REFRENSI
TAFSIR NIH
KARAKTER GURU DALAM KITAB THALIBUL ILMI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan
dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan,
baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan
yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Khaliq-nya dan juga sebagai
Khalifatu fil ardhi (pemelihara) pada alam semesta ini. Dengan demikian,
fungsi utama pendidikan adalah mempersiapkan generasi penerus (peserta didik)
dengan kemampuan dan keahliannya (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan
dan kesiapan untuk terjun ketengah lingkungan masyarakat yang berbekalkan
Nal-Qur’an dan as-Sunnah.
Karakter adalah hal yang sangat urgen dalam
kehidupan ini, bahkan dalam suatu masyarakat, untuk mengukur tingkat ketinggian
derajat suatu orang, maka karakterlah tolak ukurnya. Begitupun dengan islam,
dalam diin ini karakter sangat di junjung tinggi, bahkan setiap orang wajib
berkarakter, karena ia adalah bagian dari iman itu sendiri.
Namun sangat di sayangkan sekali, kebobrokan moral
di zaman sekarang sangat merebak, namun para intelek merasa terpukau dengan
sistem-sistem barat, sehingga kebobrokan moral yang seharusnya di perbaiki
dengan sistem islam, justru hancur karena kekeliruan dalam pengambilan sistem
Selain itu, kerusakan ilmu saat ini sedang menimpa
umat islam khususnya di Indonesia. Di lembaga pendidikan umum terjadi kebodohan
terhadap ilmu agama. Banyak sarjana-sarjana dalam bidang ilmu pengetahuan ilmu
tertentu yang tidak bisa membaca al-Qur’an atau memahami jaran-ajaran pokok
agamanya. Padahal ilmu-ilmu agama adalah ilmu yang wajid dimiliki oleh setiap
muslim. Akan tetapi yang banyak terjadi, semakin pintar seseorang dalam ilmu
tidak semakin menambah keyakinan kepada Rabbnya. Pemisahan nilai-nilai
ketuhanan dari ilmu yang dipelajari telah menyebabkan para pelajar sekuler dari
nilai-nilai agamanya.
Pendidikan adalah sesuatu yang sangat berharga demi
terciptanya masyarakat yang islami, bahkan ia menjadi tonggak pertama dalam
perubahan umat ini. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam adalah tokoh perubah
yang menjadikan umat didikannya menjadi umat terbaik di dunia ini, tak ada yang
menandingi apa yang beliau peroleh dari proses tarbiah tersebut. Maka apabila umat ini menginginkan sebuah perubahan, kembalilah
dengan apa yang Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam jalankan, yaitu tarbiah. Namun sangat di
sayangkan sekali orang-orang yang menginginkan perubahan tersebut tidak meniru
jalan yang di tempuh Rasulullah shallahu
‘alaihi wasallam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja nilai pendidikan karakter yang termaktub dalam
surat al-Hujurat ayat 10
2.
Apa saja nilai pendidikan karakter yang termaktub dalam
surat al-Hujurat ayat 11
3.
Apa saja nilai pendidikan karakter yang termaktub dalam
surat al-Hujurat ayat 12
4.
Apa saja nilai pendidikan karakter yang termaktub dalam
surat al-Hujurat ayat 13
C.
Tujuan
1.
Mengetahui Profil Seorang Pendidik dalam Surat al-Hujurat dan Relevansinya dengan Model Pendidikan Karakter.
2. Dengan mengetahui apa nilai-nilai karakter
yang termaktub, di harapkan hal tersebut bisa di implementasikan, agar
terciptanya proses pendidikan yang kondusif, dan hal tersebut berakibat pada
terciptanya masyarakat yang terdidik sesuai dengan nilai-nilai islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam ayat ke 10
1.
Persaudaraan
sesama muslim
Dalam surat al-Hujurat ayat ke 10 di sebutkan bahwa:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: Orang-orang
beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat.
Allah Ta'ala menegaskan dalam ayat ini, bahwa orang-orang
mukmin itu bersaudara. seperti hubungan persaudaraan satu nasab, bahkan lebih
dari itu. Karena sama-sama menganut unsur keimanan yang sama dan kekal.
Setiap muslim memiliki hak atas saudaranya yang sesama
muslim.
Rasulullah shallahu
‘alaihi wasallam bersabda, dari Anas bin Malik
Radhiallahu 'anhu “Orang muslim itu adalah saudara orang muslim,jangan
berbuat aniaya kepadanya, jangan membuka aibnya, jangan menyerahkannya kepada
musuh, dan jangan meninggikan bagian rumah sehingga menutup udara tetangganya
kecuali dengan izinnya, jangan mengganggu tetangganya dengan asap makanan dari
baunya kecuali jika ia memberi semangkuk dari kuahnya. Jangan membeli
buah-buahan untuk anak-anak, lalu dibawa keluar (diperlihatkan) kepada
anak-anak tetangganya kecuali jika mereka diberi buah-buahan itu. “Kemudian
Nabi saw bersabda, “Peliharalah (norma-norma pergaulan) tetapi (sayang) hanya
sedikit di antara kamu yang memeliharanya[1].
Dalam
tafsir ibnu katsir di jelaskan bahwa tafsir dari ayat ini adalah,(إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ) bahwa semua orang beriman adalah bersaudara dalam agama. (فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ)
karena itu damaikanlah kedua saudaramu, yakni dua kubu yang saling bertikai. (وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ), ini penegasan dari Allah Ta'ala bahwa dia akan memberikan
rahmat-Nya kepada siapa yang bertakwa[2].
Maka dari itu dalam hal
ini, sebaiknya seorang pendidik agar bersikap layaknya seorang saudara terhadap
saudaranya, dengan rasa cinta kasih, keramahan, dan rasa-rasa yang mengarah
kepada kebaikan. Bukan malah sebaliknya, seorang pendidik yang menebarkan virus-virus
kebencian dan permusuhan, justru akan berimbas pada output didikan yang gagal.
B.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam ayat ke 11
1.
Pendidikan menghormati sesama
muslim
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan
orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah
suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung
ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan
barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.[3]
Dalam surat Al Hujurat
ayat 11 ini bisa kita jumpai, bahwa Rasulullah shallahu
‘alaihi wasallam yang selalu menerima petunjuk dari
Allah 'Azza wajalla untuk mendidik dan mengobati penyakit-penyakit moral yang terjangkit
di hati-hati kaumnya.
Dengan cara
menghidupkan tata karma, hidup sopan, serta berhati dan berbudi luhur,
menghilangkan segala macam permusuhan dan kedengkian sehingga umat islam bersih
dari segala kerendahan akhlak dan hidup dalam suasana persaudaraan Islam[4].
Ada beberapa sifat
tercela yang diperintah oleh Allah dalam Al Qur’an surat al-Hujurat ayat 11 ini untuk dihindari oleh setiap
muslim, berikut uraiannya :
a. Mengolok-olok (merendahkan)
لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن
يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ
خَيْرًا مِّنْهُنَّ
Artinya: Janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik[5].
Imam Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa, Allah Ta'ala melarang kita untuk menghina orang lain, yakni
dengan meremehkan dan mengolok-olok[6].
Perbuatan tersebut di larang karena barangkali orang yang di hina tersebut
memiliki kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah ta’ala, dan lebih di
cintai-Nya.
Abu Bakr Jabir
al-Jazairi rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, termasuk factor-faktor
pertikaian dan peperangan adalah seorang mukmin yang mengolok-olok saudaranya
dan menghinanya karena keadaannya yang lemah atau bajunya yang jelek atau
penghasilannya yang sedikit, maka Allah ta’ala dalam ayat ini mengharamkan atas
setiap muslim untuk menghina saudaranya yang muslim dan mengejeknya dengan
memberikan isyarat bahwa orang yang di rendahkan, di hina, dan diejek pada
umumnya lebih baik di mata Allah dari pada orang yang mengejeknya. Dan yang di
jadikan standar adalah apa yang di sisi Allah, bukan apa yang ada pada manusia.
Dalam hal ini, antara laki-laki dan perempuan hukumnya sama saja, maka seorang
wanita mukminah tidak boleh merendahkan saudarinya yang mukminah, karena
kemungkinan orang yang di hina itu lebih baik di sisi Allah kedudukannya dari
pada yang menghina. Dan yang di jadikan standar adalah apa yang ada di sisi
Allah bukan apa yang ada pada manusia.
Pendidikan Islam memang tidak berhenti hanya pada menyuruh berbuat baik dan melarang (mencegah) yang mungkar, akan tetapi juga selalu memperhatikan segala segi yang berhubungan dengan masyarakat, y dalam surang bertujuan agar masyarakat Islam terhindar dari segala macam penyakit baik jasmani maupun rohani[7].
Pendidikan Islam memang tidak berhenti hanya pada menyuruh berbuat baik dan melarang (mencegah) yang mungkar, akan tetapi juga selalu memperhatikan segala segi yang berhubungan dengan masyarakat, y dalam surang bertujuan agar masyarakat Islam terhindar dari segala macam penyakit baik jasmani maupun rohani[7].
Penegasan dari Allah
agar tidak saling mengolok-olok, sebenarnya mengandung makna yang sangat halus.
Pada umumnya penilain seseorang manusia pada dirinya sendiri tidak tepat. Orang
yang mengolok-olok biasanya menganggap dirinya lebih baik dari orang lain. Karena
itu Allah ta’ala mengingatkan, barangkali orang yang di hina tersebut memiliki
kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah ta’ala, dan lebih di cintai-Nya.
Maka dalam frame
pendidikan islami, seyogyanya seorang guru tidak mengolok-olok (merendahkan)
anak didiknya, karena hal itu berpengaruh pada output didikannya nanti. Tak
mungkin didikan dengan cara mengolok-olok akan menghasilkan sebuah output yang
maksimal, karena hal tersebut malah akan membuat adanya permusuhan antara pendidik
dan objek didikan. Bahkan dalam tafsir al-aitsar di tegaskan bahwa, “janganlah
sebagian kalian menghina sebagian yang lain dengan celaan bentuk apapun, karena
kalian bagian satu tubuh, maka barang siapa yang mencela saudaranya yang muslim
seakan-akan ia mencela dirinya sendirinya.[8]”
b. Saling
mencela
وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ
Imam ibnu katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan mengenai ayat
ini, yaitu janganlah kalian mencela orang lain. Pengumpat atau orang yang
mencela adalah orang-orang yang tercela dan terlaknat[10],
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Mujahid, Sa’id bin Zubair, Qatadah dan Muqatil
bin Hayyan berkata mengenai tafsir surat ini adalah janganlah kalian saling
memfitnah satu sama lain.[11]
Ayat ini juga
mengandung makna, janganlah
kalian melakukan sesuatu yang dapat membuat kalian dicela karenanya. Kalau
seseorang mencela orang lain secara tidak langsung berarti ia mencela dirinya
sendiri, karena pada
dasarnya umat islam adalah satu tubuh. Rasulullah shallahu
‘alaihi wasallam senantiasa mentarbiah para sahabatnya agar selalu menjauhi sifat tercela ini, sebab hal ini menyangkut kehormatan orang
lain.
Pendidikan islam mengajarkan tentang kelembutan, dan hal ini bisa tercapai
apabila tidak ada salah satu pihak yang merasa terdzalimi, salah satu sikap
yang dapat menghancurkan harmonisasi antara pendidik dan objek didikannya ialah ketika pendidik tidak bersikap
seyogyanya seorang pengayom. Maka sikap pendidik yang demikian ini tidak baik
untuk berlangsungnya proses pendidikan. Tak mungkin harmonisasi ini tecipta
dengan sikap saling mencela.
c. Memanggil dengan gelar yang buruk
وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ
Artinya : Dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan, seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman [12].
Imam ibnu katsir rahimahullah menjelaskan
ayat ini, yaitu janganlah kalian saling memanggil dengan julukan yang tidak
baik untuk di dengar[13].
Sedangkan dalam tafsir al-Aisar di jelaskan janganlah seorang muslim memanggil
saudaranya yang muslim dengan gelar yang tidak di sukainya, karena hal itu akan
menimbulkan peperangan[14].
Oleh karena itu tak halal bagi setiap muslim memanggil saudaranya yang muslim
dengan sebutan yang membuat saudaranya tersebut tersakiti hatinya, misalnya
menyebutnya dengan gelar fasiq, pelacur, anak pelacur ataupun sebutan-sebutan
yang lainnya.
Ini bisa menyebabkan bergejolaknya hati dan permusuhan
serta menghilangkan jiwa kesopanan dan perasaan yang tinggi atau sombong.
C.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam ayat ke 12
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا
وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ
تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk sangka (kecurigaan),
Karena sebagian dari buruk sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari
keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang[15].
Di
ayat ini kami membahas 3 pembahasan, yaitu:
a. Larangan berprasangka buruk.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk sangka (kecurigaan), Karena
sebagian dari buruk sangka itu dosa[16].
Ayat ini di buka dengan panggilan iman, ini menegaskan bahwa hal ini di
tujukan kepada orang-orang beriman secara khusus, dan ini adalah panggilan
kesayangan Allah ta’ala kepada hambanya. Melalui panggilan iman ini di harapkan
yang di panggil tersebut memperhatikan dengan seksama.
Setelah Allah memanggil orang-orang beriman dengan sebutan kesayanganya,
kemudian Allah ta’ala menjelaskan maksu panggilannya. Dalam tafsir al-aisar di
jelaskan, jauhilah oleh kalian kebanyakan prasangka, yaitu semua yang di sangka
oleh seseorang tanpa adanya bukti-bukti yang membenarkannya[17].
Karena prasangka yang buruk menimbulkan perkataan yang batil, perbutan salah,
dan terbengkalainya kebaikan, bahkan hal itu menjadi dosa besar. Pergaulan yang
baik hanya akan terwujud apabila hati kaum
muslimin terbebas dari prasangka-prasangka yang tidak baik.
Maka dari itu pendidikan islami harus berkarakter sesuai al-Qur’an dan
al-Sunnah. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mentarbiah
sahabatnya dengan akhlak-akhlak yang terpuji, berprasangka buruk terhadap
saudaranya, apalagi seorang pendidik kepada anak didiknya akan mengakibatkan
hubungan yang kurang harmonis antara keduanya, ketidak percayaan diantara
keduanya akan mengakibatkan kerenggangan hubungan yang berakibat pada proses
pendidikan yang buruk. Oleh sebab itu Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, tak pernah sama
sekali berprasangka buruk terhadap sahabatnya, beliau hanya menilai dari sisi
dzahirnya saja.
b. Tajassus
وَلَا
تَجَسَّسُوا
Artinya: Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang[18].
Kata tajassus pada umumnya di pakai untuk hal-hal yang tidak baik. Oleh
sebab itu mata-mata dalam bahasa arab di sebut dengan al-jaasus[19].
Al-Auza’i berkata, tajassus adalah mencari sesuatu, sedangkan tahassus adalah
menguping pembicaraan sekelompok orang, sedangkan mereka itu tidak suka jika
pembicaraan itu di dengar oleh orang
lain[20].
Mencari-cari kesalahan
orang lain berarti pula mencari
aib atau cacat seseorang,
dan merupakan sebuah hal yang dilarang keras dalam ajaran Islam. Dalam norma kehidupan masyarakat yang Islami,
setiap individu berhak
hidup dengan rasa aman dengan
sesuatu yang bersifat privasi, dan ini merupakan hak asasi bagi setiap manusia.
Tidak berhak seseorang untuk menyelidiki
keadaan batin dan rahasia orang lain. Betapa besar perhatian Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dalam membersihkan penyakit-penyakit yang terdapat di setiap dada kaumnya,
sehingga terciptalah lingkungan kehidupan
masyarakat Islami yang terbebas dari
penyakit tajassus ini. Hasilnya terbukti pada karakter semua sahabat radhiallahu ‘anhum.
Para sahabat tidak akan mengambil sebuah keputusan kecuali terhadap yang dhohir
dan ada bukti nyata.
c.
Ghibah
وَلَا
يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ
أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ
Artinya: Dan janganlah
kalian menggunjing satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya[21].
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mendefinisikan sifat ini dalam haditsnya, yaitu
“pembicaraan tentang saudaramu yang tidak ia sukai”[22].Ghibah berarti menyebut-nyebut suatu keburukan orang lain
yang tidak disukainya, sedangkan orang yang di bicarakannya tersebut tidak
berada ditempat. Terdapat peringatan keras dalam masalah ghibah, karena itulah
Allah ta’ala menyamakan pelakunya dengan orang yang memakan bangkai saudaranya
sendiri[23].
Menurut K.H. Masruri Abdul Mughni ghibah boleh dilakukan seperti halnya
oleh seorang guru yang membicarakan keadaan muridnya di dalam rapat guru,
misalnya adalah rapat kenaikan kelas yang membahas masalah tingkah laku murid
tersebut, apakah ia berhak untuk naik kelas atau tidak[24].
Islam mengajarkan kepada umatnya agar menahan lidahnya dari menyakiti
saudaranya yang muslim dari amaliah lidahnya.
D.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam ayat ke 13
1. Pendidikan
sosial kemasyarakatan
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ
اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal[25].
Tidak dapat di pungkiri lagi, bahwa manusia adalah
makhluk sosial, setiap individu manusia pasti membutuhkan manusia lainnya. Maka dengan hal ini, manusia saling bekomunikasi agar
terciptanya masyarakat yang ideal. Seperti rasa cinta kepada yang lain,
hubungan kekeluargaan yang harmonis, adil terhadap sesamanya, ramah tamah,
santun, dan lain
sebagainya.
Allah
ta’ala berfirman seraya memberitahukan kepada manusia bahwa dia menciptakan
mereka (manusia) dari satu jiwa, dan dari jiwa tersebut di ciptakan jodohnya. Keduanya adalah adam dan hawa. Kemudian mereka
dijadikan berbangsa-bangsa yang lebih besar daripada kabilah. Sesudah kabilah
terdapat tingkatan-tingkatan lainnya yang lebih kecil seperti golongan,
keturunan, marga dan lain sebagainya[26].
Dalam konsep islam, perbedaan warna kulit, suku, dan bangsa, bertujuan
untuk saling mengenal. Perbedaan tersebut bukan dimaksudkan untuk
pertentangan atau saling
mengungguli satu sama lain, namun dimaksudkan untuk saling
tolong-menolong di
dalam kebaikan.
Yang
membedakan mereka hanyalah masalah agama, yaitu tingkat ketaatan kepada Allah
ta’ala dan Rasul-Nya. Karena itulah setelah perbuatan menggunjing
dan menghina orang lain, Allah ta’ala berfirman mengingatkan mereka adalah
manusia yang mempunyai kesamaan martabat[27].
Islam
rahmatan li al-‘aalamin, oleh sebab itu
ajarannya menafikan
yang namanya fanatik
keturunan, seperti yang biasa di lakukan orang arab
jahiliah,
dan fanatik kedaerahan seperti
yang di lakukan orang-orang himyar, kesemuanya adalah
warisan jahiliyah.
Prinsip saling mengenal
dijadikan sebagai dasar hubungan antar lingkungan sosial, karena dari
perkenalan itu akan timbul saling pengertian yang merupakan pangkal kerja sama
yang dibutuhkan dalam upaya membina pergaulan yang saling menguntungkan. Hal
ini ditujukan agar terciptanya kemaslahatan, hidup damai, adil dan sejahtera[28]. Begitupun dalam masalah pendidikan, maka hal ini sangat
di butuhkan agar terjadinya hubungan yang erat antara peserta didik dan
pendidik. Perbedaan adalah sifat masyarakat, namun hal ini
tidak lantas dijadikan sebuah pertentangan. Sebaliknya perbedaan itu harus
mengantarkan kepada kerja sama yang dapat menguntungkan semua pihak[29].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Makalah yang telah kami susun, telah
menyebutkan sebagian cara Rasulullah shallahu
‘alaihi wasallam dalam mentarbiah umatnya, sehingga dengan proses tersebut,
terjadilah gelombang perubahan secara besar-besaran dalam peradaban umat ini.
Maka dari itu sikap kita sebagai seorang
yang menginginkan sebuah gelombang perubahan menuju terciptanya
masyarakat yang mengabdi hanya pada Allah, yaitu masyarakat islami.
Dalam
surat Al Hujurat ini bisa kita jumpai, bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi
wasallam yang selalu menerima petunjuk dari Allah 'Azza wajalla untuk mendidik
dan mengobati penyakit-penyakit moral yang terjangkit di hati-hati kaumnya.
Dengan cara menghidupkan tata karma, hidup sopan, serta berhati dan berbudi
luhur, menghilangkan segala macam permusuhan dan kedengkian sehingga umat islam
bersih dari segala kerendahan akhlak dan hidup dalam suasana persaudaraan
Islam.
Nilai-nilai
yang terkandung ialah:
A.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam ayat ke 10
1.
Persaudaraan
sesama muslim
Seorang pendidik harus bersikap layaknya seorang saudara
terhadap saudaranya, dengan rasa cinta kasih, keramahan, dan rasa-rasa yang
mengarah kepada kebaikan. Bukan malah sebaliknya, seorang pendidik yang
menebarkan virus-virus kebencian dan permusuhan, justru akan berimbas pada
output didikan yang gagal.
B. Nilai-nilai yang terkandung dalam ayat ke 11
1.
Pendidikan menghormati sesama
muslim
Hal ini di bagi menjadi tiga larangan:
a) Mengolok-olok (merendahkan)
Imam Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa, Allah Ta'ala melarang kita untuk menghina orang lain, yakni
dengan meremehkan dan mengolok-olok[30].
Perbuatan tersebut di larang karena barangkali orang yang di hina tersebut
memiliki kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah ta’ala, dan lebih di
cintai-Nya.
b) Saling
mencela
Ayat ini juga
mengandung makna, janganlah
kalian melakukan sesuatu yang dapat membuat kalian dicela karenanya. Kalau
seseorang mencela orang lain secara tidak langsung berarti ia mencela dirinya
sendiri, karena pada
dasarnya umat islam adalah satu tubuh. Rasulullah shallahu ‘alaihi
wasallam
senantiasa mentarbiah para
sahabatnya
agar selalu menjauhi sifat
tercela ini, sebab hal ini menyangkut kehormatan orang
lain.
c) Memanggil dengan gelar yang buruk
Imam ibnu katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini, yaitu janganlah kalian
saling memanggil dengan julukan yang tidak baik untuk di dengar[31].
Sedangkan dalam tafsir al-Aisar di jelaskan janganlah seorang muslim memanggil
saudaranya yang muslim dengan gelar yang tidak di sukainya, karena hal itu akan
menimbulkan peperangan[32].
C. Nilai-nilai yang terkandung dalam ayat ke 12
1. Larangan berprasangka buruk.
Dalam tafsir al-aisar di jelaskan, jauhilah oleh kalian kebanyakan
prasangka, yaitu semua yang di sangka oleh seseorang tanpa adanya bukti-bukti
yang membenarkannya[33].
Karena prasangka yang buruk menimbulkan perkataan yang batil, perbutan salah,
dan terbengkalainya kebaikan, bahkan hal itu menjadi dosa besar. Pergaulan yang
baik hanya akan terwujud apabila hati
kaum muslimin terbebas dari prasangka-prasangka yang tidak baik.
2. Tajassus
Tidak berhak seseorang untuk menyelidiki
keadaan batin dan rahasia orang lain. Betapa besar perhatian Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam dalam membersihkan penyakit-penyakit yang terdapat di setiap dada kaumnya,
sehingga terciptalah lingkungan kehidupan masyarakat
Islami yang terbebas dari
penyakit tajassus ini.
3. Ghibah
Terdapat peringatan keras dalam masalah ghibah, karena itulah Allah ta’ala
menyamakan pelakunya dengan orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri[34].
Menurut K.H. Masruri Abdul Mughni ghibah boleh dilakukan seperti halnya
oleh seorang guru yang membicarakan keadaan muridnya di dalam rapat guru,
misalnya adalah rapat kenaikan kelas yang membahas masalah tingkah laku murid
tersebut, apakah ia berhak untuk naik kelas atau tidak[35].
D. Nilai-nilai yang terkandung dalam ayat ke 13
1. Pendidikan
sosial kemasyarakatan
Dalam konsep islam, perbedaan warna kulit, suku, dan bangsa, bertujuan
untuk saling mengenal. Perbedaan tersebut bukan dimaksudkan untuk
pertentangan atau saling
mengungguli satu sama lain, namun dimaksudkan untuk saling
tolong-menolong di
dalam kebaikan. Yang membedakan mereka hanyalah masalah
agama, yaitu tingkat ketaatan kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an.
http://br4m.blogdetik.com/2012/06/13/pendidikan-akhlak-dalam-al-quran-surat-alhujurat-11-13/, 09:00, 10 November 2013.
Katsir,
Ibnu. 2006. Tafsir Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Ibnu Katsir.
Jabir al-Jazairi, Abu Bakr. 2009. Tafsir al-Qur’an al-Aisar. Jakarta
timur: Darus Sunnah.
[1] HR
Bukhari
[2] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu
Katsir:Bogor 2006 hal. 474
[3] Surat al-Hujurat ayat 11
[4] http://br4m.blogdetik.com/2012/06/13/pendidikan-akhlak-dalam-al-quran-surat-alhujurat-11-13/, 09:00, 10 November 2013
[5] Surat
al-Hujurat ayat 11
[6] Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir: Bogor 2006 hal. 475
[7] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Tafsir
al-Qur’an al-Aisar, Darus Sunnah: Jakarta timur 2009 hal. 915
[8] Ibid
[9] Surat
al-Hujurat ayat 11
[10] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka
Ibnu Katsir:Bogor 2006 hal. 475
[11]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir:Bogor 2006 hal. 476
[12]
Surat al-Hujurat ayat 11
[13]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir:Bogor 2006 hal. 476
[14] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Tafsir
al-Qur’an al-Aisar, Darus Sunnah: Jakarta timur 2009 hal. 915
[15] Surat al-Hujurat ayat 12
[16] Ibid
[17] Abu
Bakr Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Qur’an al-Aisar, Darus Sunnah: Jakarta timur
2009 hal. 916
[18] Surat al-Hujurat ayat 12
[19] Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir:Bogor 2006 hal. 479
[20] Ibid
[21] Surat al-Hujurat ayat 12
[22] HR
al-Tirmidzi
[23] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu
Katsir:Bogor 2006 hal. 480
[24] http://br4m.blogdetik.com/2012/06/13/pendidikan-akhlak-dalam-al-quran-surat-alhujurat-11-13/, 09:00, 10 November 2013
[25]
Surat al-Hujurat ayat 13
[27] Ibid
[28] http://br4m.blogdetik.com/2012/06/13/pendidikan-akhlak-dalam-al-quran-surat-alhujurat-11-13/, 09:00, 10 November 2013
[29] Ibid
[30] Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir: Bogor 2006 hal. 475
[31]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu Katsir:Bogor 2006 hal. 476
[32] Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Qur’an
al-Aisar, Darus Sunnah: Jakarta timur 2009 hal. 915
[33] Abu
Bakr Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Qur’an al-Aisar, Darus Sunnah: Jakarta timur
2009 hal. 916
[34] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Ibnu
Katsir:Bogor 2006 hal. 480
[35] http://br4m.blogdetik.com/2012/06/13/pendidikan-akhlak-dalam-al-quran-surat-alhujurat-11-13/, 09:00, 10 November 2013
Tidak ada komentar
Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.
Salam : Admin K.A.