang bertemu dengan nabi
KhidirAlaihissalam, di mana nabi Musa harus ekstra sabar dalam menimba
Ilmu kepada nabi KhidirAlaihissalam dan begitu juga dengan nabi Khidir
yang harus ekstra sabar mengajari ilmu yang telah dianugerahkan oleh AllohSubhanahuwata’ala
kepada muridnya ini. AllohSubhanahuwata’ala berfirman dalam surat Al
Kahfi ayat 60-70:
وَإِذۡ
قَالَ مُوسَىٰلِفَتَىٰهُلَآأَبۡرَحُحَتَّىٰٓأَبۡلُغَمَجۡمَعَٱلۡبَحۡرَيۡنِأَوۡأَمۡضِيَحُقُبٗا
٦٠فَلَمَّا بَلَغَا مَجۡمَعَبَيۡنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَٱتَّخَذَسَبِيلَهُۥ
فِي ٱلۡبَحۡرِسَرَبٗا ٦فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَىٰهُ ءَاتِنَا
غَدَآءَنَالَقَدۡ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَانَصَبٗا ٦٢قَالَأَرَءَيۡتَإِذۡأَوَيۡنَآ
إِلَى ٱلصَّخۡرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ ٱلۡحُوتَوَمَآأَنسَىٰنِيهُ إِلَّا ٱلشَّيۡطَٰنُأَنۡأَذۡكُرَهُۥۚوَٱتَّخَذَسَبِيلَهُۥ
فِي ٱلۡبَحۡرِعَجَبٗا ٦٣قَالَذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبۡغِۚفَٱرۡتَدَّاعَلَىٰٓ
ءَاثَارِهِمَا قَصَصٗا ٦٤فَوَجَدَاعَبۡدٗامِّنۡعِبَادِنَآءَاتَيۡنَٰهُرَحۡمَةٗ
مِّنۡ عِندِنَا وَعَلَّمۡنَٰهُ مِن لَّدُنَّا عِلۡمٗا ٦٥قَالَلَهُۥمُوسَىٰهَلۡ
أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَرُشۡدٗا ٦٦قَالَ إِنَّكَ لَن
تَسۡتَطِيعَ مَعِيَ صَبۡرٗا ٦٧وَكَيۡفَتَصۡبِرُعَلَىٰ مَا لَمۡتُحِطۡبِهِۦخُبۡرٗا
٦٨قَالَسَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَٱللَّهُصَابِرٗاوَلَآأَعۡصِي لَكَ أَمۡرٗا ٦٩قَالَ
فَإِنِ ٱتَّبَعۡتَنِي فَلَا تَسَۡٔلۡنِي عَن شَيۡءٍحَتَّىٰٓأُحۡدِثَ لَكَ
مِنۡهُذِكۡرٗا ٧٠
Artinya:
(60)“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya,"Aku tidak akan
berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan
berjalan sampai bertahun-tahun". (61) Maka tatkala mereka sampai ke
Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat
mengambil jalannya ke laut itu. (62) Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh,
berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita;
Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". (63)
Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di
batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak
adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu
mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". (64) Musa
berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula. (65) lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di
antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami (66) Musa
berkata kepada Khidir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku
ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (67)
Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersama aku. (68) dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?" (69) Musa berkata:
"Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku
tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (70) Dia berkata:
"Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu
apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan tentang kisah Musa, bahwa RosulullohShollallohu
‘alaihiwasallamShollAllohSubhanahuwata’alau ‘AlaihiWaSallam bersabda: “Musa
berkhutbahdihadapan bani Israil. Dia ditanya, ‘Siapakah manusia yang paling
pandai’ Musa menjawab, ‘Aku’. ‘maka, AllohSubhanahuwata’ala mencelanya
karena dia belum lagi diberikan pengetahuan yang banyak. Lalu, AllohSubhanahuwata’ala
memberitahukan kepadanya, ‘Aku punya seorang hamba yang tinggal di dua lautan.
Dia lebih pandai dari pada kamu. ‘Musa berakata, ya AllohSubhanahuwata’ala
bagaimana aku menemuinya?’ AllohSubhanahuwata’ala menjawab, ‘bawalah
ikan dan simpanlah di keranjang. Diana saja ikan itu hilang di situlah hamba-Ku
berada.’ Kemudian, Musa mengambil ikan dan menyimpannya di keranjang. Musa
pergi di temani muridnya Yusya bin Nun ‘Alaihissalam.
Setelah keduanya sampai di batu besar, keduanya telentang di atas batu itu dan
tertidur. Ikan yang ada dalam keranjang bergerak-gerak lalu keluar dan jatuh ke
laut. Ikan itu berjalan di atas laut seperti fatamorgana. AllohSubhanahuwata’ala
membekukan air yang dilalui ikan sehingga air itu seperti titian.”
Tatkala keduanya bangun muridnya lupa memberi tahukan ihwal ikan
itu. Lalu, keduanya pergi menghabiskan sisa siang dan sepanjang malam. Pada
pagi hari, Musa berkata kepada muridnya, “bawalah kemari makanan kita’
sesungguhnya kita merasa letih karena perjalanan ini.” Musa tidak merasa letih
sebelum melintasi tempat seperti ditunjukkan AllohSubhanahuwata’ala
kepadanya. Muridnya berkata kepada Musa, tahukah kamu tatkala kita mencari
tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa ikan itu dan
tidaklah membuatku lupa untuk menceritakannya kecuali setan. Dan ikan itu
mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh.”
Ubay berkata, “ikan berjalan di atas air seperti fatamorgana sedang
Musa dan muridnya keheranan. Musa berkata, ‘itulah yang kita cari. Lalu,
keduanya kembali menelusuri jejak mereka semula.’
Ubay berkata, “keduanya kembali menelusuri jejak itu hingga pada
batu besar. Ternyata di sana ada seorang laki-laki yang berpakaian lengkap.
Musa memberi salam kepadanya.Khidir berkata, ‘sesungguhnya aku berada di
negrimu dengan damai.’ Musa berkata, aku Musa. ‘Khidir berkata, Musa bani Israil
?’ Musa membenarkannya. Musa berkata, aku datang menemuimu agar engkau
mengajariku sebagian ilmu yang benar yang telah diajarkan kepadamu.’ Dia
menjawab, sesungguhnya, kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku, hai
Musa. Sesungguhnya, aku memiliki sebagian pengetahuan AllohSubhanahuwata’ala
yang diajarkan kepadaku yang tidak kamu ketahui, dan engkaupun memiliki
sebagian pengetahuan AllohSubhanahuwata’ala yang diajarkan kepadamu yang
tidak aku ketahui.”
Musa berkata, “InsyaAllohSubhanahuwata’ala, kamu akan
mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam
suatu urusan pun.” Khidir berkata “jika jika kamu mengikuti aku, maka janganlah
kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu.” Kemudian, keduanya berjalan di pantai. Tiba-tiba,
melintaslah sebuah perahu. Mereka meminta kepada awak perahu agar ikut
membawanya. Awak perahu mengenali Khidir. Mereka pun naik tanpa membayar sewa.
Setelah keduanya naik perahu, tiba-tiba Khidir mencopoti papan perahu satu demi
satu dengan kapak. Musa berkata kepada Khidir, “mereka telah membawa kita tanpa
meminta bayaran lalu kamu merusak perahunya. Mengapa kamu melubanginya sehingga
menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat kesalahan yang
besar.” Khidir berkata “Bukakah aku telah berkata, sesungguhnya, kamu tidak
akan bersabar bersama denganku.” Musa berkata, “janganlah kamu menghukum aku
karena kealpaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan suatu kesulitan dalam
urusanku.”
Ubay berkata, “kemudian datanglah burung pipit dan hinggap di
pinggir perahu. Burungitu menukik ke laut satu atau dua kali. Khidir berkata
kepada Musa, pengetahuan AllohSubhanahuwata’ala yang diajarkan kepadaku
dan kepadamu hanyalah seperti air yang terbawa oleh paruh burung itu yang
menukik ke laut ini.”
Musa dan Khidir turun dari perahu. Ketika keduanya berjalan di
pantai, Khidir melihat seorang anak telah bermain dengan anak-anak lainnya.
Khidir memegang kepala anak itu lalu memelintirkannya hingga tewas. Musa
berkata kepadanya, “mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih bukan karena ia
membunuh orang lain? Sesungguhnya, kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.”
Khidir berkata, bukankah sudah aku katak kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak
akan dapat bersabar bersamaku?”
Ubay berkata “tindakan Khidir ini lebih dahsyat dari pada yang
pertama. Musa berkata, jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah ini,
maka janganlah kamu membolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya, kamu sudah cukup
memberikan uzur kepadaku. Maka, keduanya berjalan hingga tatkala sampai kepada
penduduk suatu negeri (Menurut Ibnu Juraij negeri ini adalah Elia, ada yang
menyebutkan pula Li’ama alias Bakhla’), mereka minta dijamu oleh penduduk
negeri itu tetapi penduduk negeri itu menolak untuk menjamu mereka. Kemudian,
keduanya kedapatan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh. Lalu
Khidir berisyarat dengan tangannya maka Khidir menegakkan dinding rumah itu.
Musa berkata penduduk yang kita jumpai tidak mau memberi kita makan dan menolak
untuk menjamu kita. Jikalau kau mau, niscaya kamu dapat mengambil upah untuk
itu, Khidir berkata ‘inilah perpisahan antara aku dan kamu, aku akan memberi
tahukan tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya. RosulullohShollallohu
‘alaihiwasallam bersabda “ kita sangat mengharapkan Musa dapat bersabar
sehingga AllohSubhanahuwata’ala menceritakan pengalaman keduanya kepada
kita”... [14]
Adapun dalam hadis RosulullohShollallohu ‘alaihiwasallam
disebutkan tentang sabar sebagai berikut:“Amat mengagumkan keadaan orang mukmin
itu. Sungguh semua keadaannya itu merupakan kebaikan baginya, dan kebaikan yang
sedemikian itu tidak dimiliki selain orang mu’min. Apabila ia mendapatkan
kebaikan, maka ia bersyukur sehingga hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan
apabila ia ditimpa oleh kesukaran, maka ia pun bersabar, dan hal itu merupakan
kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini terkandung dua faidah besar, yaitu:
·
Kehidupan
seorang Muslim, baik senang ataupun sulit semuanya mengandung pahala disisiAllohSubhanahuwata’alata’ala.
·
Seorang
mu’min yang sempurna imannya akan bersyukur kepada AllohSubhanahuwata’ala
ketika mendapatkan kesenangan, dan bersabar kepada-Nya ketika mendapatkan
kesulitan atau musibah, sehingga ia memperoleh kebaikan di dunia dan di
akhirat. Adapun orang yang kurang imannya, ia merasa gelisah dan marah ketika
menghadapi musibah. Maka, dia tidak hanya menanggung musibah tersebut, tetapi
juga akan mendapatkan dosa lantaran kemarahannya itu. Orang seperti ini tidak
pernah tahu berapa banyak kenikmatan yang ia peroleh, sehingga ia tidak pernah
mensyukurinya. Maka, kenikmatan itu pun berubah menjadi bencana.[15]
Al-Hasan
berkata “kesabaran itu salah satu dari berbagai harta simpanan yang baik. AllohSubhanahuwata’alatidak
memberikannya kecuali pada seorang Hamba yang mulia disisi-Nya. Sedangkan imam
Ibnu Qoyyim berkata, siapa yang AllohSubhanahuwata’ala ciptakan untuk
masuk ke surga, maka hadiah yang datang kepadanyaberupa hal-hal yang dibenci
(dilarang) tatkala didunia. Siapa yang AllohSubhanahuwata’ala ciptakan
untuk masuk ke neraka, maka hadiah yang diberikan kepadanya berupa hal-hal yang
sesuai dengan syahwat (ketika di dunia). Beliau juga berkata, siapa yang
merasakan manisnya nikmat kesehatan maka segala kesulitan yang mesti dihadapi
dengan penuh kesabaran sangat mudah baginya.[16]
Betapa
bayak ayat-ayat alQur’an danhadits yang berbicara tentang sabar dan
urgensitasnya, maka sabar pun harus diterapkan dalam proses belajar mengajar,
baik oleh guru maupun muridnya sebagaimana diceritakan dalam alQur’an tentang
Musa dan Khidir.
3.
Bertanya
Kepada Orang yang Lebih Mengetahui
وَمَآأَرۡسَلۡنَا مِن
قَبۡلِكَ إِلَّا رِجَالٗانُّوحِيٓإِلَيۡهِمۡۖفَسَۡٔلُوٓاْأَهۡلَٱلذِّكۡرِ إِن
كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali
orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui”. (Surat an- Nahl: 43)
Dalam tafsir Al Muyassar dijelaskan, “kami tidak mengutus
pada umat-umat sebelummu wahai Rosul, kecuali rosul dari kalangan laki-laki
bukan dari kalangan malaikat, yang Kami berikan wahyu kepada mereka. Jika
kalian wahai orang-orang musyrik Quraisy, tidak percaya akan hal itu, maka
bertanyalah kepada Ahlul kitab sebelumnya supaya mereka menyampaikan kepada
kalian bahwa para Nabi itu semuanya manusia, jika kalian tidak mengetahui bahwa
mereka itu manusia. Ayat ini berlaku umum dalam semua persoalan agama. Jika
seseorang tidak memiliki pengetahuan tentangnya, maka hendaklah ia bertanya
kepada orang yang mengetahuinya, yaitu ulama yang mendalam ilmunya.[17]
Sedangkan dalam kitab Ringkasan Tafsir Ibnu katsir dijelaskan,
bahwasanya Adh-Dhahak meriwayatkan dari Ibnu Abbas : ketika AllohSubhanahuwata’ala
mengutus Muhammad, maka sebagian bangsa Arab mengingkarinya. Mereka berkata
“Bagaimana mungkin AllohSubhanahuwata’ala yang demikian agung mengutus seorang
manusia sebagai Rosul-Nya.” Maka di turunkanlah ayat, “patutkah menjadi
keheranan bagi manusia bahwa kami mewahyukan kepada seorang laki-laki diantara
mereka, Berilah peringatan kepada manusia…”(Yunus : 2). Sedangkan di dalam ayat
ini AllohSubhanahuwata’ala berfirman “Dan Kami tidak mengutus sebelum
kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui”.
Maksudnyatanyakanlah kepada Ahli kitab, apakah dahulu rosul mereka
itu manusia ataukah malaikat ? jika mereka malaikat wajarlah jika kamu ingkar.
Namun jika mereka itu manusia maka jangan heran terhadap keberadaan Muhammad
sebagai Rosul.
Mujahid juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud
dengan “orang yang mempunyai pengetahuan” ialah ahli kitab. Ayat ini
bertujuan untuk menerangkan bahwa para Rosul terdahulu yang diutus sebelum
Muhammad pun adalah manusia seperti halnya Muhammad, sebagaimana firman AllohSubhanahuwata’ala,
“ Katakanlah, Bahwasanya aku hanyalah manusia seperti kamu, diwahyukan
kepadaku….”(Fushshilat :6)
Kemudian AllohSubhanahuwata’ala mengarahkan orang-orang yang
meragukan keberadaan Rosul berupa manusia agar mereka bertanya kepada pemegang
kitab-kitab terdahulu ihwal para Nabinya, Apakah mereka manusia ataukah
Malaikat ?[18]
Meskipun ayat tersebut menunjukkan tentang orang yang lebih tahu
dalam perkara agama (ilmu-ilmu agama), namun ini pun bukan berarti meniadakan
untuk diterapkan sebagai konsep/adab dalam belajar mengajar.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Etika/adab harus dimiliki oleh setiap
individu supaya jalinan hubungansosialnya berjalan dengan baik dan bermakna.
Begitu juga dalam proses pendidikan.Seorang guru atau murid hendaklah memiliki etika
dalam proses belajar mengajar. Karena eksistensi etika pada proses pendidikan
akan mempengaruhi kualitas aspek aksiologi dari ilmu yang diperoleh. Pertama,Mulai
dari menyucikan jiwanya dengan meluruskan niat.kedua, bersabar dalam
proses belajar mengajar.Ketiga, serta bertanya kepada yang lebih ahli
(mempunyai ilmu) dan adab-adab yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Faris, Muhammad Abdul Qodir.2005. Menyucikan Jiwa. Jakarta: Gema Insani
Press.
Al
Bugha,MusthafaDib. 2012. SyarahRiyadhusShalihin. Jakarta: Gema Insani
Press.
Al Jauziyah,
Ibnu Qoyyim. Uddahash-Shabirin. t.t.
Al-Maqdisy,Ibnu
Qudamah. 2008. MinhajulQashidin. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.
Al
Mishri, Mahmud. 2009. Ensiklopedi Akhlak Muhammad. Jakarta: Pena.
Al
Mubarakfuri,Safiyurrahman. 2006. Shohih Tafsir Ibnu katsir. Bogor:
Pustaka Ibnu kasir.
AlUtsaimin, Muhammad bin Shalih. 2005.SyarahAdabdanManfaatMenuntutIlmu,
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I.
Ar
Rifa’i, Muhammad Nasib.2012. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema
Insani Press.
AsySyalhub, Fu’ad bin Abdul Aziz.2013. Begini
seharusnya menjadi guru (terjemah al-Mu’allimal-Awwal
-QudwahLikulliMu’allimwaMu’allimah-, Daral-Qasim). Jakarta: DarulHaq.
Basyir, Hikmat. 2012.Tafsir Al-Muyassar. Solo: AnNaba.
Farid, Ahmad.
2011. Pendidikan berbasis metode Ahlussunnahwaljama’ah. Surabaya:
Pustaka eLBA.
Munawwir, A.W. 1997. Kamus Al-MunawwirArab-Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
M Yusuf, Kadar. 2013. Tafsir tarbawi pesan pesan Al Quran
tentang pendidikan. Jakarta: Amzah.
Nata,
Abuddin. 2010. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayatal-Tarbawiy).
Jakarta: PT Raja Grafindo.
Sumber
dari internet
[1] Metode tafsir yang cara bekerjanya dimulai dengan menetapkan tema yang
akan dibahas, menghimpun ayat-ayat yang ada hubungannya dengan tema,
menghubungkan antara ayat-ayat, mempelajari latar belakang turunnya ayat-ayat,
menjelaskan makna kosa kata yang terdapat pada ayat-ayat, melakukan pembahasan
ayat dengan menggunakan hadits, kaidah kebahasaan, dan menganalisanya dengan
menggunakan ilmu bantu yang relevan, dan kemudian menyimpulkannya. Lihat Prof. Dr.
H. AbuddinNata, M.A., Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir
al-Ayatal-Tarbawiy). Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010, Hal 4.
[3]A.W. Munawwir, Kamus Al-MunawwirArab-Indonesia
Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progressif. 1997. Hal 462.
[4] Dr. Kadar M Yusuf, M.Ag. Tafsir tarbawi pesan
pesan Al Quran tentang pendidikan. Jakarta: Amzah. 2013. Hal 58.
[5]SafiyurrahmanalMubarakfuri.Shohih Tafsir Ibnu katsir.Bogor:
Pustaka Ibnu kasir jilid 7.2006. Hal 721., Muhammad Nasib ArRifa’i. Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir jilid 4. Jakarta : Gema Insani Press. 2012. Hal 75.
[6] Muhammad Abdul Qodir Abu Faris. Menyucikan Jiwa.Jakarta:Gema
Insani Press.2005. Hal15.
[7] Mahmud alMishri.Ensiklopedi Akhlak Muhammad.Jakarta: Pena.2009. Hal 36.
[8]Syaikh Ahmad Farid. Pendidikan berbasis metode Ahlussunnah bal
jama’ah. Surabaya: Pustaka eLBA. 2011. Hal 276.
[9]Muhammad bin Shalihal-‘Utsaimin. SyarahAdabdanManfaatMenuntutIlmu,
Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I. 2005. Hal 11.
[10] Dr Kadar M Yusuf, M.Ag. Tafsir tarbawi pesan pesan Al Quran tentang
pendidikan. Jakarta: Amzah. 2013. Hal 61.
[11] Fu’ad
bin Abdul Aziz asy-Syalhub, Begini
seharusnya menjadi guru (terjemah al-Mu’allimal-Awwal -QudwahLikulliMu’allimwaMu’allimah-,
Daral-Qasim). Jakarta: DarulHaq. 2013. cet ke VI. Hal 7.
[13] Ibnu QudamahAl-Maqdisy. MinhajulQashidin.
Jakarta: Pustaka As-Sunnah. 2008. Hal 479.
[14] Muhammad Nasib ArRifa’i. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid 3.
Jakarta: Gema Insani Press. 2012. Hal, 110-114.
[15]MusthafaDibal-Bugha. SyarahRiyadhusShalihinJilid 1 Jakarta: Gema
Insani Press. 2012. Hal 50-51.
[16]Ibnu QudamahAl-Maqdisy. MinhajulQashidin. Jakarta: Pustaka As-Sunnah.
2008. Hal 480.
[17] Hikmat Basyir. Tafsir
Al-Muyassar jilid 2. Solo:AnNaba. 2012. Hal 283.
[18] Muhammad Nasib ArRifa’i. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2.
Jakarta:Gema Insani Press. 2012. Hal 733.
Tidak ada komentar
Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.
Salam : Admin K.A.