MAKALAH PENDIDIKAN
KEBUDAYAAN DALAM PENDIDIKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Budaya akan terus berkembang dan berubah sejalan dengan perkembangan
zaman, percepatan perkembangan ilmu dan tekhnologi, serta perkembangan
kepandaian manusia. Pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Pendidikan dan
kebudayaan mempunyai pengaruh timbal balik, bila kebudayaan berubah, maka
pendidikan juga bisa berubah dan begitu juga bila pendidikan berubah, maka akan
dapat mengubah kebudayaan.
Tampak disini bahwa peranan pendidikan dalam mengembangkan kebudayaan
sangat besar, sebab pendidikan adalh tempat manusia-manusia dibina,
ditumbuhkan, dan dikembangkan, semakin mampu ia menciptakan dan mengembangkan
kebudayaan. Kebudayaan dikembangkan oleh manusia atau berkembang selama manusia
masih ada.
Pendidikan adalah enkulturasi(Imran Manan, 1989). Pendidikan adalah suatu
proses membuat orang kemasukan budaya, membuat orang berperilaku mengikuti
budaya yang memasuki dirinya. Enkulturasiini terjadi dimana, disetiap tempat
hidup seseorang dan setiap waktu yang kemudian menjadi luas yaitu semua lini
kehidupan manusia, sebab di manapun orang berada di situlah terjadi proses
pendidikan, di situlah terjadi enkulturasi.[1]
B. Rumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang masalah yang telah disebutkan diatas, maka dapat di
rumuskan sebuah masalah tentang “Bagaimana Konsep Hubungan Pendidikan dan Kebudayaan?”
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini adalah untuk Mengetahui Konsep
Hubungan Pendidikan dan Kebudayaan.
D. Metodologi Penulisan
Penulisan makalah yang dilakukan oleh penulis menggunakan metode library
research dengan mencari dan mengumpulkan data-data ilmiah yang relevan dan
objektif dengan tema yang dibahas terutama yang terdapat dalam buku-buku
karangan para‘Ulamadan ahli pendidikan (Tarbiyyah),para salaf al-shalih sertabuku-buku
pendidikan (Tarbiyyah) kontemporer saat ini, karena penulisan makalah
ini sangat erat kaitannya dengan pembahasan
yang terdapat padabuku tersebut.
BAB II
KEBUDAYAAN dan PENDIDIKAN
A.
Makna Kebudayaan
Istilah kebudayaan
merupakan kata bentukan dari kata “budaya” dan imbuhan “ke-an”. Berikut
beberapa artikulasi kebudayaan menurut para ahli, diantaranya:
1. Taylor
Kebudayaan adalah
totalitas yang kompleks mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral,
adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh orang sebagai
anggota masyarakat.[2]
2. Imran Manan
Kebudayaan itu mempunyai
lima komponen yaitu: (1) Gagasan, (2) Ideologi, (3) Norma, (4) Teknologi, dan
(5) Benda.[3] Ada sebagian ahli budaya
menambahkan beberapa komponen lagi, yaitu: (1) Kesenian, (2) Ilmu dan (3)
Kepandaian.
3. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kebudayaan merupakan
hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan,
kesenian, dan adat istiadat.[4]
4.
Dalam Ilmu Antropologi
Kebudayaan merupakan keseluruhan
pengetahuan manusia sbg makhluk sosial yg digunakan untuk memahami lingkungan
serta pengalamannya dan yg menjadi pedoman tingkah lakunya.[5]
B.
Makna Pendidikan
Kaitannya Dengan Kebudayaan
Menurut Moh. Al-Toumy al
– Syaibani, dalam Armai Areif (2007: 183) pendidikan Islam adalah “usaha
mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya
dan kehidupan dengan alam sekitarnya melalui proses pendidikan.” Jadi, proses
pedidikan merupakan rangkaian membimbing dan mengarahkan potensi hidup manusia
berupa kemampuan-kemampuan dasar, sehingga terjadilah perubahan dalam kehidupan
pribadinya sebagai makhluk individu dan sosial, serta hubungannya dengan alam
sekitar tempat dia hidup. Proses terserbut senantiasa berada dalam nilai-nilai
islami.[6]
Dalam perkembangan
selanjutnya, secara terminologi, “ Pendidikan lebih dikonsentrasikan kepada
manusia, sehingga ketika disebut kata pendidikan maka yang terbanyang adalah
kelompok manusia, mengingat manusia adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah subhanahu
wa ta’ala dalam struktur fisiologis dan psikologisnya, sehingga
memungkinkan mereka mengeksploitasi alam atau makhluk lainnya”.[7] Dengan demikian, manusia
mempunyai potensi untuk dididik dengan baik karena manusia mempunyai
pendengaran, penglihatan, dan hati sanubari, seperti, tersebut dalam surat
al-Nahl ayat 78.[8]
Dalam pada itu,
pendidikan juga diistilahkan dengan kalimat al-ta’dib.[9]
أدّ بني ربّي
فأحسن تأديبي
Artinya: “Tuhanku telah
mendidikku, Dia menyempurnakan Pendidikanku.”
Pada tingkat operasional
pendidikan dapat dilihat padapraktik yang dilakukan oleh Rasulullahshalallahu
‘alaihi wa sallam, antara lain beliau telah membacakan ayat-ayat Allah subhanahu
wa ta’ala kepada manusia,
membersikan mereka dari kemusyrikan dan mengajarkan kepada manusia kitab dan
hikmah.[10]Dalam kitab Tafsir
al-Muyassar dikatakan maksud dari ayat ini, yaitu:
الله سبحانه هو الذي أرسل
في العرب الذين لا يقرؤون، ولا كتاب عندهم ولا أثر رسالة لديهم، رسولا منهم إلى
الناس جميعًا، يقرأ عليهم القرآن، ويطهرهم من العقائد الفاسدة والأخلاق السيئة،
ويعلِّمهم القرآن والسنة
Artinya: “Dia-lah yang mengutus atas orang-orang Arab yang tidak bisa
membaca, yang mereka tidak memiliki kitab dan juga pesan kepada mereka, Seorang
Rasul dari kalangan mereka untuk seluruh umat umat manusia, dibacakan kepada
mereka al-Qur'an, dan menyucikan mereka dari doktrin-doktrin dan akhlak yang
buruk, dan mengajarkan mereka al-Qur'an dan al-Sunnah.”[11]
John Dewey dalam Muzayyin
Arifin (2005: 3) memandang pendidikan merupakan suatu proses pembentukan
kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelegencia)
maupun daya perasa (emotional) menuju ke arah tabiat manusia.[12]
Suparlan Suhartono (2007:
79) menjelaskan:
“ Pendidikan adalah segala kegiatan yang berlangsung sepanjang zaman dalam
segala situasi kehidupan. Pendidikan berlangsung disegala jenis, bentuk, dan
tingkatan lingkungan hidup, yang kemudian mendorong pertumbuhan segala potensi
yang ada di dalam diri individu, sehingga mampu mengubah dan mengembangkan
dirinya menjadi dewasa, cerdas, dan matang. Jadi singkatnya pendidikan
merupakan sistem perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan
diri. Dewasa dalam hal fisik, cerdas dalam hal perkembangan jiwa, dan matang
dalam hal berprilaku. Dalam lingkah kegiatan pendidikan selanjutnya, ketiga
sasaran tersebut, menjadi kerangka kebudayaan hidup manusia”.[13]
Untuk mengetahui kaitan antara
makna pendidikan dan kebudayaan, terlebih dahulu diperlukan pemahaman mengenai
kebudayaan itu sendiri, paling tidak dari segi pengertian. Kebudayaan: Cultuur
(bahasa Belanda), Culture (bahas Inggris), Colere (bahas
latin) yang berati mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan
terutama potesi alam. Dari segi arti ini, berkembanglah arti kultur sebagai
segala daya dan aktivitas manusia untuk mengembangkan, mengolah atau mengubah
potensi alam.[14]
Selanjutnya Abu Ahmadi,
(2004: 58), menjelaskan bahwa kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah”
bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Sedangkan kata “budaya” berati budi dan daya,
berupa proses cipta, rasa dan karsa manusia. Adapun “kebudayaan” adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa
tersebut.[15]
Kebudayaan menurut
Basrowi, (2005: 72), adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan
manusia, meliputi:
1.
Kebudayaan materil
(bersifat jasmaniah) yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya:
kendaraan, bangunan, peralatan, dan lain-lain.
2.
Kebudayaan non-materil
(bersifat rohaniah) seperti: bahasa, ilmu pengetahuan, keyakinan, dan
lain-lain. Kebudayaan bukan diwariskan secara generatif (biologis) melainkan
hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar (melalui pendidikan).[16]
Dari pengertian diatas,
dapat dirumuskan bahwa pendidikan adalah perangkat kegiatan yang paling banyak
berpengaruh terhadap perilaku manusia. Sebab kajian mengenai manusia dalam
pendidikan merupakan suatu keharusan filosofis, artinya manusia adalah inti
utama dari proses pendidikan. Hal ini dapat dipahami dari kenyataan, bahwa
pendidikan berkepentingan membantu dan mengarahkan manusia untuk mengembankan
segenap potensi dan hakikat kemanusiaannya. Disamping itu, pendidikan memberikan
kontribusi terhadap cipta, rasa, dan karsa manusia sebagai cikal bakal lahirnya
kebudayaan, dan kebudayaan tersebut hanya mungkin diperoleh lewat belajar,
bukan diwariskan secara generatif (biologis), intinya pendidikan adalah sebagai
media transmisi kebudayaan.
C.
Pendidikan Sebagai
Pembentukan Kebudayaan
Kemampuan
menguasai dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peningkatan
taraf hidup masyarakat merupakan kontribusi proses pendidikan terhadap
kebudayaan. Manusia Indonesia pada umumnya, cukup mempunyai potensi itu. Tapi
pengusaan ilmu dan tekhnologi tidak cukup hanya dengan potensi tersebut.
Terbukti bagaimana barat dengan penguasaan ilmu teknologi yang sangat luar
biasa, tetapi tingkah laku, sikap, dan kebudayaan yang diciptakan kemudian
sangat bobrok (pergaulan bebas dan lain-lain).
Dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 mulai dimasukkan
target pendidikan yang lebih mengarah pada nilai-nilai kemasyarakatan dan
berlandaskan agama yaitu afeksi (pendidikan moral). Bagaimana proses pendidikan
bisa menghasilkan cipta, rasa,dan karsa manusia yang memiliki sinergitas dengan
iman dan akhlak (moral) serta menjadi pola tingkah laku (‘amal
al-Sholeh)
dalam kehidupannya dimasyarakat.[17]
Sebagaimana
dalam menghadapi perkembangan sosial budaya tersebut, UNESCO berusaha
mengakomodasi tuntutan sosial pendidikan dengan menegaskan pilar-pilar yang
direkomendasikan di dunia pendidikan, yaitu : “learning
to Know, learning to do, learning to be, learning to live together”.
Di
Indonesia, pilar-pilar tersebut belum sepenuhnya dapat ditegakkan. Padahal
prinsip pendidikan tersebut sangat komprehensif, jika dapat diterapkan dengan
benar dan konsisten tentu akan menjadikan anak didik mampu menjadi insan yang
selain menguasai informasi dan ilmu pengetahuan juga memiliki tanggung jawab (sense
of responsibility) serta kepedulian sosial-budaya yang tinggi.[18]
Menurut
Mu’arif pada era demokrasi, penyelenggaraan pendidikan harus berorientasi pada
kepentingan kehidupan rakyat banyak. Realitas kehidupan rakyat Indonesia sangat
Heterogen, dalam aspek kemampuan diri, kehidupan ekonomi, ras, agama, suku dan
sebagainya. Oleh karena itu, pendidikan pada era demokrasi saat ini harus
mengandung wawasan kebhinekaan (Multikulturalisme). Namun, bagaimanakah
sesungguhnya pendidikan yang berwawasan Multikultural itu?[19]
Paradigma pendidikan yang berwawasan multikultural
sebenarnya berangkat dari suatu kesadaraan, bahwa setiap manusia memiliki
potensi-potensi yang berbeda (heterogenitas). Dengan menyadari bahwa manusia
memiliki perbedaan potensi (kemampuan) maka proses pendidikan wajib
dilaksanakan dengan prinsip kearifan. Jangan sampai potensi yang dimiliki oleh
setiap peserta didik diabaikan begitu saja. Sebab, yang demikian justru akan
menimbulkan model penindasan baru dalam dunia pendidikan.
Tujuan
utama pendidikan multikultural adalah untuk demokratisasi, humanisasi, dan keadilan
yaitu dengan prinsip mengakomodir dan menghargai ragam perbedaan kultur
yang dibawa oleh masing-masing peserta didik di sekolah. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi perbedaan-perbedaan kultural itu, Diantaranya yaitu:
1.
Perbedaan perilaku
keagamaan yang dimiliki oleh setiap siswa, harap dimengerti, yang dimaksud
dengan kultur dalam konteks ini adalah perilaku keagamaannya, jadi bukan pada
ajaran agama itu sendiri. Sebab,
agama jelas bukan suatu kultur, melainkan perilaku yang didasarkan atas suatu
ajaran agamakemudian disebut kultur. Dalam hal ini, sangat mungkin terjadi
ketika disebuah kelas terdapat banyak keyakinan dan agama yang dianut oleh para
peserta didik. Perilaku keagamaan antara yang satu dengan yang lain jelas
berbeda, sehingga dibutuhkan sikap yang arif bagi seorang pendidik untuk
menyikapi fenomena tersebut.
2.
Perbedaan etnis dan corak bahasa yang dimiliki oleh
para peserta didik. Zaman sekarang merupakan era global sehingga sangat
mudah terjadi pertemuaan antara berbagai macam budaya (akulturasi). Seperti
terjadi disebuah kelas, sangat mungkin latar belakang peserta didik berasal
dari berbagai daerah. Hal itu jelas mewujudkan adanya ragam bahasa yang dimiliki oleh
masing-masing peserta didik. Maka, peran guru sangat perlu dan peka untuk
menyikapi perbedaan etnis dan bahasa yang dimiliki para peserta didik.
3.
Perbedaan jenis kelamin dan gender (konstruksi
sosial). Jenis kultur yang satu ini sangat sering dijumpai dalam setiap lembaga
pendidikan dimanapun. Karena, perbedaan jenis kelamin dan Gender itu banyak
mewarnai kehidupan manusia pada umumnya. Ketika pendidikan tidak mampu
mengakomodir perbedaan jenis kelamin dan gender itu, bukannya mustahil,
malah pendidikan itu akan melahirkan ketidakadilan.
4.
Perbedaan status sosial. Setiap peserta didik sudah
barang tentu berlatar belakang status sosial yang berbeda. Ada peserta didik
yang berasal dari kalangan keluarga mampu (the have). Namun,
ada juga peserta didik yang berasal dari keluarga miskin (non the have).
Disini pendidikan harus mampu mengakomodir kedua jenis latarbelakang sosial
itu. Jangan sampai pendidikan hanya diorientasikan pemenuhan kebutuhan para
peserta didik dari keluarga mampu saja, sementara mereka
yang berlatar belakang keluarga miskin malah diabaikan. Atau sebaliknya,
pendidikan jangan hanya mengurusi kebutuhan kalangan keluarga miskin, sementara
mereka dari kalangan keluarga mampu tercampakkan begitu saja.
5.
Perbedaan kemampuan, baik secara fisik (diffable)
maupun non fisik. Perbedaan kemampuan secara fisik yang lebih populer disebut diffable
menjadi problem pendidikan kita saat ini. Pendidikan kita kurang
mengakomodir problem diffable itu sehingga banyak peserta didik yang
memiliki cacat fisik harus kerepotan mengikuti proses pendidikan yang
diselenggarakan secara konvensional. Kemudian,
problem kemampuan secara non fisik berkaitan dengan perbedaan umur dan kualitas
peserta didik yang berbeda-beda. Maka, proses pendidikan yang dilaksanakan
secara general hanya mengaburkan aspek perbedaan segi kemampuan itu, baik
secara fisik ataupun nonfisik.
Tujuan
utama dari pendidikan multikultural yang diharapkan bisa mengakomodir ragam
perbedaan kultur diatas adalah untuk menciptakan keadilan dalam pendidikan.
Dengan mengakomodir perbedaan itu, otomatis proses pendidikan akan berjalan
secara demokratis. Ibarat pepatah “sekali mendayung dua-tiga pulau telah
terlewati”. Artinya dengan menerapkan pendidikan berwawasan multikultural itu
akan mampu menciptakan iklim demokratis sekaligus menuju terwujudnya keadilan
dalm proses pendidikan.
D.
Pendidikan Sebagai Simbol
Peradaban Manusia
Pendidikan pada
hakikatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai yang akan menjadi penolong
dan penentu umat manusia dalam menjanani kehidupan, sekaligus untuk memperbaiki
nasib dan peradaban umat manusia. Secara ekstrem, bahkan dapat dikatakan bahwa
maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat, suatu bangsa,
akan ditentukan oleh bagaimana proses pendidikan yang dijalani oleh masyarakat
bagsa tersebut.[20]
Dalam konteks tersebut,
maka kemajuan peradaban yang dicapai umat manusia dewasa ini sudah tentu tidak
terlepas dari peran-peran pendidikannya. Diraihnya kemajuan ilmu dan teknologi
yang dicapai bangsa-bangsa di berbagai belahan bumi ini, merupakan akses produk
suatu pendidikan, sekalipun diketahui bahwa kemajuan yang dicapai dunia
pendidikan sedang selalu di bawah kemajuan yang dicapai dunia industri yang
memakai produk lembaga pendidikan. Pergeseran drastis paradigma pendidikan
sedang terjadi, dengan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu
cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi informasi internet yang
memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan, dan
waktu. Penggesahan paradigma tersebut juga didukung dengan adanya kemauan dan
upaya untuk melakukan reformasi total dipelbagai aspek kehidupan bangsa dan
negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk pendidikan.
Oleh karena itu,
pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui sebagai akibat konsekuensi
logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan untuk mengubah
masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi
manusia, taat hukum, menghargai perbedaan, dan terbuka menuju masyarakat madani
Indonesia. Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai
akibat dari “percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem
pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi
terpusat pada lembaga pendidikan formal (SD, SMP, SMA, PT) yang konvensional.
Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar di mana- mana dan setiap orang akan
dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesullitan. Paradigma ini dikenal
sebagai distributed intelligence (distributed knowledge).
Kondisi diatas, akan
berpengaruh pada fungsi tenaga pendidik (guru dan dosen) dan lembaga pendidikan
“ akhirnya beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi mediator”
dari ilmu pengetahuan tersebut. Proses long life learning dalam dunia
pendidikan informal yang sifatnya lebih learning based daripada teaching
based akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Peranan web,
homepage, cd-room merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed
knowledge semakin berkembang. Hal ini, secara langsung akan menantang
sistem kurkulum yang kaku (rigid) dan sifatnya terpusat dan mapan.
Melihat pergeseran
paradigma pendidikan di atas, menurut Hujair Ah. Sanaky dalam Abdul Halim
Fathani, (www.google.id.com-desember 2006) pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi
untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut,
apabila tidak, maka pendidika islam aka tertinggal dalam persaingan global.
Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab tersebut, paling tidak harus
memperhatikan beberapa ciri, antara lain: (1) pendidikan Islam “diupayakan
lebih diorientasikan atau lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran (learning)
daripada mengajar (teaching).” (2) Pendidikan Islam dapat “diorganisir
dalam suatu struktruryang lebih bersifat fleksibel.” (3) Pendidikan Islam dapat
“memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus,
mandiri, dan berpotensi.” (4) Pendidikan Islam, “merupakan proses yang
berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan” (Zamroni, 2000:
9). Keempat ciri diatas, dapat disebut dengan paradigma pendidikan
sistematik-organik yang “menuntut pendidikan bersifat double tracks,
artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan dan dinamika masyarakat.”[21]
Dalam pelaksanaan
pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikandengan kebutukan masyarakat
pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena keterkaitan ini memiliki
arti, bahwa peserta didik bukan hanya ditentukan oleh apa yang mereka
lakukan di lingkungan sekolah, melainkan
peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan
di masyarakat pada umumnya. Dengankata lain, pendidikan yang bersifat double
tracks, menekankan pengembagan pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara
tuntutan kebutuhan masyarakat, dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan formal
persekolahan, sehingga “sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang
memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan
tuntunan masyarakat yang senantiasa bertambah dengan cepat.
Dalam
konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga
pendidikan islam yang ada. Memang diakui penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan
pada akhir-akhir ini cukup menggembirakan, artinya lembaga pendidikan memenuhi
keinginan untuk menjadikan lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari
ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada
kenyataanya penyesuaian tersbut lebih merupakan peniruan dengan tambal-tambal
sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang dilakukan oleh lembaga
pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang bisa dilakukan
oleh lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga pendidikan
agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat
serta terjadi tumpang tindih.
Dalam menghadapi tarikan
eksternal dan internal tersebut maka munculah dinamika baru dalam pendidikan
Islam, yakni usaha meninjau kembali seluruh komponennya secara inovatif,
kreatif, progresif,holistik, dan adaptif dengan tuntutan modernitas.[22]
Upaya-Upaya tersebut
antara lain dilakukan dengan melakukan perbaikan terhadap berbagai komponen
pendidikan, serta berbagai upaya lainnya, seperti perumusan kembali tentang
paradigma pembangunan sumber daya manusia, menjadikan Tarbiyah Islamiyah sebagai
pendidikan yang unggul, menjadikan madrasah sebagai pilihan yang utama,
perumusan kembali kurikulum pendidikan dasar Islam, perumusan konsep pendidikan
anak usia dini, perumusan tentang paradigma pendidikan karakter, pendidikan
akhlak mulia, pengembangan karakter pegawai, peningkatan profesionalisme guru,
serta dengan meninjau secara kritis tentang untung ruginya sekolah gratis.[23]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
a)
Makna Kebudayaan
Istilah kebudayaan merupakan kata bentukan dari kata “budaya” dan imbuhan
“ke-an”. Berikut beberapa artikulasi kebudayaan menurut para ahli, diantaranya:
1.
Taylor
Kebudayaan adalah totalitas yang kompleks mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan
yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.[24]
2.
Imran Manan
Kebudayaan itu mempunyai lima komponen yaitu: (1) Gagasan, (2) Ideologi,
(3) Norma, (4) Teknologi, dan (5) Benda.[25] Ada sebagian ahli budaya
menambahkan beberapa komponen lagi, yaitu: (1) Kesenian, (2) Ilmu dan (3)
Kepandaian.
3.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia
Kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat.[26]
4.
Dalam Ilmu Antropologi
Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia sbg makhluk sosial yg
digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yg menjadi pedoman
tingkah lakunya.[27]
b)
Makna Pendidikan
Kaitannya Dengan Kebudayaan
Menurut Moh. Al-Toumy al – Syaibani, dalam Armai Areif (2007: 183)
pendidikan Islam adalah “usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dengan alam
sekitarnya melalui proses pendidikan.” Jadi, proses pedidikan merupakan
rangkaian membimbing dan mengarahkan potensi hidup manusia berupa
kemampuan-kemampuan dasar, sehingga terjadilah perubahan dalam kehidupan
pribadinya sebagai makhluk individu dan sosial, serta hubungannya dengan alam
sekitar tempat dia hidup. Proses terserbut senantiasa berada dalam nilai-nilai
islami.[28]
Dari pengertian diatas, dapat dirumuskan bahwa pendidikan adalah perangkat
kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perilaku manusia. Sebab kajian
mengenai manusia dalam pendidikan merupakan suatu keharusan filosofis, artinya
manusia adalah inti utama dari proses pendidikan. Hal ini dapat dipahami dari
kenyataan, bahwa pendidikan berkepentingan membantu dan mengarahkan manusia
untuk mengembankan segenap potensi dan hakikat kemanusiaannya. Disamping itu,
pendidikan memberikan kontribusi terhadap cipta, rasa, dan karsa manusia
sebagai cikal bakal lahirnya kebudayaan, dan kebudayaan tersebut hanya mungkin
diperoleh lewat belajar, bukan diwariskan secara generatif (biologis), intinya
pendidikan adalah sebagai media transmisi kebudayaan.
c)
Pendidikan Sebagai
Pembentukan Kebudayaan
Kemampuan menguasai dan menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta peningkatan taraf hidup masyarakat merupakan
kontribusi proses pendidikan terhadap kebudayaan. Manusia Indonesia pada
umumnya, cukup mempunyai potensi itu. Tapi pengusaan ilmu dan tekhnologi tidak
cukup hanya dengan potensi tersebut. Terbukti bagaimana barat dengan penguasaan
ilmu teknologi yang sangat luar biasa, tetapi tingkah laku, sikap, dan
kebudayaan yang diciptakan kemudian sangat bobrok (pergaulan bebas dan
lain-lain).
Sebagaimana dalam menghadapi perkembangan sosial
budaya tersebut, UNESCO berusaha mengakomodasi tuntutan sosial pendidikan
dengan menegaskan pilar-pilar yang direkomendasikan di dunia pendidikan, yaitu
: “learning to Know, learning to do, learning to be,
learning to live together”.
Di Indonesia, pilar-pilar tersebut belum
sepenuhnya dapat ditegakkan. Padahal prinsip pendidikan tersebut sangat
komprehensif, jika dapat diterapkan dengan benar dan konsisten tentu akan
menjadikan anak didik mampu menjadi insan yang selain menguasai informasi dan
ilmu pengetahuan juga memiliki tanggung jawab (sense of responsibility)
serta kepedulian sosial-budaya yang tinggi.[29]
Paradigma pendidikan yang berwawasan multikultural
sebenarnya berangkat dari suatu kesadaraan, bahwa setiap manusia memiliki
potensi-potensi yang berbeda (heterogenitas). Dengan menyadari bahwa manusia
memiliki perbedaan potensi (kemampuan) maka proses pendidikan wajib
dilaksanakan dengan prinsip kearifan. Jangan sampai potensi yang dimiliki oleh
setiap peserta didik diabaikan begitu saja. Sebab, yang demikian justru akan
menimbulkan model penindasan baru dalam dunia pendidikan.
Tujuan utama pendidikan multikultural adalah
untuk demokratisasi, humanisasi, dan keadilan yaitu dengan prinsip mengakomodir
dan menghargai ragam perbedaan kultur yang dibawa oleh masing-masing peserta didik
di sekolah. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengidentifikasi
perbedaan-perbedaan kultural itu, Diantaranya yaitu:
1. Perbedaan perilaku keagamaan.
2. Perbedaan
etnis dan corak bahasa yang dimiliki oleh para peserta didik.
3. Perbedaan
jenis kelamin dan gender (konstruksi sosial).
4. Perbedaan
status sosial.
5. Perbedaan
kemampuan, baik secara fisik (diffable) maupun non fisik. Perbedaan
kemampuan secara fisik yang lebih populer disebut diffable menjadi
problem pendidikan kita saat ini.
Tujuan utama dari pendidikan multikultural yang
diharapkan bisa mengakomodir ragam perbedaan kultur diatas adalah untuk
menciptakan keadilan dalam pendidikan. Dengan mengakomodir perbedaan itu,
otomatis proses pendidikan akan berjalan secara demokratis. Ibarat pepatah
“sekali mendayung dua-tiga pulau telah terlewati”. Artinya dengan menerapkan
pendidikan berwawasan multikultural itu akan mampu menciptakan iklim demokratis
sekaligus menuju terwujudnya keadilan dalm proses pendidikan.
d)
Pendidikan Sebagai Simbol
Peradaban Manusia
Pendidikan pada hakikatnya merupakan suatu upaya mewariskan nilai yang
akan menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam menjanani kehidupan,
sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Secara ekstrem,
bahkan dapat dikatakan bahwa maju mundurnya atau baik buruknya peradaban suatu
masyarakat, suatu bangsa, akan ditentukan oleh bagaimana proses pendidikan yang
dijalani oleh masyarakat bagsa tersebut.[30]
Dalam menghadapi tarikan eksternal dan internal tersebut maka munculah
dinamika baru dalam pendidikan Islam, yakni usaha meninjau kembali seluruh
komponennya secara inovatif, kreatif, progresif,holistik, dan adaptif dengan
tuntutan modernitas.[31]
Upaya-Upaya tersebut antara lain dilakukan dengan melakukan perbaikan
terhadap berbagai komponen pendidikan, serta berbagai upaya lainnya, seperti
perumusan kembali tentang paradigma pembangunan sumber daya manusia, menjadikan
Tarbiyah Islamiyah sebagai pendidikan yang unggul, menjadikan madrasah
sebagai pilihan yang utama, perumusan kembali kurikulum pendidikan dasar Islam,
perumusan konsep pendidikan anak usia dini, perumusan tentang paradigma
pendidikan karakter, pendidikan akhlak mulia, pengembangan karakter pegawai,
peningkatan profesionalisme guru, serta dengan meninjau secara kritis tentang
untung ruginya sekolah gratis.[32]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Ahmadi, Abu. Sosiologi
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2004.
Al-Maktabah al-Syamilah. Al-Tafsir
al-Muyassar. Versi 3.51. Diakses pada Jum’at, 21 Maret 2014 pukul 20.30
WIB.
Arief, Armai. Reformasi
Pendidikan Islam. Ciputat: CRSD Press. 2007.
Arifin, Muzayyin. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2006.
Basrowi. Pengantar
Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005.
Departemen Pendidikan
Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Mu’arif. Liberasisai
Pendidikan.Yogyakarta: Pinus Book Publisher.
2008.
Mujid, Abdul dan
Mudzakkir, Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Group.
2010.
Nata, Abuddin. Ilmu
Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Group. 2010.
Sahrodi, Jamali. Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung: CV Arfino Raya. 2008.
Soyomukti,
Nurani. Pendidikan Berspektif Globalisasi.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
2008.
Suhartono, Suparlan. Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007.
Sunano. Http://pelajar-islam.or.id. Kebumen. Jawa Tengah. Diakses pada
Jum’at 21 Maret 2014 pukul 20.38 WIB.
[1]Lihat
Jamali Sahrodi. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Arfino Raya. 2008. Hal.
121.
[2] Lihat
Jamali Sahrodi. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Arfino Raya. 2008. Hal.
121.
[4] Lihat
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Hal. 215. Jilid ke-4.
[6] Lihat
Armai Arief. Reformasi Pendidikan Islam. Ciputat: CRSD Press. 2007. Hal. 183.
[8] Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat al-Nahl ayat 78,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ
شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kam dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan Dia memberimu
pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kalian bersyukur.”
[9] Kata
al-Ta’dib berasal dari kata addaba, yuaddibu, ta’diban yang dapat berarti
education (pendidikan), dicipline (disiplin, patuh, dan tunduk pada aturan);
punishment (peringatan atau hukuman), dan chatisement (hukuman-penyucian).
Lihat Abuddin Nata. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Group. 2010.
Hal. 14.
Kata al-Ta’dib juga berasal dari kata adab
yang berarti beradab, bersopan santun. Lihat Abdul Mujid dan Jusuf Mudzakkir.
Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media Group. 2010. Hal. 20.
[10] Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat al-Jumu’ah ayat 2,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي
الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي
ضَلَالٍ مُبِينٍ
Artinya:” Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta
huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab
(al-Qur’an) dan al-Hikmah (sunnah),
meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
[11] Lihat
al-Maktabah al-Syamilah. Al-Tafsir al-Muyassar. Versi 3.51. Diakses pada
Jum’at, 21 Maret 2014 pukul 20.30 WIB.
[12]
Muzayyin Arifin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2006. Hal.
79.
[13]
Suparlan Suhartono. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007. Hal.
79.
[14] Abu
Ahmadi. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. 2004. Hal. 58.
[16] Lihat
Basrowi. Pengantar Sosiologi. Bogor: Ghalia Indonesia. 2005. Hal. 72.
[17] Lihat Sunano. Http://pelajar-islam.or.id.
Kebumen. Jawa Tengah. Diakses pada Jum’at 21 Maret 2014 pukul 20.38 WIB.
[18] Lihat Nurani
Soyomukti. Pendidikan Berspektif Globalisasi. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media. 2008. Hal.
31.
[21]Lihat
Jamali Sahrodi. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Arfino Raya. 2008. Hal.
127.
[22] Lihat Abuddin Nata. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali
Pers. 2013. Hal. 3.
[24] Lihat
Jamali Sahrodi. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Arfino Raya. 2008. Hal.
121.
[26] Lihat
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Hal. 215. Jilid ke-4.
[28] Lihat
Armai Arief. Reformasi Pendidikan Islam. Ciputat: CRSD Press. 2007. Hal. 183.
[29] Lihat Nurani
Soyomukti. Pendidikan Berspektif Globalisasi. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media. 2008. Hal.
31.
[31] Lihat Abuddin Nata. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali
Pers. 2013. Hal. 3.
kak izin copy yaa ,oiya ini makalahnya di post tgl brp ya ?? makasiii
BalasHapus