Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Mengkaji Filsafat Islam tidak semudah
membalikan telapak tangan. Ia sarat dengan muatan teologis dan historis.
Secara historis, tarik menarik kepentingan bahwa keaslian filsafat berasal dari
Yunani atau Islam. Begitu juga secara teologis, penerimaan Filsafat kerap
berbenturan antara pandangan keimanan dan pemikiran liberal filsafat.
Seorang pemikir Barat Oliver Leaman berpendapat
bahwa filsafat Yunani sebenarnya pertama kali diperkenalkan kepada dunia islam
lewat karya-karya terjemahan berbahasa Arab, lalu ke bahasa Yahudi kemudian ke
Bahasa latin, atau dari bahasa Arab lalu ke bahasa Latin. Berbeda dengan al-
Farabi yang berpendapat bahwa filsafat berasal dari Irak terus ke Mesir dan ke
Yunani, kemudian diteruskan ke Syiria dan sampai ke tangan orang Arab.
Belakangan ini banyak bermunculan karya-karya
filsafat dari tokoh-tokoh islam. Bagi beberapa pihak hal ini mengejutkan
mengingat adanya anggapan banyak orang tentang keengganan islam berfilsafat
sejak Al Ghazali mengembangkan kritiknya terhadap filsafat dan para filosof
muslim terutama Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Gerakan
pemikir Islam lain yang tak kalah terkenal dalam dunia filsafat islam adalah Ikhwan
al-Shafa, sejarah dan keberadaan mereka menjadi misteri yang cukup bagus
untuk dikaji sehingga menjadi sebuah khazanah keilmuan yang bisa dipetik
kebaikan dari mereka dan bisa dikritisi serta bisa diluruskan apa-apa yang
menyimpang dari pemikiran mereka.
Oleh karena itu disini pemakalah berupaya untuk
mengungkap “jati diri” dari gerakan Ikhwan al- Shafa, dengan
harapan bisa memberikan kontribusi gambaran tentang filsafat mereka.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang dan keanggotaan Ikhwan
Al-Shafa ?
2. Sebutkan karya-karya Ikhwan Al-Shafa
?
3. Bagaimana filsafatnya Ikhwan
Al-Shafadan kritik ?
C.Tujuan Mempelajari Filsafat Ikhwan
Al-Shafa
Mempelajari filsafat Ikhwan Al-Shafa
mempunyai beberapa tujuan diantaranya :
1. Untuk mengetahui latar belakang dan
keanggotaan Ikhwan Al-Shafa.
2. Mengetahui karya-karya Ikhwan Al-Shafa.
3. Untuk mengetahui filsafatnya Ikhwan Al-
Shafa dan kemudian bisa mengkritisinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahir
dan Keanggotaan
Identitas kelompok
ini tidak jelas karena mereka bersama para anggota
merahasiakan diri dan aktivitas mereka.
menurut informasi as- Sijistani (wafat 391 H/ 1000 M), para pemuka
mereka adalah Abu Sulaiman Al Busti (terkenal dengan gelar Al Muqaddas),
Abu Hasan Al- Zanjani, Abu Ahmad An- Nahrajuri (Al- Mihrajani), Abu Al-Hasan
Al-Aufi, dan Zaid bin Rita’ah. Kalangan Syiah terutama Syiah ismailiah
mengklaim bahwa Ikhwan Al-Shofa’ adalah kelompok dari kalangan mereka.
Kendati identitas mereka tidak jelas[1],
risalah ensiklopedis yang mereka hasilkan itu, menurut Abu Hayyan At-Tauhidi
(wafat 414 H/ 1023 M) dan data internal dalam risalah mereka, dapat disimpulkan
berasal dari masa antara tahun 347 H/958 M
sampai tahun 373 H/983 M, atau dari perempat ketiga abad ke 4. Pusat
kegiatan mereka di Basrah, tetapi di Bagdad juga terdapat cabang dari kelompok
rahasia itu.
Kota Bashroh merupakan tempat asal ikhwan . Sumber-sumber
Arab menyebutkan nama masing-masing
secara berlainan dan barangkali ini merupakan tindakan kerahasiaan yang
berhasil mereka upayakan pada masa itu sehingga hanya sedikit sekali yang kita
ketahui tentang kehidupan mereka pada zaman sekarang. [2]
Sesuai rencana, Ikhwan
al-Shafa sudah terbiasa mengadakan pertemuan
di setiap tempat yang ada pengikutnya. Dalam pertemuan ini yang
diselenggarakan setiap 12 hari sekali dan hanya diikuti oleh para anggota dan
pengikut kelompok ikhwan, dibicarakan berbagai masalah metafisika dan tafsir
esotoris (batin), Ada pula pertemuan-pertemuan lain yang bersifat okasional
(kadang-kadang) yang diperuntukkan bagi kaum muda yang baru masuk anggota,
semacam acara penerimaan anggota baru.
Perekrutan anggota
dilakukan lewat hubungan perorangan dan dilakukan oleh orang-orang yang
terpercaya. Orang-orang yang ditugasi untuk merekrut anggota baru dianjurkan supaya menjalankan tugasnya
dikalangan kaum muda, karena orang yang sudah tua biasanya bersikap kaku dan
tidak layak dilibatkan dalam pergerakan.[3]
1.
Al –Ikhwan
Al-Abrar Ar-Ruhama’ (para saudara yang baik dan dikasihi), berusia 15 ampai 29 tahun yang memiliki jiwa suci dan pikiran yang kuat. Mereka
berstatus murid, karenanya dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada
guru.
2.
Al- Ikhwan
Al-Akhyar Al-Fudala’ (para saudara yang terbaik dan utama), berusia dari 30 sampai 40 tahun. Pada tingkat ini mereka sudah mampu memelihara
persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap berkorban demi persaudaraan
(tingkat guru-guru).
3.
Al-Ikhwan
Al-Fudala ‘ Al- Kiram (para saudara
yang utama dan mulia), berusia 40 sampai 50
tahun.Dalam kenegaraan kedudukan mereka
bagaikan sultan atau hakim.
4.
Al-Kamal, Kelompok
yang berusia 50 tahun keatas, yaitu kelompok elit yang hati mereka telah terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati.[5]. Mereka disebut tingkatan al-muqorrobin
min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu sehingga
mereka sudah berada di atas alam realitas, syariat dan wahyu sebagaimana
malaikat al-muqorrobin.
Nampaknya Ikhwan
al-Shafa ingin memberikan penghormatan lebih
bagi mereka yang telah lama ikut dalam kelompok ini. Karena semakin lama mereka
bergabung semakin tinggi pula kedudukan mereka dalam kelompok ini, disamping
juga faktor usia setiap anggota.
Justikasi pemeringakatan itu mereka
dasarkan(takwilkan) dari ayat-ayat Al-Quran. Untuk kalangan murid 30, mereka
menggunakan ayat 59 surat an-Nur, “Bilamana bocah-bocah kalian sudah
mengalami mimpi basah…”
Sementara peringkat muallim dijustifikasi oleh ayat
22 surat Yusuf:“Tatkala (ia) mencapai masa kematangan, kami anugerahkan
kepadanya hukum dan pengetahuan.” Untuk tingkat mursyid, justifikasinya
diambil dari surat al-Ahqaf ayat 15: “Di saat sampai masa kematangan,
tatkala berumur empat puluh tahun, maka ia (Ibrahim) berkata..” Untuk
peringat yang teratas, pembenarnya adalah ayat 27-28 surat al-Fajr: “Wahai
jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rela-pasrah.
Bergabunglah ke jajaranhamba-Ku, masuklah ke-surga-Ku.”[6]
B. Karya-karya Ikhwan As-
Shafa’
Ikhwan
As-Shafa’ menghasilkan -sebagai magnum
opus (masterpiece) yang terhimpun ke dalam sebuah kumpulan tulisan yang
terdiri dari 52 risalah[7]
dengan keluasan dan kualitas beragam
yang mengkaji subjek-subjek berspektrum luas yang merentang dari musik sampai
sihir. Tekanannya bersifat amat didaktik, sedangkan kandungannya sangat
elektrik. ini memberikan cerminan pedagogis dan kultural zaman
mereka serta beragam filsafat dan kredo masa itu.
Rasail dibagi menjadi 4 bagian
utama; 14 terfokus pada ilmu matematis, 17 membahas ilmu kealaman, 10
berhubungan dengan ilmu psiklogis dan intelektual, dan 11 mengakhiri empat
jilid edisi Arab terahir dengan memusatkan perhatian pada apa yang disebut
metafisika atau ilmu teologis.
Aspek utama Rasa’il adalah bagian
utamanya yang menampilkan perdebatan panjang antara manusia dan para utusan
dari kerajaan binatang, ini mengisi sebagian besar Risalah ke 22 yang berjudul On
How the Animals and Their Kinds are Formed (Netton,1982:2). Bagian ini
telah ditelaah secara ilmiah, dianalisis serta diterjemahkan oleh
L.E.Goodman(1978).[8]
Karya yang erat hubungannya dengan Rasa’il adalah al-Risalat al-Jam’iah (Risalah Komprehensif) yang merupakan sebuah summerium (Ringkasan) dari Rasa’il. Karya ini pun dimaksudkan hanya diedarkan untuk kalangan sendiri, yakni dikalangan para anggota kelompok saja. Banyak informasi ilmi’ah yang tidak termaktub dalam Jam’iah, yang pada aslinya informasi tersebut merupakan tulang punggung Rasa’il, dan dalam informasi ini pula gagasan-gagasan yang dimaksudkan oleh Ikhwan al-Shafa untuk disuntikan kepada para pengikut mereka diungkapkan dengan lebih jelas dan lengkap.
Selanjutnya Jami’ah pun diringkas dalam Risalat al-Jami’ah al- Jami’ah au al- Zubdah min Rasa’il Ikhwan al Shafa (Kondensasi dari Risalah Komprehensip atau Krim dari Rasail Ikhwan al- Shafa), yang juga dinamai al- Risalat al- Jami’ah. Informasi Ilmiah dan Juga beberapa bab dari Rasa’il tidak dicantumkan dalam karya ini, sedangkan interpretasi esoteris[9] dan simbolis tentang ayat-ayat al-Qur’an disajikan secara gamblang.[10]
Dari isi ensiklopedi tersebut kita dapat mengetahui bahwa Ikhwan al-Shafa mencoba melakukan penjelasan-penjelasan yang terkait dengan agama dan ilmu pengetahuan (filsafat dan sains).
Banyak pendapat yang mendiskreditkan Rasâ’ilsebagai
bentuk yang halus dari propaganda sekte Syiah Ismailiyyah untuk merebut
kekuasaan Sunni Baghdad. Thaha Husein misalnya menyebutkan, secara
politis propaganda-propaganda mereka bertujuan untuk melakukan perombakan atau
kudeta wacana di tingkat masyarakat untuk memperkuat basis perebutan kekuasaan.[11]
C. Sistem dan Teori-Teori
C. Sistem dan Teori-Teori
1. Klasifikasi
Ilmu.
Ikhwan Ash-Shafa
membagi pengetahuan pada tiga kelompok, yaitu:
1. pengetahuan
adab/sastra.
2. pengetahuan
syariat, dan3. Pengetahuan Filsafat.
pengetahuan filsafat, mereka bagi menjadi empat bagian, yaitu;
a. Pengetahuan
Matematika.Pengetahuan
ini terdiridari 14 naskah yang meliputi; Geometri , Atronomi, Musik, Geografi, Seni
teoritis, Seni praktis, Moral,Logika.[12]Dalam
pembahasan matematika Ikhwan al-Shafa dipengaruhi oleh pitagoras yang
mengutamakan pembahasan tentang angka atau bilangan. Bagi mereka angka-angka
itu mempunyai arti spekulatif yang dapat dijadikan dalil wujud sesuatu oleh
sebab itu ilmu hitung merupakan ilmu yang paling mulia dibandingkan ilmu
empirik karena tergolong ilmu ketuhanan.
Angka satu merupakan dasar segala wujud ini da merupakan permulaan yang absolute. Huruf hijaiyah yang jumlahnya ada 28 adalah hasil perkalian dari 4 x 7. Angka 7 mengandung nilai kesucian sedangka angka 4 mempunyai arti empat penjuru angin.[13]
Angka satu merupakan dasar segala wujud ini da merupakan permulaan yang absolute. Huruf hijaiyah yang jumlahnya ada 28 adalah hasil perkalian dari 4 x 7. Angka 7 mengandung nilai kesucian sedangka angka 4 mempunyai arti empat penjuru angin.[13]
b. Pengetahuan
Logika. Pengetahuan Fisika. Terdiri dari 12 naskah yang
meliputi; Fisika, Mineralogi botani, Alam kehidupan,Alam kematian, Batas-batas kemampuan
pemahaman manusia
c. Pengetahuan
Ilahiah/Metafisika. Dalam
masalah ketuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi pemikirannya pada angka-angka atau
bilangan. Menurut mereka, pengetahuan tentang angka membawa pada pengakuan
tentang keesaan Allah karena apabila angka satu rusak, maka rusaklah semua
angka.
d. Pengetahuan syariat
adalah pengetahuan Nubuwwah yang disampaikan oleh para Nabi,
sedangkan pengetahuan adab/sastra dan pengetahuan filsafat merupakan
hasil upaya jiwa manusia. Bagi mereka, pengetahuan yang paling mulia adalah
pengetahuan syariat/nubuwwah, yakni yang diperoleh para nabi melalalui wahyu,
sedangan yang paling mulia sesudahnya adalah pengetahuan filafat,yakni
pengetahuan yang tidak diperoleh tidak melalui wahyu , tetapi melalui pemikiran
yang mendalam.
Ilmu tentang Agama danke-Tuhanan terdiri dari 11 naskah yang
meliputi; Keimanan, Upacara
ritual, Aturan hubungan manusia dengan Tuhan, Upacara-upacara
Ikhwan al-Shaffah, Ramalan dan keadaan mereka, Entitas
(perwujudan) spiritual Tindakan(aksi),
Tipe
perundangan politik, Takdir,
ilmu
gaib, azimat.
Dilihat dari segi
objek pengetahuan, dalam pengajaran Ikhwan As-Shafa’, pengetahuan yang
paling mulia adalah pengetahuan tentang Tuhan dan sifat-sifat yang layak
bagi-Nya, kemudian menyusul pengetahuan tentang hakikat jiwa, hal ikhwalnya,
dan hubungannya dengan raga (tubuh), keberadannya sementara dalam tubuh,
kelepasannya dari tubuh, dan keberadaannya kembali di alam jiwa. selanjutnya
adalah pengetahuan tentang hari berbanngkit (kiamat), hari berhimpun, hari
perhitungan amal, hari masuk surga/neraka, dan perjumpaan dengan Tuhan. mereka
mengajarkan kepada para jamaah Ikhwan As-Shafa’ mempelajari semua
pengetahuan, tidak mengabaikan suatu buku, dan tidak fanatik terhadap salah
satu mazhab agama.[14]
Disamping ituIkhwan al-Shafa juga memadukan agama-agama yang
berkembang pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti Islam, Kristen,
Majusi, Yahudi dll. Karena menurut mereka tujuan agama adalah sama, yaitu untuk
mendekatkandiri kepada Tuhan.[15]
2. Teori Pengetahuan
2. Teori Pengetahuan
Ikhwan al- Shafa
sangat tertarik pada epistemologi atau teori pengetahuan. Pengetahuan umum,
kata mereka dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu :
Dengan pancaindera, dan ini merupakan cara yang paling alami dan lumrah. Namun dengan indera kita hanya dapat memperoleh (pengetahuan tentang) perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera kita dan yang kita ketahui itu hanyalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam ruang dan waktu.
Dengan akal prima atau dengan berpikir murni. Namun berpikir pun, bila tidak dibantu dengan indera, tidak akan memperoleh pengetahuan. lagi pula konsep-konsep yang tidak berhubungan dengan indera kita, seperti konsep tentang Tuhan dan materi pertama, tidak akan diketahui hanya dengan cara berpikir semata tanpa bantuan indera. Cara lain yang erat kaitannya dengan kedua cara ini adalah dengan cara pembuktian, dan ini dilakukan oleh para ahli dialektika yang benar-benar mahir.
Melalui inisiasi (penahbisan) dan ini merupakan cara yang paling erat kaitannya dengan doktrin esoterisIkhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru ini mendapatkan ilmunya dari imam (pemimpin agama) dan Imam ini memperolehnya dari Imam lainnya, dan para Imam mendapatkannya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu pengetahuan paling akhir.
Dengan pancaindera, dan ini merupakan cara yang paling alami dan lumrah. Namun dengan indera kita hanya dapat memperoleh (pengetahuan tentang) perubahan-perubahan yang mudah ditangkap oleh indera kita dan yang kita ketahui itu hanyalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam ruang dan waktu.
Dengan akal prima atau dengan berpikir murni. Namun berpikir pun, bila tidak dibantu dengan indera, tidak akan memperoleh pengetahuan. lagi pula konsep-konsep yang tidak berhubungan dengan indera kita, seperti konsep tentang Tuhan dan materi pertama, tidak akan diketahui hanya dengan cara berpikir semata tanpa bantuan indera. Cara lain yang erat kaitannya dengan kedua cara ini adalah dengan cara pembuktian, dan ini dilakukan oleh para ahli dialektika yang benar-benar mahir.
Melalui inisiasi (penahbisan) dan ini merupakan cara yang paling erat kaitannya dengan doktrin esoterisIkhwan al-Shafa. Dengan cara ini seseorang mendapatkan pengetahuan secara langsung dari guru, yakni guru dalam pengertian seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Guru ini mendapatkan ilmunya dari imam (pemimpin agama) dan Imam ini memperolehnya dari Imam lainnya, dan para Imam mendapatkannya dari Nabi, dan Nabi dari Allah, sumber ilmu pengetahuan paling akhir.
Ikhwan al-Shafajugaberpendapatbahwasemuailmuharusdiusahakan (muktasabah),
bukanpemberiantanpausaha.Ilmu yang demikiandidapatdenganpancaindera.Ikhwan
al-Shafamenolakpendapat yang mengatakanbahwapengetahuanadalahmarkuzah(hartatersembunyi)
sebagaimanapendapat Plato yang beraliranidealisme. Plato
memandangbahwamanusiamemilikipotensi, denganpotensiiniiabelajar, yang
dengannyaapa yang terdapatdalamakalitukeluarmenjadipengetahuan. Plato
mengatakanbahwajiwamanusiahidupbersamaalam ide (Tuhan) yang
dapatmengetahuisegalasesuatu yang ada.Ketikajiwaitumenyatudenganjasad,
makajiwaituterpenjara, dantertutuplahpengetahuan,
daniatidakmengetahuisegalasesuatuketikaiaberada di alam ide, sebelumbertemudenganjasad.
Karenaituuntukmendapatkanilmupengetahuanseseorangharusberhubungandenganalam
ide.[16]
D. Pemikiran Filsafat Ikhwan al- Shafa
Menurut
anggota Ikhwan As-Shafa’, Filsafat
memiliki 3 taraf, yaitu:
Taraf Permulaan, yakni mencintai pengetahuan
Taraf pertengahan, yakni mengetahui sejauh mana hakikat manusia dari segala yang ada
Taraf akhir, yakni berbicara dan beramal dengan sesuatu yang sesuai dengan penngetahuan.
Taraf Permulaan, yakni mencintai pengetahuan
Taraf pertengahan, yakni mengetahui sejauh mana hakikat manusia dari segala yang ada
Taraf akhir, yakni berbicara dan beramal dengan sesuatu yang sesuai dengan penngetahuan.
Menurut mereka filsuf atau
orang bijak (hakim) adalah orang yang perbuatan , aktivitas dan akhlaknya
kokoh, pengetahuannya hakiki, tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan bahaya
dan tidak pula meletakan sesuatu bukan pada tempatnya. Tujuan filsafat
dalam pengajaran mereka adalah menyerupai Tuhan(at-tasyabbuh bi al-Illah) sejauh
kemampuan manusia. Untuk mencapai tujuan itu, manusia harus berijtihad (bersungguh-sungguh)
menjauhkan diri dari: berkata yang bohong atau meyakini aqidah yang
batil, pengetahuan yang keliru dan akhlak yang rendah, serta berbuat jahat dan
melakukan pekerjaan secara tak sempurna. Aktivitas filsafat dikatakan sebagai
upaya menyerupai Tuhan karena Tuhan
tidaklah mengatakan, kecuali yang benar dan tidak melakukan kecuali kebaikan.
Dalam penilaian mereka, syariat telah dikotori oleh kebodohan dan kesesatan
manusia dalam memahaminya, dan tidak ada jalan untuk membersihkannya, kecuali
dengan filsafat, karena filsafat mengandung hikmah dan
kemaslahatan.[17]
Disamping itu Ikhwan al-Shafa juga memadukan agama-agama yang berkembang pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti Islam, Kristen, Majusi, Yahudi dll. Karena menurut mereka tujuan agama adalah sama, yaitu untuk mendekatkandiri kepada Tuhan. Usaha at-Taufiq ini akan menghasilkan kesatuan filsafat dan kesatuan madzhab. Implikasinya akan melahirkan apa yang disebut dengan at-Talfiq (elektik), yang memadukan semua pemikiran yang berkembang pada waktu itu, seperti pemikiran Persia, Yunani dan semua agama.
- Filsafat
Alam
Sebagaimana
Al-Farabi, Ikhwan As-Shafa’ juga menganut paham penciptaan alam oleh Tuhan
melalui cara emanasi[18].
namun, paham emanasi mereka berbeda dengan paham emanasi Al-Farabi. Menurut
paham emanasi mereka, Tuhan memancarkan akal universal atau akal aktif.
Akal univeral memancarkan jiwa universal.
Jiwa universal lalu memancarkan materi pertama, yaitu bentuk dan jiwa dan dari materi yang pertama, yaitu bentuk dan jiwa dan dari materi pertama, muncul tabiat-tabiat yang menyatu dengan jiwa. Jiwa universal dengan bantuan akal universal menggerakkan materi pertama sehingga mengambil bentuk yang memilikki dimensi panjang, lebar dan tinggi.
Dengan demikian, terwujud tubuh yang mutlak, dan dengan tubuh mutlak itu, tersusun alam falak/langit dan unsur yang empat (tanah, air, udara, dan api). Karena pengaruh gerakan langit yang berputar, terjadi percampuran unsur yang empat sehingga muncul mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Di alam langit, yang lebih dahulu muncul adalah wujud yang lebih mulia (akal universal, kemudian jiwa universal, dan seterusnya).
Adapun di bumi yang paling akhir muncul adalah yang paling mulia (didahului oleh mineral, kemudian tumbuhan, kemudian hewan, dan terakhir baru muncul manusia). Bila diurutkan kemunculan wujud itu dari yang pertama sampai yang terakhir adalah: Tuhan, Akal Universal, materi pertama dan bentuk, tabiat, tubuh mutlak, falak/langit, unsur yang empat (tanah, air, udara, dan api), dan yang dilahirkan dari empat unsur seperti benda-benda mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia.
Jiwa universal lalu memancarkan materi pertama, yaitu bentuk dan jiwa dan dari materi yang pertama, yaitu bentuk dan jiwa dan dari materi pertama, muncul tabiat-tabiat yang menyatu dengan jiwa. Jiwa universal dengan bantuan akal universal menggerakkan materi pertama sehingga mengambil bentuk yang memilikki dimensi panjang, lebar dan tinggi.
Dengan demikian, terwujud tubuh yang mutlak, dan dengan tubuh mutlak itu, tersusun alam falak/langit dan unsur yang empat (tanah, air, udara, dan api). Karena pengaruh gerakan langit yang berputar, terjadi percampuran unsur yang empat sehingga muncul mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Di alam langit, yang lebih dahulu muncul adalah wujud yang lebih mulia (akal universal, kemudian jiwa universal, dan seterusnya).
Adapun di bumi yang paling akhir muncul adalah yang paling mulia (didahului oleh mineral, kemudian tumbuhan, kemudian hewan, dan terakhir baru muncul manusia). Bila diurutkan kemunculan wujud itu dari yang pertama sampai yang terakhir adalah: Tuhan, Akal Universal, materi pertama dan bentuk, tabiat, tubuh mutlak, falak/langit, unsur yang empat (tanah, air, udara, dan api), dan yang dilahirkan dari empat unsur seperti benda-benda mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia.
Menurut Al-Farabi, penciptaan alam merupakan akibat aktivitas
Tuhan, berfikir tentang diri-Nya, maka pada filsafat Ikhwan As-Shafa’ ,
penciptaan alam oleh Tuhan adalah manivestasi kepemurahan Tuhan. Tuhan
menciptakan segenap alam rohani,dan potensi alam raga yang tersusun, Ia
menciptakan segenap alam rohani
sekaligus, sedangkan alam raga yang tersusun diciptakan-Nya berangsur-angsur
dengan mengubahnya dari keberadaan potensial pada keberadaan aktual.[19]
Keberadaan ayah
secara aktual lebih dahulu daripada keberadaan anak secara aktual, tetapi keberadaan
keduanya secara potensial adalah sama. Tuhan sebagai sebab pertama dan langsung bagi keberadaan
akal universal, tetapi hanya sebagai sebab pertama dan langsung bagi keberadaan dan terjadinya perubahan pada segenap
cipta-Nya yang lain.
Tuhan adalah wujud yang sempurna.
Sejak azali, pada diri-Nya terdapat
bentuk-bentuk dari pengetahuan tentang segala wujud yang ada. Bentuk-bentuk
dari segala yang ada itu dilimpahkan-Nya kepada akal universal secara langsung,
dan kepada jiwa universal melalui akal universal. Itulah sebabnya
dikatakan bahwa Tuhan adalah guru akal universal, akal universal adalah
guru jiwa universal, jiwa universal
adalah guru para malaikat, para malaikat adalah guru para Nabi dan filsuf,
sedangkan para Nabi dan filsuf adalah guru segenap manusia. Pada jiwa manusia,
bentuk-bentuk atau segenap pengetahuan itu, pada mulanya belum ada secara
aktual, tetapi ada secara potensial saja. Melalui berbagai jalan (tangkapan
indra, pemikiran akal instingtif, akal yang diupayakan, atau melalui ilham dan
wahyu) pengetahuan itu mengaktual dalam jiwa manusia secara bertahap.[20]
-
Filsafat
Angka
Membaca selintas teks Rasa’il akan
menemukan bahwa betapa besar perhatian Ikhwan pada angka. Sebaliknya, seseorang
mempelajari terlebih dahulu matematika dan bilangan sebelum mempelajari
cabang-cabang pengetahuan lain (yang lebih tinggi), seperti fisika, logika dan
ketuhanan (Rasa’il, 1:49). Ikhwan memegang “keyakinan Phytagorean
bahwa sifat dasar hal-hal yang diciptakan adalah sesuai dengan sifat dasar
bilangan’’ dan menyatakan “inilah mazhab pemikiran Ikhwan kami”
(Netton, 1982 : 10).
Mereka juga mengikuti kaum Phytagorean dalam hal kepeduliannya yang besar pada angka- angka tertentu. Secara khusus, Ikhwan memberikan perhatian khusus terhadap angka empat, suatu penghormatan yang melampaui bidang matematika murni: mereka menaruh perhatian, misalnya; pada empat musim, empat angin, empat arah mata angin, dan empat unsur empodoclean. Terdapat empat sifat dasar dan empat jenis cairan dalam diri manusia.
Kecapi mempunyai empat senar dan bahkan materi dapat dibagi menjadi empat jenis. Alasan dibalik pemuliaan terhadap angka tertentu semacam ini mudah ditemukan, Tuhan menciptakan “banyak hal dalam kelompok empat-empat dan ...materi-materi alam tersusun secara empat-empat yang pada dasarnya berkaitan, atau selaras, dengan prinsip spiritual yang berkedudukan diatas mereka, yang terdiri atas Sang Pencipta, Akal Universal, Jiwa Universal, dan Materi Pertama”(Netton, 1982:11).
Mereka juga mengikuti kaum Phytagorean dalam hal kepeduliannya yang besar pada angka- angka tertentu. Secara khusus, Ikhwan memberikan perhatian khusus terhadap angka empat, suatu penghormatan yang melampaui bidang matematika murni: mereka menaruh perhatian, misalnya; pada empat musim, empat angin, empat arah mata angin, dan empat unsur empodoclean. Terdapat empat sifat dasar dan empat jenis cairan dalam diri manusia.
Kecapi mempunyai empat senar dan bahkan materi dapat dibagi menjadi empat jenis. Alasan dibalik pemuliaan terhadap angka tertentu semacam ini mudah ditemukan, Tuhan menciptakan “banyak hal dalam kelompok empat-empat dan ...materi-materi alam tersusun secara empat-empat yang pada dasarnya berkaitan, atau selaras, dengan prinsip spiritual yang berkedudukan diatas mereka, yang terdiri atas Sang Pencipta, Akal Universal, Jiwa Universal, dan Materi Pertama”(Netton, 1982:11).
Menurut Ikhwan al-Shafa seseorang
dapat belajar tentang keesaan Tuhan dengan mengetahui hal-hal yang berkenaan
dengan angka dan mereka menyatakan “Phythaghoras percaya bahwa yang kedua
menuntun ke yang pertama (Rasa’il, 3:200).
Kendatipun mencurahkan perhatian mereka pada bilangan, ikhwan berusaha menghindarkan diri dari kesalahan utama kaum Phythagorean seperti dicatat oleh Aristoteles, ketika angka dan hal yang diangkakan dirancukan. Mereka juga menolak gagasan-gagasan Phythagorean tentang perpindahan jiwa (reinkarnasi) dan lebih berpegang pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai dalam satu kali kehidupan di bumilah yang dapat memasukan manusia ke dalam surga (Netton[1982]:12-14).[21]
Kendatipun mencurahkan perhatian mereka pada bilangan, ikhwan berusaha menghindarkan diri dari kesalahan utama kaum Phythagorean seperti dicatat oleh Aristoteles, ketika angka dan hal yang diangkakan dirancukan. Mereka juga menolak gagasan-gagasan Phythagorean tentang perpindahan jiwa (reinkarnasi) dan lebih berpegang pada gagasan bahwa penyucian yang tercapai dalam satu kali kehidupan di bumilah yang dapat memasukan manusia ke dalam surga (Netton[1982]:12-14).[21]
Bilangan merupakan kendaraan bagi
doktrin Ikhwan al- Shafa. Teori dari Phythagoras (sifat-sifat
bilangan : Proporsi, progresi dll) dan hubungannya (yakni hubungan mistik)
dengan kehidupan manusia dan dengan kondisi manusia setelah hidup didunia ini,
sangat menarik bagi imajinasi Ikhwan.
Ikhwan al- Shafa membagi bilangan menjadi dua kelompok, faktor yakni “satu”
dan seri yakni “mulai dari dua sampai tak terhingga”. Satu merupakan
kesatuan mutlak, tidak bisa dibagi tidak dapat diperkecil dan tidak dapat di
perbesar. Semua bilangan berasal dari satu, dua terbentuk dengan cara
mengulangi satu dua kali, bilangan-bilangan lainnya dibentuk dengan menambahkan
satu, jadi karakter satu itu merupakan faktor bagi setiap bilangan berikutnya.
Akrobatisme yang lihai ini tidak pelak lagi membuahkan statemen berikut ini, yakni statemen yang separuh bersifat teologis dan yang satu bersifat metafisik, karena pada hakikatnya satu itu berbeda dari segala bilangan yang berasal daripadanya, maka yang Satu (Tuhan) pun tidak sama dengan atau berbeda dari segala wujud (makhluk) yang berasal dari Dia.[22]
Akrobatisme yang lihai ini tidak pelak lagi membuahkan statemen berikut ini, yakni statemen yang separuh bersifat teologis dan yang satu bersifat metafisik, karena pada hakikatnya satu itu berbeda dari segala bilangan yang berasal daripadanya, maka yang Satu (Tuhan) pun tidak sama dengan atau berbeda dari segala wujud (makhluk) yang berasal dari Dia.[22]
- Filsafat
Agama
Dibidang keyakinan
praktis, Ikhwan al-Shafa membicarakan tentang agama dan hukum-hukum. Ikhwan
al-Shafa tidak merasa puas terhadap agama-agama yang ada. Namun demikian
mereka menekankan pada setiap orang untuk memilih salah satu agama. Menganut
agama yang tidak sempurna lebih baik daripada menjadi kafir, sebab dalam setiap
agama terdapat unsur kebenaran. Ikhwan al- Shafa memandang Islam sebagai agama
terbaik (par excellence), agama yang paling baik dan sempurna dari segala
agama.
Dengan dasar ini, Ikhwan
al- Shafa menyatakan bahwa segala tema metafisika didalam kitab-kitab suci
misalnya mengenai penciptaan, mengenai Adam, setan, pohon pengetahuan,
kebangkitan kembali, Hari Perhitungan, dan surga dianggap sebagai simbol-simbol
dan harus dipahami secara alegoris. Hanya orang-orang awam yang tidak dapat
berpikir mandiri secara memadai, yang memahami tema-tema ini secara harfiah. Seperti ketika Alloh Berfirman,
bahwasanya Alloh Subhanahuwata’ala menurunkan hujan dari langit, maka
mereka mengartikannya bahwasanya yang dimaksud hujan adalah Quran.
Setiap orang harus
diberi kebebasan untuk menganut agama yang dipilihnya, dia boleh pula mengubah
(mengganti) agamanya, barangkali bahkan sering, sekalipun diharapkan dia dapat
mencari agama terbaik dizamannya. Namun demikian, dia harus menghindari
pendapat-pendapat yang bertentangan dengan dan doktrin-doktrin yang tidak
benar.
Ikhwan al- Shafa
memformulasikan suatu sikap yang pasti terhadap semua agama, sekte dan
madzhab-madzhab teologi yang ada. Islam dipandang oleh Ikhwan al-Shafa sebagai
agama terbaik, agama yang paling baik dan paling sempurna dari segala agama.
Al-Qur’an menghapuskan semua kitab yang diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an
sebagai kitab terakhir mengukuhkan isi kitab-kitab sebelumnya dan menghapuskan
apa-apa yang bertentangan dengan ajarannya. Nabi Muhammad adalah pemimpin semua
Nabi dan beliau adalah Nabi terakhir.[23]
Dari sini dapat
diketahui bahwa Ikhwan memandang semua agama memiliki kebenaran yang harus di
hargai, oleh karena itu tidak ada fanatisme terhadap kelompok agama tertentu.
Sehingga para pengikutnya bisa mempelajari pengetahuan dari agama mana saja.
Hanya saja mereka mengklaim bahwa Agama Islam
yang terbaik.
Bab III
Kesimpulan dan Kritik
A. Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa
merupakan kelompok
pemikir “Islam” yang bergerak secara rahasia dan
mereka diklaim oleh sekte Syi’ah (terutama kalangan Isma’iliyyah) yang merupkan
bagian dari mereka, yang lahir sekitar abad ke 4 H (10 M) di Basrah, yang telah berhasil
menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini dapat diperoleh informasi tentang jejak-jejak
ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas
dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian
filsafat pendidikan Islam, mereka memiliki beberapa tingkatan keanggotaan,
yaitu a) Al –Ikhwan Al-Abrar Ar-Ruhama’ (para saudarayang baik dan dikasihi),
berusia 15 ampai 29 tahun. b) Al- Ikhwan Al-Akhyar Al-Fudala’ (para saudara
yang terbaik dan utama), berusia dari 30 sampai 39 tahun. c) Al-Ikhwan
Al-Fudala ‘ Al- Kiram (para saudara yang utama dan mulia), berusia 40 sampai 49
tahun. d) Al-Kamal, Kelompok yang berusia 50 tahun keatas, yaitu kelompok elit yang
hati mereka telah terbuka dan menyaksikan kebenaran dengan mata hati. Dalam
filsafat Ikhwan al-Shafa memiliki beberapa pemikiran yang sama dengan para
Philsuf Yunani seperti Phythagoras, Plato, Aristoteles dsb.
Mereka lebih
menekankan pada ilmu pengetahuan yang bersifat mutlak, jangan sampai ajaran
agama menjadikan manusia terkungkung pada suatu pemikiran. Mereka membolehkan
mengambil “hikmah” dari ajaran manapun juga. Dan juga selalu menempatkan segala
sesuatu pada pemikiran/akal karena menurut keyakinan mereka bahwa akal adalah
bentuk emanasi dari Alloh. Dalam teori Filsafatnya Ikhwan al-Shafa
memiliki perhatian besar terhadap angka. Secara khusus, Ikhwan memberikan
perhatian terhadap angka empat, suatu penghormatan yang melampaui bidang
matematika murni: mereka menaruh perhatian, misalnya,; pada empat musim, empat
angin, empat arah mata angin, dan empat unsur empodoclean. Menurut Ikhwan
al-Shafa seseorang dapat belajar tentang keesaan Tuhan dengan mengetahui
hal-hal yang berkenaan dengan angka.
B. Kritikan terhadap Pemikiran
Ikhwan al- Shafa
a. Pengingkarankebangkitanmanusiadenganjasad-jasadnya
di akhirat.
b.
Perbedaaninterpretasisurgadannerakadaripendapatumum yang mutawatir.
c.Bantahanimplikasisetanseperti
yang dipahamiumat Islam, menurutmerekasetanitukonotasimakhluk-makhlukjahat yang
menerawang di orbit bulandankawan-kawannyaberupamakhluk-makhluk yang
tidakdiketahuibentuknya di kehidupandunia.
d. Interpretasimaknakafirdanazabsecaramaknawi.
e.
Keyakinanbahwaderajatkenabianbisadicapaidenganlatihandankesucianhati.
f.Statemenberbunyisiapa
yang
telahmencapaialambatinmakaberartidiasudahterbebasdaripraktekibadah/syariat.
g.KecondonganpadakeyakinanSyi’ahsepertikemaksuman
Imam, taqiyah (berbohong demi kebenaran), mendirikannegaradariahli bait
(keturunanNabi).
h.
Seruanterhadappluralisme agama, sertapelaranganfanatismeterhadap
agama tertentu. Pendapatsepertiinibanyakdiilhamidari utopia
peninggalan-peninggalanparadukundan orang-orang
Yunani.SekelompokanalisisdanorientalislainlebihcondongberpendapatbahwaRasailinidiadopsidariIsmailiyyahBathiniyyah.
i.
Keyakinanbolehnyamerubah-rubahajarandalam Agama,danmentakwilayat-ayatQuran daninitentunyasangatbertentangandenganislam.
Daftar Pustaka
Farrukh,
Omar A. dalam M.M. Syarif (editor). Aliran-Aliran
Filsafat Islam. Bandung: Nuansa Cendekia. 2004
Supriyadi,
Dedi. Pengantar Filsafat Islam : Konsep,
Filsuf dan Ajarannya. Bandung : CV Pustaka Setia. 2013
http://www.muzayyinahyar.com/2013/pemikiran-politik-dan-pemerintahan-ikhwan-as-shafa/Diakses
pada hari Selasa, 16 September
2014, Pukul; 21.11
http://mirarami.wordpress.com/2009/11/03/ikhwan-al-shafa-sejarah-dan-pemikirannya/. Diakses pada hari Jum’at, 26 September 2014 pukul 20:00
http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1238&cat=content&cid=8&title=pencerahan-berjamaah-ikhwanus-shafa. Diakses pada
hari Selasa, 16 September 2014, Pukul
21.13
http://pandidikan.blogspot.com/2011/03/ikhwan-al-shafa.html. Diakses Pada
hari Selasa, 16 September 2014, Pukul: 21.15
[1] Nama lengkap
kelompok ini adalah Ikhwa al-Shafa wa
Khullan al- Wafa wa Ahl Hamd wa Abna al-
Majd, sebuah nama yang diusulkan untuk mereka sandang sebagaimana termaktub
dalam bab “Merpati Berkalung” dan Kalillah wa Dimmah” sebuah buku yang sangat
mereka hormati.
[2]Dedi Supriyadi. Pengantar
Filsafat Islam, Konsep Filsuf dan Ajarannya. Bandung: CV Pustaka
Setia.2013.hlm. 99-100
[3]Omar A.Farrukhdalam M.M. Syarif (editor).Aliran-AliranFilsafat
Islam.Bandung: NuansaCendekia. 2004.hlm 182-183
[4]http://www.muzayyinahyar.com/2013/pemikiran-politik-dan-pemerintahan-ikhwan-as-shafa/ 16 September
2014, Pukul; 21.11
[5]Dedi Supriyadi. Op.cit.100-101
[6]http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1238&cat=content&cid=8&title=pencerahan-berjamaah-ikhwanus-shafa. Diakses pada
hari Selasa 16 September 2014, Pukul 21.13
[7]Dapat dipastikan bahwa Risalah-risalah ini adalah hasil
kerjasama beberapa pengarang dan sebagian mereka bukan anggota Ikhwan. Secara
praktis dapat dikatakan bahwa Ikhwan menyelesaikan kompilsai tersebut sebanyak
50 Risalah. Namun yang beredar sekarang berjumlah 53 risalah.
[8]Dedi Supriyadi.
Op.cit. hlm. 101
[9]Tafsir-tafsiresoterisatas al-Qur’an
padadasarnyadisatukanmelaluiprinsipsimbolisme,
sebagaimanadipahamidalampengertiantradisionalnya.Bahkan,
simbolismeberfungsisebagai kata kunciuntuksemuaitusehinggatafsir-tafsiritujugabisadisebutsebagai
“tafsir-tafsirsimbolis”. Proses penafsiransimbolisdanespterisdisebutta’wil, yang secarateknisbermaknahermeneutikasimbolisdan
spiritual. Akan tetapisecaraetimologis,
iaberartimembawasesuatukembalikepadaawalnya, yaituawalatauasal-usulnya;
dengandemikian, membawaataumengikutisimbol-simbolkembalikepadaasal-usul yang
dilambangkannya. (www.telagahikmah.org)
[10]Omar A.Farrukhdalam M.M. Syarif (editor). Op.cit. hlm. 182
[11]http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1238&cat=content&cid=8&title=pencerahan-berjamaah-ikhwanus-shafa. Diakses pada
hari Selasa 16 September 2014, Pukul 21.13
[12]http://mulyadi11111992042008.blogspot.com/2013/05/perspektif-kelompok-ikhwan-as-shafa.html. Diakses pada hari Selasa, 16 September 2014, Pukul:
21.18
[13]http://pandidikan.blogspot.com/2011/03/ikhwan-al-shafa.html. Diakses Pada
hari Selasa, 16 September 2014, Pukul: 21.15
[14]Dedi Supriyadi. Op.cit.
hlm.102-103
[15]http://pandidikan.blogspot.com/2011/03/ikhwan-al-shafa.html. DiaksesPadahariSelasa, 16 September 2014, Pukul: 21.15
[16]http://mirarami.wordpress.com/2009/11/03/ikhwan-al-shafa-sejarah-dan-pemikirannya/. Diakses pada hari Jum’at tgl 26 September 2014 pukul
20:00
[17]Dedi Supriyadi. Op.cit. hlm. 103
[18]Emanasi adalah sebuah teori hasil perpaduan antara ajaran
agama tentang penciptaan dengan paham Aristoteles tentang kekekalan Alam.
[19]Menurut Ikhwan secara teoritis penciptaan diselesaikan
dalam dwi-tahap : pertama, Allah menghendaki sekali saja bahwa alam semesta ini
haru ada dari ketidakadaan (ex-nihilo) lalu segera setelah itu mulailah emanasi
dan emanasi ini berjalan secara gradual, sampai akhirnya alam semesta menjadi
ada seperti bentuk yang kita ketahui sekarang ini.
[20]Dedi Supriyadi. Op.cit. hlm. 103-105
[21]Ibid. hlm. 105-106
[22]Omar A.Farrukhdalam M.M. Syarif (editor). Op.cit. hlm. 189
[23]Ibid. hlm. 2014-2016
Ijin copy ya:))
BalasHapus