KESALAHAN-KESALAHAN DI BULAN RAMADHAN (Edisi 2)




11. Mengawalkan waktu sahur dan mengakhirkan berbuka puasa.

Ini menyelisihi petunjuk Nabi  , dimana beliau selalu mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Beliau   bersabda:
(( لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفُطُوْرُ ))
“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Beliau   mengabarkan bahwa mengakhirkan berbuka adalah tradisi kaum Yahudi. Ketika menyemangati kaum Muslimin untuk menyegerakan berbuka, beliau   bersabda:

(( فَإِنَّ الْيَهُوْدَ يُؤَخِّرُوْنَ ))
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi selalu mengakhirkan (berbuka puasa).” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih)
Adapun mengakhirkan sahur adalah sunnah, sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit  , ia berkata:
(( تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِىِّ   ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَالسَّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً ))
“Kami sahur bersama Nabi  , kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku bertanya, ‘Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur?’. Maka beliau menjawab, ‘Kira-kira lima puluh ayat.” (HR. al-Bukhari)

12. Tidak berusaha memahami dan mentadabburi al-Qur’an.
Banyak di antara kaum Muslimin membaca al-Qur’an tapi tidak berusaha memahami apa yang mereka baca. Bahkan, ketika terlintas hukum-hukum syar’i, dalil-dalil Qur’aniyyah, nasehat-nasehat yang agung dan perumpamaan-perumpamaan yang jelas, ia tidak mengetahui apa yang melintasinya, tidak pula mengetahui makna kitab Alloh   yang turun kepadanya. Padahal Alloh   berfirman:

“Ini adalah kitab (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat petunjuk.” (QS. Shad [38]: 29)
Alloh   mencela orang-orang yang berpaling dari mentadabburi al-Qur’an dalam firman-Nya:
“Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24)

Alloh   mengabarkan bahwa hal ini merupakan sifat kebanyakan orang Yahudi. Alloh   berfirman:
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab, kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS. al-Baqarah [2]: 78)

Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Maksud firman-Nya “mereka tidak mengetahui al-Kitab” adalah tidak mengetahui apa-apa yang ada di dalam kitab yang diturunkan oleh Alloh, dan tidak mengetahui apa-apa yang Alloh tetapkan berupa batasan, hukum dan kewajiban sehingga keadaan mereka seperti halnya para binatang.”

Abu Abdil Rahman as-Sulami   berkata, “Orang-orang yang membacakan al-Qur’an kepada kami telah memberitakan bahwa apabila mereka mempelajari sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sampai mengetahui kandungan ilmu  di dalamnya lalu mengamalkannya”. Beliau berkata, “Dengan begitu kami mempelajari al-Qur’an, ilmu dan juga mengamalkannya.”

13. Tidak membiasakan anak-anak kecil berpuasa.

Mereka tidak menganjurkan anak-anaknya berpuasa dengan berdalih mereka masih kecil, masih belum mampu berpuasa. Perbuatan ini menyelisihi salaf ash-shaleh dari kalangan para sahabat dan setelahnya. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari ar-Rabi’ binti Mu’awidz   berkata:

(( فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ، حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ ))
“Kami berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka, apabila mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai tiba waktu berbuka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sedangkan dalam riwayat Muslim:
(( فَإِذَا سَأَلُوْا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ تُلْهِيْهِمْ حَتَّى يُتِمُّوْا صَوْمَهُمْ ))
“Apabila mereka meminta makan, kami berikan mainan yang dapat menyibukkannya sehingga mereka dapat menyempurnakan puasanya.” (HR. Muslim)

Maksudnya, mereka membiasakan anak-anaknya berpuasa dan melipur anak-anaknya dengan mainan dari bulu. Mereka melakukan hal itu sebagai upaya melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Anak kecil tidak disyaratkan berpuasa sehari penuh karena belum wajib. Akan tetapi, hendaknya orang tua membiasakan mereka untuk berpuasa sesuai kemampuannya.

14. Melafazhkan niat puasa.

Ini tidak memiliki asal dari sunnah yang suci, bahkan termasuk bid’ah yang diada-adakan. Niat merupakan salah satu syarat sahnya ibadah, sebagaimana sabda Nabi  :
(( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ))
“Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya tergantung pada niat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi, niat itu tempatnya di hati sehingga cukup seseorang itu bangun untuk makan sahur, atau bertekad untuk berpuasa sebelum tidur, atau yang semisalnya (tanpa perlu melafazkan niat di lisan). 

15. Membangunkan “Sahur ... Sahur”.

Sebenarnya Islam sudah memiliki tata cara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum, yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan Shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan Shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahukan pada kaum Muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur...sahur...”, baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi   juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari umat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud   memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah petunjuk Rosul, janganlah kalian membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.” 

16. Pensyariatan waktu imsāk (berhenti makan 10 menit sebelum waktu Shubuh).

Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan, minum dan segala pembatal puasa. Kapankah sebetulnya kita diwajibkan berhenti dari itu semua? Ketika adzan tanda masuknya Shubuh ataukah sebelumnya, yakni 10 menit sebelum masuknya Shubuh? 

Syaikh Nashiruddin al-Albani   mengatakan: “Masalah ini, dimana banyak orang meyakini bahwa makan di malam hari mulai haram sejak adzan pertama (yakni sebelum masuknya waktu Shubuh), yang adzan ini mereka sebut dengan adzan imsāk, tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat. Mereka semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsāk (menahan dari pembatal puasa) adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu Shubuh. Dengan adzan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa. Adapun adzan pertama yang kemudian disebut adzan imsāk, pengistilahan semacam ini bertentangan dengan dalil al-Qur’an dan Hadits. Adapun al-Qur’an, maka Robb kita berfirman: 
“Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. al-Baqarah [2]: 187)

Ini merupakan nash yang tegas di mana Alloh   membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur. Artinya, Robb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shādiq (yakni masuknya waktu Shubuh). Demikian Robb kita menerangkan.
Nabi   menegaskan makna ayat ini dengan mengatakan:
(( لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ))
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.”  (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan:
(( لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ لِيَقُوْمَ النَّائِمُ وَيَتَسَحَّرُ الْمَتَسَحِّرُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ ))
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan orang yang sedang tidur dan agar bersahur orang yang hendak sahur. Maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan (kedua)….” 
Ibnu Hajar   (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.

Maka jelaslah bahwa waktu imsāk (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbitnya fajar shādiq –yaitu ketika adzan Shubuh dikumandangkan-, bukan 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Alloh   dan Rosul-Nya  .

17. Dzikir secara berjama’ah baik dalam shalat tarawih maupun shalat lima waktu.

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz   tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang benar adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dipimpin oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” 

18. Mengucapkan “ash Shalātul Jāmi’ah” atau shallū shalāh at-tarāwih. 

Banyak kita dapati di masjid-masjid seorang mengumandangkan kata-kata: shallū shalāh at-tarāwih rahimakumulloh... (Shalat tarawihlah kalian semoga kalian dirahmati oleh Alloh...) untuk menyeru jama’ah dalam shalat Tarawih. Hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasululloh   dan para salafush shaleh sesudahnya. Tidak juga dianjurkan oleh para imam yang empat seperti Imam Syafi’i   dan imam-imam yang lainnya. Hal ini adalah suatu perkara yang diada-adakan setelah berlalunya masa salafush shaleh.

19. Bubar terlebih dahulu sebelum imam selesai shalat taraih dan witir.

Nabi   bersabda,
(( إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً ))
“Sesungguhnya siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyamul lail satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishahihkan al-Albani)

Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun sebaiknya ikut menyelesaikannya bersama imam. Itulah yang lebih tepat. 

20. Mengadakan perayaan Nuzulul Qur’an.

Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi  , juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabatnya. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan:
( لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ )
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”

Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, pada tafsir surat al-Ahqaf ayat 11)

Tidak ada komentar

Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.

Salam : Admin K.A.

Diberdayakan oleh Blogger.