Syarat-Syarat I’tikaf
Orang yang beri’tikaf harus memiliki kriteria dan syarat sebagai berikut:
1. Muslim.
Alloh berfirman:
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melain-kan karena mereka kafir kepada Alloh dan Rosul-Nya....” (QS. at-Taubah [9]: 54)
Ayat ini menjelaskan bahwa semua nafkah yang di-berikan oleh orang yang mengingkari Alloh dan Rosul-Nya tidak akan diterima di sisi Alloh . Dan ibadah badaniyyah seperti i’tikaf lebih utama ditolak ketika ti-dak memenuhi syarat keislaman.
2. Berakal.
Rosululloh bersabda:
(( رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى عَقْلِهِ حَتَّى يَفِيْقَ، وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ ))
“Diangkat pena (pembebanan) dari tiga orang, yaitu: (1) orang gila yang akalnya tertutupi hing-ga ia sadar; (2) orang yang tidur hingga bangun; dan (3) dari anak kecil hingga ia mimpi (baligh).” (HR. Abu Dawud)
Maka tidak sah i’tikaf orang gila, mabuk, dan orang yang pingsan karena akal mereka telah hilang.
3. Tamyīz.
Tamyīz maksudnya dapat membedakan antara yang hak (benar) dan salah. Ini merupakan salah satu syarat sah dalam beri’tikaf.
4. Niat.
Rosululloh bersabda:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat. Dan bagi setiap perkara apa yang diniat-kannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Akan tetapi tidak dianjurkan untuk melafazhkan niat. Cukuplah niat untuk i’tikaf itu di dalam hati.
5. Suci dari hadats dan najis
Masjid adalah rumah Alloh yang harus disucikan dari berbagai kotoran dan hadats, seperti junub, wanita haidh dan nifas.
Alloh berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, se-hingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan, (jangan pula menghampiri masjid) sedang kalian dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kalian mandi....” (QS. an-Nisā’ [4]: 43)
Semua orang yang berhadats besar baik haidh, nifas atau junub tidak sah i’tikafnya sehingga mereka bersuci dari hadatsnya, karena suci dari hadats besar merupakan salah satu syarat sah i’tikaf.
BACA JUGA : Hikmah Melakukan I’tikaf saat bulan Ramadhan
Pembatal I’tikaf
I’tikaf menjadi batal karena mengerjakan salah satu perbuatan berikut ini:
1. Keluar masjid tanpa udzur syar’i atau kebutuhan mendesak.
Orang yang beri’tikaf tidak boleh keluar dari masjid kecuali ada udzur (alasan) yang harus dikerjakan. Contoh pertama: keluar dari masjid untuk makan atau minum, jika tidak ada yang mengantarkan makanan ke masjid.
Contoh kedua: keluar dari masjid untuk mandi junub atau berwudhu, jika tidak bisa dikerjakan di dalam masjid.
‘Aisyah berkata:
( وَإِنْ كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ فِيْ الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ البَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا )
“Dan terkadang Rosululloh memasukkan kepalanya ke tempatku, sedang beliau berada di masjid, lalu aku menyisirinya. Dan Nabi tidak masuk rumah ke-cuali karena kebutuhan, apabila beliau sedang ber-i’tikaf.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dahulu, ‘Aisyah keluar dari masjid ketika ber-i’tikaf karena sebuah keperluan, maka ia tetap keluar untuk menyapa orang sakit yang dilewatinya dan tidak berhenti berpaling dari tujuan semula keluar masjid.
Apabila orang yang beri’tikaf mengeluarkan sebagian badan keluar masjid, maka i’tikafnya tidak batal karena-nya dan tidak berakibat sesuatupun yang mengganggu i’tikafnya sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits al-Bukhari di atas.
‘Aisyah berkata:
( أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النَّبِيَّ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِيْ المَسْجِدِ وَهِيَ فِيْ حُجْرَتِهَا يُنَاوِلًهَا رَأْسَهُ )
“Bahwa ia pernah menyisir (rambut) Nabi , ketika ia sedang dalam keadaan haid, dan Nabi dalam kea-daan i’tikaf di masjid, dan ‘Aisyah di kamarnya, Nabi menjulurkan (mengeluarkan) kepalanya kepadanya.” (HR. an-Nasa’i, dishahihkan al-Albani)
2. Jimā’ atau berhubungan intim suami istri.
Para ahli ilmu bersepakat bahwa orang yang menye-tubuhi isterinya, sedang ia dalam keadaan beri’tikaf, maka hal itu membatalkan i’tikafnya.
Alloh berfirman:
“(Tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu (istri-istri kalian), sedang kalian beri’tikaf dalam masjid....” (QS. al-Baqarah [2]: 187)
Apabila menyentuh isteri tanpa menyetubuhinya, maka ada perincian.
Pertama; menyentuh tanpa syahwat, maka ini dibo-lehkan. Seperti membasuh kepala dan memberikan se-suatu kepadanya. Berdasarkan hadits Aisyah :
( كَانَ النَّبِيُّ يُصْغِي إِلَيَّ رَأْسَهُ وَهُوَ مُجَاوِرٌ فِي الْمَسْجِدِ، فَأُرَجِّلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ )
“Nabi menyandarkan kepalanya kepadaku semen-tara (sebagian tubuh) beliau berada di masjid. Saya menyisir beliau sementara saya dalam keadaan haidh.” (HR. Muslim)
Kedua; menyentuh dengan syahwat, ini hukumnya haram karena melanggar ayat di atas. Apabila ia tetap berbuat kemudian keluar mani, maka i’tikafnya batal. Dan jika tidak keluar mani, maka i’tikafnya tidak batal.
3. Riddah (murtad).
Apabila orang yang beri’tikaf keluar dari agama Islam (murtad), maka i’tikafnya menjadi batal, walaupun di kemudian harinya ia kembali memeluk Islam.
Alloh berfirman:
“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman, maka hapuslah amalannya....” (QS. al-Ma’idah [5]: 5)
Hal yang Dibolehkan bagi Orang yang Sedang Beri’tikaf
Sedangkan hal-hal yang dibolehkan bagi orang yang sedang i’tikaf adalah:
1. Makan dan minum di masjid.
Di bolehkan makan dan minum di masjid bagi orang yang beri’tikaf dengan tetap menjaga kebersihan masjid, karena mengotori masjid adalah satu kesalahan yang harus dihindari.
‘Abdulloh bin al-Harits berkata: “Dahulu kami makan roti dan daging pada zaman Nabi di masjid.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan al-Albani)
Rosululloh bersabda:
(( إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلاَ الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلاَةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ ))
“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak selayak-nya untuk dikencingi ataupun dikotori. Masjid ini untuk mengingat Alloh, shalat dan membaca al-Qur’an.” (HR. Muslim)
2. Tidur di masjid.
Tidur di masjid hukumnya boleh dan tidak makruh. Ibnu ‘Umar berkata: “Dahulu kami tidur di masjid pada zaman Rosululloh .” (HR. Ibnu Majah, dishahih-kan al-Albani)
3. Kunjungan istri kepada suami yang sedang beri’tikaf.
Hal ini berdasarkan hadits Shafiyah isteri Nabi : “Bahwa ia mendatangi Nabi dalam i’tikafnya di masjid pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian ia berbincang-bincang di samping Nabi sesaat. Kemudian ia berdiri pulang dan Nabi berdiri bersamanya untuk mengantarkannya sehingga sampai pada pintu masjid yang berada di samping pintu Ummu Salamah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
4. Mandi dan wudhu di kamar mandi masjid.
Dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf di masjid untuk berwudhu atau mandi, berdasarkan kabar dari pembantu Nabi :
( تَوَضَّأَ النَّبِيُّ فِيْ المَسْجِدِ وُضُوْءًا خَفِيْفًا )
“Nabi berwudhu di masjid dengan wudhu yang ringan.” (HR. Ahmad, shahih)
5. Membuat tenda di akhir shaff masjid.
Dibolehkan bagi orang yang beri’tikaf untuk mem-buat tenda khusus di akhir barisan shalat sebagai tempat i’tikafnya.
‘Aisyah berkata:
“Dahulu Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, maka aku menyiapkan untuk beliau sebuah tenda, lalu beliau shalat kemudian me-masukinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
6. Melakukan khithbah atau akad nikah.
Khithbah (melamar) dan akad nikah termasuk per-kara yang boleh dikerjakan di masjid, tidak berhubung-an dengan puasa, bahkan i’tikaf. Karena i’tikaf ibadah yang tidak mengharamkan hal baik, maka tidak meng-haramkan nikah. Namun disyaratkan tidak terjadinya jimā’.
7. Dibolehkan wanita mustahadhah (yang mengalami pendarahan) beri’tikaf.
Dalam sebuah riwayat disebutkan:
“Seorang wanita dari isteri Nabi beri’tikaf bersa-manya. Ia melihat warna kuning dan merah, dan terkadang kami letakkan bejana kecil di bawahnya, sedang ia menunaikan shalat.” (HR. al-Bukhari)
Doa Malam Lailatul Qadar
‘Aisyah berkata, “Wahai Rosululloh, apa pendapatmu jika aku mengetahui malam Lailatul Qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?. Maka Nabi menjawab, “Kataknalah:
(( اللَّهُمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَريمٌ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ ))
“Ya Alloh sesungguhnya engkau Maha Pengampun lagi Maha Mulia, mencintai ampunan, maka am-punilah dosaku).” (HR. at-Tirmidzi)
Doa pada malam Lailatul Qadar adalah doa yang mustajāb, dikabulkan. Dan dianjurkan berdoa dengan doa lain dengan perkataan yang menyeluruh dengan syarat tidak ada sikap berlebihan dalam doanya, seperti bersajak (pantun) atau tidak dipahami maknanya. Doa yang di-tunjukkan Nabi merupakan doa yang menyeluruh dan paling bermanfa’at. Terkumpul di dalamnya kebaikan dunia dan akhirat, karena apabila Alloh mengampuni hamba-Nya di dunia, maka itu artinya diangkatnya hu-kuman-hukuman, dan diturunkannya nikmat-nikmat. Apabila Alloh mengampuni hamba-Nya di akhirat, artinya menyelamatkannya dari api neraka dan mema-sukkannya ke dalam surga.
Kerugian Besar Bila Lailatul Qadar Disia-Siakan
Rosululloh bersabda:
(( إِنَّ هَذَا الشَّهْرَ قَدْ حَضَرَكُمْ وَفِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. مَنْ حُرِمَهَا فَقَدْ حُرِمَ الخَيْرَ كُلَّهُ وَلاَ يُحْرَمُ خَيْرَهَا إِلاَّ مَحْرُوْمٌ ))
“Sesungguhnya bulan ini telah hadir ditengah-tengah kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang nilainya lebih baik dari pada seribu bulan. Barangsiapa yang diharamkan dari (mendapatkan keutamaan) malam tersebut, berarti ia telah di-haramkan dari semua kebaikan. Dan tidak ada yang diharamkan dari kebaikannya kecuali orang-orang yang benar-benar merugi.” (HR. Ibnu Hib-ban, dishahihkan al-Albani)
Oleh karena itu, wahai saudaraku kaum Muslimin dan Muslimat, marilah kita bersungguh-sungguh men-dulang pahala pada sepuluh hari terakhir di bulan Ra-madhan dengan beri’tikaf. Dan semoga kemuliaan malam seribu bulan, Lailatul Qadar dapat kita rengkuh. Amin....
Tidak ada komentar
Silahkan mengcopy-paste, menyebarkan, dan membagi isi blog selama masih menjaga amanah ilmiah dengan menyertakan sumbernya.
Salam : Admin K.A.