KESALAHAN-KESALAHAN DI BULAN RAMADHAN EDISI 3



21. Takbiran di malam Idul Fithri.

Yang sesuai dengan tuntunan Nabi   adalah takbiran baru dilakukan ketika keluar dari rumah menuju shalat ‘id.

22. Tidak berniat puasa ketika di malam hari .

Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum Muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syariat bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah   yang memiliki hukum marfū’ (seperti ucapan Nabi  ) dengan sanad yang shahih, 

(( مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ، فَلاَ صِيَامَ لَهُ ))
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. an-Nasa’i, ad-Darimi dan al-Baihaqi, dishahihkan al-Albani) 
Kata al-lail (malam) dalam bahasa Arab berarti waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. 

23. Menganggap bahwa puasa orang yang junub tidak sah bila bangun setelah terbitnya fajar dan belum mandi.

Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah orang yang junub secara umum, mencakup junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri, juga perempuan yang telah suci dari haidh atau nifas. Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar, maka tetap boleh untuk berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah  : 
( كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ )
“Adalah Rosululloh   memasuki waktu Shubuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi, kemudian beliau tidak buka dan tidak pula mengqadha’ (mengganti) puasanya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

24. Menganggap bahwa bersuntik membatalkan puasa.

Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, atau infus. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa. 

25. Merasa ragu untuk mencicipi makanan.

Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya. 
Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdulloh bin ‘Abbas   yang mempunyai hukum marfū’ (sampai kepada Nabi  ), yang lafazhnya: 
( لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ )
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa.” (HR. al-Bukhari dan Ibnu Abi Syaibah)

Berkata Imam Ahmad  , “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya, maka tidak ada masalah baginya.” 

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  , “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya, maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air.” 

26. Meninggalkan berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung ketika berwudhu.

Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyariatkan pada setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan secara berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqīth bin Saburah   bahwa Rosululloh   bersabda:

(( وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا ))
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (ke dalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad shahih)

27. Menganggap bahwa mandi dan berenang atau menyelam dalam air membatalkan puasa.

Anggapan tersebut salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan puasa sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk ke dalam tenggorokannya. 
Berkata Imam Ahmad  , “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan.” 

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin  , “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya ke dalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai adanya dalil yang menunjukkan makruh atau haramnya. Dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya serta tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian Ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari.” 
Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm  , Ibnu Taimiyyah    dan lain-lainnya. 

28. Menganggap bahwa menelan ludah membatalkan puasa.

Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh, seperti mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. 
Berkata Ibnu Hazm  , “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa billahit taufiq.” 
Berkata Imam an-Nawawi  , “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ulama).” 

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  , “Dan apa-apa yang terkumpul di mulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya ….” 
Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman. 

29. Menganggap bahwa mencium bau-bauan yang harum membatalkan puasa.

Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang. 
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  , “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa.” 

30. Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian.

Di antara kesalahan yang lain adalah
mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian atau ihtiyāth. Sebagian mereka ada juga yang membunyikan meriam atau sirine untuk memberitahukan masuknya waktu shalat, sahur, atau berbuka. al-Imam asy-Syathibi   dalam kitabnya al-I’tishām menganggap hal ini sebagai  bid’ah. 

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.